tirto.id - Setelah Euro 2004, Konfederasi sepakbola Eropa (UEFA) pernah melakukan hitung-hitungan untuk menentukan mulai umur berapa seorang pesepakbola disebut memasuki usia emas. Usia emas (golden age) adalah masa di mana seorang pemain bola seharusnya sedang mengalami saat-saat yang paling hebat dalam kariernya.
Dengan penghitungan berdasarkan rata-rata umur skuad juara Euro sejak edisi 1980 –yang mulai memakai format baru dengan melibatkan 8 tim peserta– hingga 2004, UEFA menyimpulkan bahwa masa awal seorang pesepakbola memasuki usia emas adalah pada umur 26,495 tahun atau antara usia 26-27 tahun.
Pelatih sekaligus manajer Arsenal, Arsene Wenger, tampaknya sepakat dengan hasil hitung-hitungan UEFA tersebut. Hal itu terlihat ketika pria asal Perancis yang dijuluki The Professor ini memberikan penilaian mengenai salah satu pemain Arsenal, Mesut Oezil, pada akhir 2015 lalu.
Kepada The Standart, Wenger berucap tentang Oezil, "Umurnya sekarang 27 tahun, sementara usia emas untuk seorang pesepakbola adalah antara umur 27 hingga 31 tahun. Di usia itu, ia sudah menyadari tugasnya bahwa yang paling penting bukan lagi untuk sekadar bermain, tetapi juga meraih kemenangan.”
Meskipun begitu, tidak semua pesepakbola profesional memeroleh fase cemerlang di usia emasnya. Cukup banyak pemain yang layu sebelum berkembang alias mengalami penurunan performa yang cukup drastis justru di saat memasuki masa-masa keemasan dalam kariernya.
Gara-gara Rawan Cedera
Ada beragam faktor penyebab karier pesepakbola payah di usia jaya bisa terjadi. Salah satunya karena si pemain rawan cedera di awal-awal kariernya. Alexandre Rodrigues da Silva atau yang lebih dikenal dengan nama Pato bisa menjadi contoh dalam kasus ini.
Pada usia yang masih sangat belia, 17 tahun, Pato sudah mencuri perhatian klub-klub Eropa ketika ia tampil memukau bersama Internacional, klub dari negara asalnya, Brazil. AC Milan akhirnya menjadi klub Eropa yang berhasil memboyong Pato ke Serie A Italia pada 2007.
Pato langsung mengukir sukses di 4 musim awalnya bersama AC Milan. Dari musim 2007/2008 hingga 2010/2011, ia menjadi andalan Rossoneri dengan mencetak tidak kurang dari 50 gol dalam 102 penampilan.
Akan tetapi, mulai musim 2011/2012, cedera seolah menjadi kawan akrab bagi Pato. Di musim itu, ia hanya mampu tampil di 11 laga dan mencetak 1 gol saja. Musim berikutnya lebih parah lagi, pemain berambut ikal ini cuma bermain di 4 pertandingan tanpa sekalipun membuat gol. Musim 2012/2013 itulah kebersamaan Pato bersama AC Milan dipungkasi.
Pato akhirnya pulang ke Brazil pada 2013 dalam usia 24 tahun. Ia bergabung dengan Corinthians dan setahun berikutnya pindah ke Sao Paulo. Kendati mencetak 14 gol dari 49 laga bersama Corinthians dan 27 gol dari 76 pertandingan untuk Sao Paulo, tapi torehan tersebut dinilai kurang sebanding dengan aksinya saat masih di AC Milan dengan kompetisi yang lebih berat.
Masa sulit Pato berlanjut hingga memasuki periode yang seharusnya menjadi usia emasnya. Chelsea melakukan perjudian dengan menggaetnya pada musim 2015/2016. Hasilnya? Nol besar! Pato hanya bermain di 2 laga untuk klub Inggris itu karena masalah kebugaran. Kini, pada usia 27 tahun, Pato berupaya mengulang masa jayanya di Eropa bersama klub Spanyol, Villarreal.
Tingkah Buruk Bikin Terpuruk
Faktor lain yang barangkali menjadi penyebab anjloknya penampilan seorang pesepakbola di usia emas adalah attitude. Mario Balotelli adalah contoh yang paling relevan. Striker Italia berdarah Ghana ini dikenal sebagai pemain bengal, yang pada akhirnya lebih kondang karena tingkah-polah yang kontroversial ketimbang aksinya di lapangan hijau.
Balotelli memang masih berusia 25 tahun pada 2016 ini. Namun, di usia emasnya nanti, ia diprediksi tetap sulit bangkit untuk bisa mengulang masa-masa muda yang pernah dilaluinya dengan cukup berkesan.
Pemain kelahiran Palermo ini sempat disebut-sebut sebagai calon bintang masa depan Italia karena meraih karier cemerlang di Inter Milan pada usia remaja. Tepat umur 20 tahun, Balotelli merambah kariernya ke Inggris bersama klub kaya raya, Manchester City. Di tahun yang sama, 2010, ia juga melakoni debutnya di tim nasional Italia.
Di Inggris, kebengalannya kian menjadi-jadi. Beberapa kali ia terlibat polemik dengan rekan setim maupun dengan pihak-pihak lain. Bertahan di Manchester City selama tiga musim dengan capaian 20 gol dalam 54 laga, Balotelli akhirnya dilego ke AC Milan pada musim 2013/2014.
Pemain berjuluk Super Mario ini masih menunjukkan taji yang cukup mumpuni selama semusim di AC Milan. Balotelli membukukan 26 gol dari 43 laga hingga akhirnya ia diboyong kembali ke Inggris oleh Liverpool.
Karier keduanya di Inggris ternyata tidak semulus sebelumnya. Sikap Balotelli yang kian memburuk membuat kariernya tambah terpuruk. Dari 16 laga, ia hanya bisa mencetak 1 gol untuk Liverpool. The Reds pun mengirimnya kembali ke AC Milan pada musim 2015/2016 sebagai pemain pinjaman.
Balik ke klub di mana ia pernah merasa hebat, Balotelli gagal mengulang sukses. Di AC Milan selama setahun, cuma sebiji gol yang mampu dibuatnya dalam 20 laga. Tak heran jika I Diavolo Rosso memilih mengembalikannya ke Liverpool daripada mempertahankan Balotelli.
Apesnya, The Reds sudah tidak menghendakinya lagi dan menyuruh Balotelli untuk mencari klub baru. Balotelli bahkan diasingkan ke tim junior Liverpool dan sama sekali tidak dilibatkan dalam persiapan menjelang musim baru.
Saat ini, pada umur 25 tahun, Balotelli mengalami krisis mental sebagai efek dari tingkah-lakunya di masa lalu yang tidak menuai respek positif dari banyak pihak. Karier Super Mario kini terkatung-katung. Nyaris tidak ada klub mapan Eropa yang berminat kendati Balotelli mulai menyongsong usia emasnya.
Bintang Pohon Pisang
Ibarat pohon pisang yang hanya sekali seumur hidup berbuah lalu akhirnya mati, ada juga pesepakbola yang mengalami nasib serupa. Pemain bola yang dirasa layak mendapat gelar sebagai bintang pohon pisang adalah Ciro Immobile.
Pamor striker Italia kelahiran 20 Februari 1990 ini melambung saat meraih gelar top skor Liga Italia Serie A musim 2013/2014 bersama Torino. Klub Immobile saat itu memang bukan tim elite, tapi ia mampu mempertontonkan aksinya dengan mencetak 22 gol dari 33 pertandingan dalam usia 23 tahun.
Alhasil, banyak klub mapan Eropa yang meliriknya. Dari semua tawaran yang datang, Immobile akhirnya memilih berlabuh ke salah satu jagoan Bundesliga Jerman, Borussia Dortmund, pada musim 2014/2015.
Tapi, penampilannya di Dortmund jauh panggang dari api. Performa Immobile melorot jauh dan hanya mampu mencetak 3 gol dari 24 penampilan. Ketika dipinjamkan ke Sevilla pun ia tetap melempem. Di Spanyol, Immobile cuma tampil 8 kali dan membuat 2 gol.
Usai bursa transfer pada awal 2016, Immobile kembali ke Torino, masih sebagai pemain pinjaman dari Dortmund. Dasar bintang musiman, di klub lamanya itu ia juga tidak mampu bangkit dengan hanya mengumpulkan 5 gol saja.
Di usianya yang ke-26 tahun pada 2016 ini, Immobile menyambut musim baru bersama Lazio, klub Italia lainnya. Pantas untuk ditunggu, apakah ia berhasil membuktikan diri sebagai bintang sejati atau memang hanya berlevel pemain pohon pisang di klub barunya itu.
Bakat yang Disia-siakan
Masalah lain yang paling kerap menjadi penyebab melempemnya performa pesepakbola di usia emas adalah si pemain susah memeroleh kepercayaan dari pelatih untuk tampil reguler di skuad utama. Jadilah bakat yang sebenarnya sudah terlihat menjadi sia-sia dan kemudian hilang ketika si pemain memasuki usia emas.
Banyak contoh dari kasus seperti ini, sebut saja seperti yang dialami oleh Federico Macheda, Bojan Krkic, Alberto Paloschi, Nicklas Bendtner, Javier “Chicharito” Hernandez, dan lainnya. Karier mereka tenggelam menjelang atau saat memasuki usia emas karena jarang mendapat kesempatan bermain dan terlalu sering dipinjamkan ke klub-klub lain.
Khusus untuk Chicharito, pemain asal Meksiko ini tampaknya mulai menemukan sentuhannya kembali setelah selama 5 musim di periode usia emasnya justru melempem karena disia-siakan Manchester United dan sempat dipinjamkan ke Real Madrid. Pindah ke Bundesliga bersama Bayer Leverkusen sejak musim 2015/2016, Chicharito serasa hidup kembali dengan mencetak 17 gol dalam 28 laga.
Macheda, misalnya. Digaet oleh tim sebesar Manchester United (MU) dari Lazio pada usia belia, 17 tahun, remaja Italia ini digembor-gemborkan bakal menjadi pesepakbola yang memiliki masa depan cerah.
Namun, bakat Macheda di Old Trafford ternyata disia-siakan. Ia jarang dimainkan dan lebih sering dipinjamkan ke klub-klub lain yang berlevel lebih rendah. Selama menjadi anggota skuat MU sejak 2008 hingga 2014, Macheda kerap berpindah klub sebagai pemain pinjaman, dari Sampdoria, Queens Park Rangers, Stuttgart, Doncaster Rovers, hingga Birmingham City.
Saat ini, di usia 25 tahun, Macheda bermain untuk klub Wales, Cardiff City, dan tetap saja gagal mengembangkan potensinya yang sempat tampak bersinar di masa silam. Ia adalah salah satu pemain cemerlang yang ternyata gagal menjadi bintang. Begitu pula nasib serupa yang menghampiri pesepakbola berbakat lainnya seperti Bojan Krkic, Paloschi, Bendtner, Chicharito, dan masih banyak lagi.
Selayaknya kehidupan, tidak semuanya berjalan lurus dan tumbuh mulus seperti yang diharapkan. Usia emas yang seharusnya menjadi titik awal pembuktian diri tidak jarang justru menjadi masa-masa paling kelam dalam karier mereka yang sempat digadang-gadang sebagai bintang sepakbola masa depan.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti