Menuju konten utama

Yang Fana adalah Usia, Mereka Abadi

Atlet merupakan salah satu profesi dengan umur produktivitas yang tergolong singkat. Karir seorang atlet bisa saja berakhir tiba-tiba karena berbagai sebab. Cedera, kecelakaan, penurunan performa, atau hilangnya motivasi seringkali mengakhiri karir seorang atlet secara dini. Bagaimana dengan mereka yang kembali dari masa pensiun dan kembali berlaga di gelanggang?

Yang Fana adalah Usia, Mereka Abadi
Ilustrasi atlet depresi [Foto/Shuuterstock]

tirto.id - Lionel Messi terduduk di lapangan. Matanya berkaca-kaca dan menatap nanar ke arah lapangan. Sang megabintang sepakbola dunia itu kembali mencicipi kegagalan memenangkan piala untuk negaranya. Gelar Copa America Centenario 2016 tuntas melayang selayaknya penalti yang gagal ia sarangkan.

Kejadian itu kian melengkapi daftar kegagalan Messi di empat final yang diikutinya : Copa America 2007, Piala Dunia 2014, Copa America 2015, dan Copa America Centenario 2016. Tiga di antaranya bahkan terjadi dalam rentang waktu tiga tahun terakhir.

Dalam keputusasaannya, pemain berusia 29 tahun itu memilih untuk pensiun dari tim nasional Argentina. "Bagi saya tim nasional sudah usai. Saya sudah melakukan semua yang saya bisa, menyakitkan tidak menjadi juara," kata Messi seperti dikutip Antara.

Rakyat Argentina terhenyak. Mereka belum siap kehilangan salah satu pemain terbaiknya. Banyak pihak akhirnya turun tangan untuk membujuk Messi supaya membatalkan keputusannya, termasuk legenda Diego Maradona dan presiden Argentina sendiri.

Messi akhirnya luluh setelah pelatih baru timnas Argentina, Edgardo Bauza, membujuknya secara empat mata. Ia pun resmi membatalkan masa pensiunnya.

“Saya menyadari, ada banyak masalah dalam persepakbolaan Argentina, dan saya tidak mau menambahinya. Saya tidak mau memperburuk keadaan, tujuan saya adalah membantu negara ini sebisa mungkin,” paparnya seperti dikutip dari ESPN.

Messi hanya sempat pensiun selama kurang lebih tiga bulan. Sebuah waktu yang relatif singkat, ditambah lagi dengan usia Messi yang masih terhitung muda untuk seorang atlet. Berikut ini adalah beberapa atlet yang punya catatan lebih baik dari Messi untuk urusan kembali ke gelanggang.

Hidup Kembali Pasca Pensiun

Sebuah anekdot mengatakan, atlet akan mengalami dua kali kematian selama hidupnya: saat menghadapi sakaratul maut dan saat ia pensiun. Pensiun dapat merenggut banyak hal bagi seorang atlet, mulai dari kondisi fisik, pendapatan, hasrat berkompetisi, skill, bahkan semangat hidup. Bagi seorang atlet, itu semua hampir setara dengan kematian.

Hal itu tampaknya tidak berlaku bagi Michael Jordan. Salah satu pemain paling bersinar dalam olahraga basket ini sempat pensiun di puncak karirnya pada 1992. Saat itu, Jordan—yang baru berusia 30 tahun—berhasil memenangkan tiga gelar NBA secara beruntun dan sangat terkenal dengan permainan ajaibnya di lapangan.

Michael Jordan pensiun bukan karena alasan usia atau kehilangan gairah. Beberapa bulan sebelum memutuskan pensiun medio 1993, ayah Jordan, James R. Jordan Sr, tewas terbunuh. Jordan merasa sangat bersalah atas peristiwa tersebut. Sebagai penebusan, Jordan bertekad untuk menunaikan harapan terakhir ayahnya: supaya salah satu anaknya menjadi atlet baseball. Akhirnya, ia meninggalkan basket dan meneken kontrak dengan tim baseball Chicago White Sox di liga minor Amerika Serikat.

Baseball tampaknya memang bukan dunia Jordan. Setelah gagal menembus liga baseball tertinggi AS, Michael Jordan berhenti pada 1994. Medio Maret 1995, sang “Air Jordan” kembali ke lapangan basket dan memimpin Chicago Bulls memenangi tiga gelar beruntun pada 1996, 1997, dan 1998 sebelum mengakhiri kariernya. Jordan sempat kembali bermain pada 2001-2003 di Washington Wizards--tim dimana ia menjadi salah satu pemegang sahamnya-- tetapi performanya tergolong biasa saja.

Lain Jordan, lain lagi Martina Navratilova. Petenis perempuan kelahiran 1956 ini memulai kariernya pada 1975. Ia sempat pensiun di sektor tunggal pada 1994 tetapu masih bertanding pada nomor ganda putri dan ganda campuran. Belakangan, Navratilova memutuskan untuk terjun lagi di nomor tunggal pada 2002. Dua tahun kemudian, Navratilova menjadi pemain putri tertua yang berhasil memenangi pertandingan nomor tunggal di turnamen Grand Slam. Saat itu usianya telah mencapai 47 tahun.

Petenis kelahiran Cekoslovakia ini akhirnya mengakhiri karirenya pada 2006 di usia yang sudah menyentuh setengah abad. Hal ini berarti, Navratilova telah menghabiskan 31 tahun hidupnya di lapangan tenis.

Salah satu kisah comeback paling legendaris patut disematkan kepada Karoly Takacs. Ia adalah seorang atlet menembak asal Hungaria. Pada usia 28 tahun, Takacs yang merupakan anggota militer Hungaria, harus kehilangan tangan kanannya akibat terkena granat. Namun, Takacs menolak menyerah.

Takacs kemudian melatih tangan kirinya secara intens sehingga bisa menembak sebaik tangan kanannya. Sepuluh tahun setelah kecelakaan granat itu, pada Olimpiade London 1948, Takacs berhasil memenangi medali emas dan mencatatkan rekor dengan 580 poin. Ia kembali memenangi medali emas pada cabang yang sama di Olimpiade Helsinki 1952 dengan raihan 579 poin. Takacs masih sempat mengikuti Olimpiade Melbourne 1956, sayangnya ia gagal memperoleh medali.

Kembalinya atlet dari masa pensiun juga dapat disebabkan oleh perintah resmi dari negara. Untuk hal ini, Pakistan adalah contoh yang paling nyata, dan atlet kriket Imran Khan serta Javed Miandad adalah “korbannya”.

Imran Khan “dipaksa” kembali ke gelanggang kriket dunia setelah diperintahkan oleh Presiden Pakistan, Zia Ul-Haq pada 1992. Padahal Imran sudah pensiun pada 1987. Sementara itu, Javed Miandad hanya sempat pensiun selama 10 hari sebelum dipanggil kembali oleh Presiden Benazir Bhutto. Keduanya dipanggil dari masa pensiun untuk memperkuat tim nasional Pakistan di ajang Piala Dunia Kriket.

Kriket adalah olahraga paling populer di Pakistan. Olahraga ini juga sangat populer di tetangga sekaligus musuh terbesar mereka: India. Tak heran, urusan kriket selalu sejalan dengan harga diri bangsa ini. Untuk itulah para pemimpin Pakistan seringkali turut campur dalam urusan tim nasional kriket mereka.

Imran Khan akhirnya sukses memimpin Pakistan merebut gelar Piala Dunia Kriket 1992. Di sisi lain, Javed Miandad harus rela menelan kekecewaan setelah dikalahkan India pada Piala Dunia 1996.

Masih dari cabang kriket, dunia mengenal salah satu pemain kawakan Pakistan lainnya, Shahid Afridi. Namanya sempat diperbincangkan seturut dengan berita pensiunnya Messi. Saat Messi mengumumkan pensiun, para netizen beramai-ramai menanyakan kapan Afridi akan melakukan hal serupa.

Rasa penasaran para netizen sangat beralasan, mengingat Shahid telah berkali-kali menyatakan diri pensiun, tetapi berkali-kali pula ia kembali bertanding. Shahid pertama kali menyatakan pensiun pada 12 April 2016. Namun, ia mencabut keputusannya 15 hari kemudian. Ia kembali menyatakan pensiun dari timnas kriket pada Mei 2011 namun kembali masuk tim dua minggu setelah pengumuman itu.

Terakhir, Shahid kembali menyatakan pensiun pada 2015 selepas kekalahan atas Australia di perempatfinal Piala Dunia Kriket. Belakangan, pada 3 April 2016, Afridi kembali membuktikan kata-katanya tak bisa dipegang dengan berdalih bahwa ia hanya melepas posisi kapten tetapi tidak akan pensiun. Tak heran, banyak pihak merasa gemas dengan sikapnya ini.

Tidak semua atlet yang kembali pascapensiun menuai kesuksesan. Salah satu kisah paling tragis dialami oleh mantan juara tinju dunia kelas berat Amerika Serikat, Joe Louis. Salah satu petinju legendaris Amerika Serikat ini terlilit utang hingga mencapai 500.000 dolar AS. Kondisi ini memaksanya untuk bertanding lagi. Sayangnya, ia harus berhadapan dengan legenda tinju lainnya, Rocky Marciano, yang saat itu dikenal sebagai salah satu petinju terkuat di dunia.

Rocky Marciano sendiri tidak tega melawan Joe Louis yang kondisi fisiknya sudah sangat memprihatinkan. Tetapi ia sadar, Louis amat membutuhkan pertarungan ini untuk membayar utang-utangnya. “Orang ini adalah petinju terakhir yang ingin saya lawan di dunia,” keluh Marciano.

Tak kurang dari Ferdie Pacheco, mantan cornerman Muhammad Ali, merasa sedih atas pertarungan ini. Sembari menangis, ia berkata bahwa pertarungan ini lebih menyerupai pembantaian dari seorang mantan juara dunia kesayangan publik AS.

Benar saja, Joe Louis hanya dapat bertahan selama delapan ronde. Pada ronde kedelapan, pukulan Marciano menghempaskan Louis hingga keluar ring dan jatuh di depan para penonton. Louis pun sempat hilang kesadaran selama beberapa menit.

Seusai pertandingan, Marciano dan legenda tinju lainnya, Sugar Ray Robinson, bergegas menemui Louis di kamar ganti. Apa yang mereka temui di sana sangat memilukan hati. Kondisi tubuh renta Joe Louis yang babak belur telah membuat semua yang ada di dalam ruangan seketika menitikkan air mata.

“Maafkan aku, Joe,” ujar Marciano sambil sesenggukan.

“Kenapa harus minta maaf?” tanya Louis sambil berusaha menenangkan Marciano. “Petinju terbaiklah yang menang. Kupikir ini merupakan yang terbaik bagi kita semua,” ujar Louis.

Jadi, sayang sekali Messi, kisahmu masih terlampau pendek untuk disejajarkan dengan mereka.

Baca juga artikel terkait OLAHRAGA atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Olahraga
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti