tirto.id - Dua wartawan muda dari dari Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Press Universitas Gadjah Mada (UGM) Citra Maudy dan Thovan Sugandi meraih penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.
“Citra dan Thovan berani lakukan liputan yang sulit serta peka tentang kekerasan seksual di kampus," kata Ketua Dewan juri penghargaan Pogau dari Yayasan Pantau Andreas Harsono, perperti keterangan tertulis yang diterima tirto, Jumat (1/2/2019).
Andreas berharap liputan mereka akan mendorong usaha serupa di kalangan media, umum maupun mahasiswa, guna membela para korban kekerasan seksual dan mencari keadilan.
Pada 5 November 2018, Balairung menerbitkan laporan berjudul, “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” soal seorang mahasiswa nama samaran “Agni” yang “diperkosa” oleh teman setingkatnya, pada Juni 2017, ketika mengikuti kuliah kerja di Pulau Seram, Maluku.
Citra Maudy, reporter laporan tersebut, menulis bahwa pelaku “menyingkap baju, menyentuh serta mencium dada" Agni. Pelaku juga menyentuh dan memasukkan jarinya pada vagina. Agni merasakan sakit, memberanikan diri bangun dan mendorong pelaku.
Dalam laporan “Malang Melintang Penanganan Pelecehan Seksual di Kampus,” Balairung menyatakan bahwa pelecehan seksual terjadi di banyak lingkup kegiatan mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Kasus “Agni” ibarat puncak gunung es.
Laporan tersebut mendapat perhatian masyarakat luas. Media lokal maupun nasional menerbitkan berita-berita lanjutan. Dukungan juga datang lewat sebuah petisi mencari keadilan bagi “Agni” yang ditandatangani 252.895 orang.
Beberapa media juga menerbitkan cerita tentang dugaan kekerasan seksual di kampus-kampus lain, di Bali, Bandung, Depok, Jakarta, Yogyakarta dan sebagainya. Jarang kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswa dapat perhatian dan liputan mendalam di media.
UGM membentuk sebuah komite etik buat memeriksa kasus ini. Arif Nurcahyo, Kepala Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (PKKKL) UGM, melaporkan kasus ini kepada Kepolisian Yogyakarta.
Ini membuat polisi memeriksa “Agni” maupun terduga pelaku, Hardika Saputra –namanya disebutkan oleh pengacaranya Tommy Susanto yang berargumentasi kejadian tersebut berdasarkan “suka sama suka.”
Polisi juga meminta keterangan dari Citra dan Thovan pada Desember 2018 maupun saksi-saksi lain. Polisi belum menetapkan Hardika Saputra sebagai tersangka. Polisi, menurut Citra dan Thovan, juga memeriksa mereka dengan pertanyaan-pertanyaan bagaimana mereka bertemu korban, kenapa isu ini diliput, bagaimana kondisi psikologis korban.
Andreas Harsono mengatakan, “Yayasan Pantau menghormati pemeriksaan yang dilakukan polisi maupun Universitas Gadjah Mada namun kami juga percaya pelecehan seksual adalah gejala yang mengkuatirkan di berbagai kampus di Indonesia. Kami menghargai keberanian Citra dan Thovan terlepas hasil dari pemeriksaan terhadap kasus ini.”
Komisi Nasional untuk Kekerasan terhadap Perempuan sudah dua dekade melakukan kampanye anti-kekerasan seksual.
Komnas Perempuan mendukung perubahan dalam sistem hukum Indonesia di mana pemerkosaan seksual dibikin lebih luas kategorinya –bukan sekedar terjadi penetrasi penis ke dalam vagina—serta mendorong Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengingat ketersediaan perangkat hukum yang ada belum memadai. Laporan Balairung juga mempertimbangkan keterbatasan tersebut.
“Salah satu hambatan menghukum pelaku kekerasan seksual adalah kekurangan hukum. Balairung membuat kekurangan tersebut jadi terang-benderang. Yayasan Pantau mendukung Komnas Perempuan guna melawan kekerasan seksual, mencari keadilan buat para korban serta bikin hukum yang memadai,” kata Andreas Harsono.
Juru Bicara Pogau Award Febriana Firdaus menambahkan apa yang dilakukan oleh Citra dan Thovan merupakan suatu geliat positif yang ada di pers mahasiswa kampus.
"Peliputan mereka cukup kritis. Ini bagus. Apalagi soal berita kekerasan seksual yang wartawan di media umum saja kadang menulisnya tapi dengan gaya clickbait," katanya.
Febriana yang juga pernah mendapatkan penghargan serupa pada 2017 itu menyebut liputan yang dibuat oleh Citra dan Thovan juga sebagai bentuk kontrol terhadap kebijakan civitas akademika.
"Harapan kita dengan mereka mendapat penghargaan ini, produk persma dianggap produk jurnalistik bukan sekedar koran kampus coba-coba. Mereka bisa juga kok profesional.
Karena itu kita mendesak ada perlindungan hukum terhadap wartawan persma kampus setara dengan wartawan media pada umumnya," ujarnya.
Di sisi lain Febriana juga berharap agar persma lain untuk terus berkarya dan tetap independen. Meskipun kebanyakan persma mendapatkan dana dari kampus, ia berharap mereka tetap independen.
Citra Maudy dan Thovan Sugandi
Citra Maudy adalah mahasiswa sosiologi Universitas Gadjah Mada, kelahiran Sidoarjo 1998. Ia bergabung dengan Balairung sejak 2016 sebagai reporter, jadi redaktur pelaksana sejak 2017. Ia biasa menulis menulis feature, laporan utama dan hard news.
Thovan Sugandi adalah mahasiswa filsafat Universitas Gadjah Mada. Ia kelahiran Jombang 1996. Thovan bergabung dengan Balairung sejak 2015. Pada 2018, ia ditunjuk sebagai redaktur serta menyunting laporan Citra. Thovan juga anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan pernah menjadi redaktur Jurnal Tradisi PMII periode 2016-2018.
Balairung sendiri sebagai majalah terbit sejak 1985. Kini ia sebuah unit kegiatan mahasiswa. Namanya, Badan Penerbitan Pers Mahasiswa Balairung. Sejak 1997 Balairung menerbitkan website, beberapa kali ganti domain, namun sejak 2017 mereka memakai www.balairungpress.com.
Yayasan Pantau memandang apa yang dilakukan Balairung lewat karya Citra dan Thovan sejalan dengan visi Oktovianus Pogau merawat keberanian dalam jurnalisme.
Tentang Penghargaan Pogau
Nama Oktovianus Pogau, diambil dari seorang jurnalis Papua, lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura.
Pogau seorang penulis sekaligus aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya.
Pada Oktober 2011, Pogau pernah melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Tiga orang meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar.
Dia dipukuli polisi ketika meliput demonstrasi di Manokwari pada Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung, Aliansi Jurnalis Independen, menolak lakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan namun melakukan aktivitas politik.
Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat. Dia juga memprotes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata.
Ia secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 meminta birokrasi Indonesia menghentikan pembatasan wartawan asing meliput Papua Barat. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi.
Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono.
Namun belakangan Yuliana Lantipo mengundurkan diri awal Januari 2019 sesudah dia resmi jadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua. Yayasan Pantau belum menentukan pengganti buat Lantipo.
“Dia berasal dari etnik minoritas, yang lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.” kata Coen Husain Pontoh
yang mengusulkan pemakaian nama Pogau.
Editor: Maya Saputri