Menuju konten utama

Pemberitaan Balairung Mestinya Jadi Petunjuk Polisi Usut Kasus Agni

Polisi menyebut pemberitaan Balairung sebagai sebuah novel. Seharusnya polisi tidak mempersoalkan itu tapi menjadikannya petunjuk.

Pemberitaan Balairung Mestinya Jadi Petunjuk Polisi Usut Kasus Agni
Mahasiswa menggelar aksi "Besarkan Bara Agni" di Rektorat UGM sambil membentangkan spanduk yang berisi tanda tangan peserta aksi pada Kamis (29/11/2018). tirto.id/Dipna Videlia

tirto.id - Polisi menyebut pemberitaan Badan Penerbitan dan Pers Mahasiwa (BPPM) Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengungkap kasus dugaan perkosaan terhadap Agni, bukan nama sebenarnya, sebagai sebuah novel.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), novel merupakan karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Dengan kata lain polisi menyebut pemberitaan Balairung sebagai sebuah karangan. Pernyataan itu kemudian dipertanyakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Yogyakarta, Pito Agustin Rusdiana.

"Kalau polisi menyebutnya seperti novel, artinya polisi menganggap tulisan itu fiktif? Apa dasarnya?" kata Pito kepada reporter Tirto, Senin (21/1/2019).

Menurut Pito, artikel dengan judul 'Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan' yang diterbitkan Balairung itu ditulis berdasarkan wawancara sejumlah sumber. Meski bukan observasi lapangan, Pito menilai, tulisan itu tetap dikategorikan sebagai sebuah karya jurnalistik.

"Ada proses jurnalistik di sana yang telah dilakukan jurnalis Balairung. Artinya, ada fakta di sana," ujarnya.

Karena itu, lanjut Pito, apa yang diungkapkan Balairung melalui pemberitaan seharusnya ditanggapi positif oleh polisi karena dapat menjadi petunjuk dalam mengungkap kasus ini.

Pada sisi lain, pemanggilan jurnalis Balairung sebagai saksi dalam kasus ini, kata Pito, juga tidak tepat. Sebab, fakta media berbeda dengan fakta hukum. Jika ada dugaan pelanggaran kode etik jurnalistik, bukan tugas polisi mempersoalkannya, melainkan harus melalui mekanisme yang diatur Undang-Undang Pers.

"Polisi mestinya sejak awal berkoordinasi dengan Dewan Pers dalam pemanggilan jurnalis Balairung menjadi saksi," kata dia.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan. Menurutnya polisi sepatutnya menggunakan pemberitaan Balairung sebagai dasar penyelidikan, daripada mempersoalkan isi pemberitaan.

Manan berharap polisi berhati-hati dalam mengusut kasus ini. Ia mengatakan, jangan sampai sikap polisi malah menjadi bentuk intimidasi baru terhadap lembaga pers mahasiswa.

"Kami menilai apa yang dilakukan oleh teman-teman di Balairung itu sudah sangat proper (layak)," kata Manan saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (22/1/2019).

Sementara terkait dengan pernyataan polisi yang menyebut pemberitaan Balairung seperti novel, Manan menilai pernyataan itu harus dilandasi dengan data dan fakta penyidikan.

"Kalau memang sudah melakukan pemeriksaan dan menemukan tidak ada basis datanya [dalam berita Balairung]. Saya kira pernyataan itu masih masuk akal, tapi kalau dibuat sebelum melakukan pemeriksaan saya kira tidak patut juga memberikan jugement terhadap kasus yang belum mereka periksa," ujarnya.

Manan menegaskan, saat ini yang lebih penting adalah pengungkapan kasus dugaan perkosaan terhadap Agni.

"Itu jauh lebih penting supaya kita tidak menyembunyikan bau busuk di bawah karpet. Kalau memang memproses hukum teman-teman Balairung karena mengangkat beritanya, itu sama saja menyembunyikan kejahatannya, bukan menyelesaikan kejahatannya," kata dia.

Polisi Sebut Pemberitaan Balairung Seperti Novel

Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda DIY, Kombes Hadi Utomo mengatakan setelah dilakukan penyelidikan, terdapat perbedaan antara narasi yang ditulis dalam berita Balairung, keterangan saksi, dengan fakta.

"Yang jelas ada beberapa perbedaan antara yang dituliskan [Balairung] dan yang diterangkan dan fakta," kata Hadi, Senin (21/1/2019).

Sejumlah perbedaan itu di antaranya adalah narasi terkait jarak rumah pemondokan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang ditempati Agni dan terlapor. Serta ada perbedaan juga dalam narasi soal lingkungan sekitar pemondokan.

"Kan, di sini diisukan bahwa pemondokannya itu jauh, kemudian ada babi hutan dan jauh dari perkampungan. Itu ternyata bukan. Itu cuma 50 meter saja [jarak pemondokan perempuan dan laki-laki]," ungkap dia.

Hadi mengatakan, itu semua berdasarkan temuan lapangan saat penyidikan di Pulau Seram yang berjarak satu hari perjalanan dari Ambon. Hadi mengklaim telah melihat rumah pemondokan dan mengamati kamar yang diduga tempat kejadian perkosaan.

Atas dasar temuan lapangan itu, Hadi menyimpulkan apa yang ditulis Balairung tidak sepenuhnya benar. Bahkan, ia menyebut artikel yang ditulis Balairung itu seperti novel, bukan berita.

"Itu di perkampungan ramai orang. Yang seperti di novel itu ya -saya sebut itu bukan berita, itu novel [berita Balairung]. [Lokasi peristiwa] bukan hutan, katanya banyak babi hutan itu tidak ada, saya ke sana, saya tanya warga," kata dia.

Hadi menuturkan, pengelola Balairung dipanggil sebagai saksi untuk mencocokkan sumber dan fakta kejadian.

"Sekarang saya akan kroscek itu yang ditulis itu benar atau tidak, itu saja. Kenapa? Karena sumbernya, katanya dari saudara Agni. Agni tidak menerangkan seperti itu jadi bingung kami," ujarnya.

Dalam pemberitaan Balairung yang di unggah pada 5 November 2018 melalui laman Balairungpress, Agni adalah seorang mahasiswa Fisipol UGM angkatan 2014. Agni diduga diperkosa oleh teman kuliahnya saat mengikuti program KKN di Pulau Seram, Maluku pada Juni 2017.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Gilang Ramadhan