Menuju konten utama

Wamenkum Sebut RUU KUHAP Atur Dana Abadi Korban Tindak Pidana

Eddy menyebut RUU KUHAP akan mengatur bahwa pelaku tindak pidana yang tidak bisa membayar kerugian korbannya, maka kerugian itu akan ditanggung negara.

Wamenkum Sebut RUU KUHAP Atur Dana Abadi Korban Tindak Pidana
Wakil Menteri Hukum, Eddy Hiariej di kantor LPSK, Jakarta Timur pada Kamis (31/7). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

tirto.id - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Eddy Hiariej, mengatakan, revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) akan mengatur terkait dana abadi korban tindak pidana sebagai kompensasi untuk pemulihan mereka. Hal ini dalam menjelaskan soal aturan restitusi dan kompensasi terhadap korban tindak pidana.

“Dengan mengadopsi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kebetulan waktu itu saya ketua DIM pemerintah, ini kita adopsi dalam RUU KUHAP mengenai dana abadi korban. Jadi dana abadi korban ini bisa bersumber dari APBN,” ucap Eddy di sebuah acara diskusi Peringatan Anti TPPO Sedunia 2025 di kantor LPSK, Jakarta Timur pada Kamis (31/7).

“Ini untuk bagaimana kita melakukan rehabilitasi terhadap korban, restitusi terhadap korban,” tambahnya.

Kemudian, dia menyatakan nantinya peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan sangat penting dalam penggunaan dana abadi untuk korban.

“Saya kira ketika harus menghitung berapa biaya, bagaimana melindungi korban, bagaimana memberikan perlindungan terhadap saksi, ini peran LPSK menjadi sangat sentral. Oleh karena itu, dalam RUU KUHAP yang baru, tidak hanya pasal, tapi pada bagian tertentu, berbicara soal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,” ucap Eddy.

Dalam hal ini, Eddy menyatakan ketika penyidik penuntut umum akan memberikan hak korban, hak saksi, terutama untuk perempuan dan anak yang bermasalah dengan hukum. Mereka harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan LPSK. Hal ini lah yang disebut dengan kolaborasi lintas sektoral.

Eddy pun menyebut RUU KUHAP akan mengatur bahwa pelaku tindak pidana yang tidak bisa membayar kerugian korbannya, maka kerugian tersebut akan ditanggung negara. Namun, kerugian itu bukan restitusi, tetapi kompensasi.

“Bedanya apa? Kalau kompensasi itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Restitusi adalah tanggung jawab dari si pelaku. Tetapi kita tidak menutup mata bahwa kalau misalnya dalam kekerasan terhadap, tidak dalam tindak pidana kekerasan seksual itu, tidak mesti pelaku berasal dari orang yang berduit,” terang Eddy.

Sementara itu, Wakil Ketua LPSK, Antonius P.S. Wibowo, menyebut belum ada regulasi yang mengandung aturan soal dana abadi korban. Antonius mengatakan, hal ini membuktikan selama ini masalah restitusi untuk korban belum optimal.

Namun, katanya, dana abadi untuk korban sebagai kompensasi bukan dimaksudnya untuk menutup pelaku membayar restitusi.

“Penyampaian aset pelaku belum berjalan maksimal, itu satu. Yang kedua, belum ada regulasi untuk korban TPPO memperoleh restitusi dari dana abadi korban,” terang Antonius.

“Restitusi tetap dijatuhkan dalam rangka proses hukum. Bukan di luar proses hukum ya mbak. Jadi restitusi tetap dimintakan dari proses hukum. Melalui penyidikan, penuntutan, kemudian diajukan ke hakim,” imbuhnya.

Meski pelaku tak membayar restitusi, jelasnya, seharusnya korban tetap mendapat ganti rugi dari pelaku. Maka dari itu, negara yang akan menanggungnya melalui dana abadi. Menurutnya, konsep restitusi ialah tetap didasarkan pada putusan pengadilan. Oleh karena itu, putusan pengadilan yang sangat ideal bagi korban adalah menjatuhkan restitusi.

“Kalau restitusi tidak mampu dibayar atau kurang dibayar oleh pelaku, maka dilakukan penyitaan aset pelaku. Kalau dari aset pelaku masih juga kurang, di sinilah kemudian tempatnya kekurangan itu diambilkan dari dana abadi korban. Kira-kira seperti itu,” jelas dia.

Baca juga artikel terkait RUU KUHAP atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Flash News
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Andrian Pratama Taher