tirto.id - Kasus kopi sianida yang menewaskan Wayan Mirna Salihin hampir mendekati babak akhir. Jessica Kumala Wongso sang sosok antagonis diganjar vonis 20 tahun penjara. Prosesnya memang belum tuntas karena Jessica masih akan mengajukan banding. Maka, drama kopi sianida ini pun masih bisa berlanjut hingga beberapa babak.
Kasus yang menjerat Jessica Kumala Wongso ini bukanlah kasus kriminal biasa. Masalah muncul ketika polisi dengan percaya diri menetapkan bahwa Jessica-lah tersangka pembunuh Wayan Mirna Salihin. Sayangnya, bukti-bukti yang dipapar di pengadilan kurang mendukung. Ini yang membuat banyak orang penasaran.
Besarnya perhatian media membuat kasus ini menjadi bola liar di masyarakat. Alhasil perdebatan soal pembuktian pun berpindah dari ruang sidang ke ruang publik. Pada perdebatan di warung-warung kopi atau sosial media itulah Jessica bisa disandingkan sebagai aditokoh ataupun antiwirawan.
Tapi di lapangan, publik sudah cenderung lebih dulu membenci Jessica. Soal ini ditunjukkan oleh angka.
Data dari sentimen analisis tirto.id yang mengumpulkan obrolan di Facebook, Twitter, dan kolom komentar di 10 situs berita terbesar di Indonesia menemukan sentimen orang terhadap Jessica cenderung negatif. Hampir 52 persen ocehan-ocehan itu memojokkan Jessica, hanya 13 persen yang positif dan 35 persen sisanya netral.
Soal ini, General Manager News Gathering TV One, Ecep S Yasa, menunjuk pada publisitas dan pencitraan masif mantan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Krishna Murti, yang sukses membikin media dan publik percaya penuh padanya.
"Salah satu yang saya ikutin dari berita ini dan patut dicurigai adalah distribusi teks, video, foto di awal kasus yang hanya berasal dari satu sisi, yakni pihak kepolisian saja. Polda Metro Jaya begitu sangat yakin bahwa Jessica tersangka," kata Ecep. “Namun [...] di pengadilan kan ternyata belum ada bukti kuat. Hal ini membuat goyah.“
Tapi Ecep lupa, kepercayaan penuh pada polisi itu tidak akan sukses jika tidak ada peran media. Di sini setiap relasi, peristiwa, atau kejadian yang ditulis atau ditayangkan oleh wartawan bisa mempengaruhi persepsi publik terhadap sebuah peristiwa.
Tindakan semacam ini ini lazim dilakukan media-media yang mengincar yang disebut Daru Priyambodo sebagai tipikal The Clicking Monkeys: audiens pemamah dan penyebar konten bombastis bahkan hoax. Ada banyak konten internet bernada menghakimi dengan judul bombastis seperti "Biang Onar, Ini Jejak Suram Jessica Kumala Wongso di Australia.”
Dalam beberapa kasus, pers malah memberi ruang bagi masyarakat untuk iku menghakimi di ruang publik. Beberapa akun media sosial institusi media kerap bertanya pada publik “Bagaimana pendapatmu tentang kasus ini”, “Menurutmu siapa yang bersalah”, “Apakah Jessica betul-betul membunuh Mirna?”
Menurut Anggota Dewan Pers, Ratna Komala, hal semacam ini sudah menyalahi aturan.
Kecenderungan media memojokkan Jessica pun bisa terlihat dari sentimen analisis pemberitaan di media online yang terekam oleh tirto.id. Hasilnya, Ada 28 persen atau lebih dari seperempatnya memberitakan secara negatif, 18 persen positif, dan sisanya 54 persen memang netral.
Wajar jika salah satu poin eksepsi atau nota keberatannya kepada Hakim, pembela Jessica mengeluhkan ini. “Sekarang ini telah telanjur tercipta opini seakan-akan Jessica-lah pelaku sesungguhnya,” kata salah satu tim pembela, Sordame Purba, kepada majelis hakim di tengah persidangan pada sidang pertama, 15 Juni lalu.
Penggiringan opini publik akan semakin parah saat framing itu ikut pula dilakukan televisi. Hal ini sudah disoroti oleh Komite Penyiaran Indonesia yang menilai potensi penggiringan opini dan pengadilan oleh media sangat terasa terutama setelah tvOne, Kompas TV dan iNews TV masif menayangkan secara langsung.
"Ada sebuah stasiun televisi yang menayangkan wawancara dengan ayah korban selama 30 menit tanpa menghadirkan narasumber dari pihak Jessica. Ini jelas tidak berimbang dan akan segera kami minta konfirmasi," ujar Koordinator bidang Siaran KPI Hardly Stefano dalam sebuah diskusi di Gedung Dewan Pers, Jakarta (31/8/2016).
Kondisi sama dikeluhkan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo. Dia melihat media seakan menghadirkan pengadilan di tengah pengadilan. ”Media seolah-olah membuat sidang di luar persidangan dengan cara mengamati sidang lantas mengundang ahli-ahli juga,” kata Yosep.
Menurutnya, seluruh proses pengadilan seharusnya dihadirkan di pengadilan, dan tidak boleh dikomentari. Sebaliknya, yang dilakukan media dengan menghadirkan pengamat untuk mengoomentari sidang telah melanggar asas praduga tak bersalah.
Lebih dari itu, menurut dia, telah terjadi trial by the press, pengadilan oleh pers. “Media sudah melakukan pengadilan bahkan sebelum Jessica menyampaikan pembelaannya, pledoi belum dia bacakan,” ujar Yosep.
Dalam kasus ini, Jessica sudah dinyatakan bersalah oleh publik, bahkan ketika vonis belum dijatuhkan.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti