Menuju konten utama

Naluri Hakim dan Hukuman untuk Jessica

Majelis Hakim mempertimbangkan sikap Jessica yang tidak menunjukkan rasa bersalah selama persidangan dan ngotot bahwa dirinya tidak bersalah. Dalam konstruksi argumentasi hakim, sikap ngotot itu mencerminkan persoalan kejiwaan Jessica yang dianggap tidak beres.

Naluri Hakim dan Hukuman untuk Jessica
Terdakwa kasus dugaan pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso mengikuti sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (5/10). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pd/16

tirto.id - Jessica Kumala Wongso akhirnya dinyatakan bersalah telah membunuh Wayan Mirna Salihin. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lantas menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepada Jessica.

Pro kontra pun tak terhindarkan. Bukan semata soal meyakinkan atau tidaknya argumentasi Majelis Hakim, tapi terutama karena perdebatan memang sudah berlangsung jauh-jauh hari selama proses persidangan. Dari 15 Juni 2016 hingga 27 Oktober 2016, dengan tidak menghitung pemberitaan yang sudah kencang sejak hari-H kematian Mirna, publik dijejali pemberitaan yang selalu mendominasi laman media tiap kali persidangan berlangsung.

Publik pun mengetahui fakta-fakta yang sebelumnya belum terungkap dan hanya diketahui oleh penyidik kepolisian. Fakta-fakta yang kabur, saksi-saksi yang bertentangan, polisi yang tak cukup memberikan bukti akurat karena mengabaikan prosedur otopsi, debat yang alot antara jaksa dan pengacara dengan para saksi, hingga bombardir pemberitaan media memancing publik untuk menjadi Conan yang mencoba menyusun puzzle peristiwa.

Apa pun vonisnya, bahkan walau Jessice divonis bebas sekali pun, perdebatan pasti akan menyeruak. Apalagi beberapa uraian Majelis Hakim dalam pembacaan vonis juga rentan memancing perdebatan. Ada beberapa hal dari argumentasi Majelis Hakim yang menarik untuk dibahas.

Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa mereka mempertimbangkan sikap Jessica yang tidak menunjukkan rasa bersalah selama persidangan dan ngotot bahwa dirinya tidak bersalah. Dalam konstruksi argumentasi hakim, sikap ngotot itu mencerminkan persoalan kejiwaan Jessica yang dianggap tidak beres.

Ini sebangun dengan usaha Jaksa yang menderetkan bukti, juga kesaksian dari saksi ahli, bahwa Jessica adalah pribadi bermasalah, agresif, yang pernah mencoba bunuh diri, dan pernah pula mengancam kekasihnya, Patrick O'Connor. Majelis Hakim juga membahas perkara pelanggaran lalu lintas selama Jessica tinggal di Australia.

Pendeknya, semua fakta-fakta masa lalu Jessica dipakai sebagai tanda bahwa Jessica, mengutip pernyataan Majelis Hakim, "mengalami ketidakstabilan emosi berupa agresivitas."

Majelis Hakim juga mengkritik penasehat hukum terdakwa yang dianggap tidak maksimal dalam membela. Misalnya mencari kekurangan dan kelebihan agar terdakwa bisa dibela dengan lebih baik. Majelis Hakim menyebutkan mengapa pembela tidak mencari tahu bagaimana perhatian orang tua Jessica kepada anaknya dan mengapa sejak usia 18 tahun ia telah minum alkohol.

Mengapa perhatian orang tua Jessica dan minum alkohol, juga soal relasinya dengan Patrick, menjadi relevan dalam sidang ini? Perhatian orang tua pelaku dan kebiasaan mengkonsumsi minuman keras merupakan hal di luar pokok perkara persidangan.

Anggara Suwahju dari Institute for Criminal Justice Reform menyebutkan bahwa dalam sebuah persidangan baik hakim, jaksa, atau pembela fokus pada kasus itu. “Apa yang dilakukan di masa lalu itu tidak relevan. Karena fokusnya adalah di persidangan saat ini,” katanya.

Tapi Majelis Hakim jalan terus dengan argumentasinya terutama untuk membuktikan motif pembunuhan.

Konstruksi peristiwanya karena Jessica menjalani hidup yang sulit selama di Australia. Hubungannya dengan Patrick memburuk dan dipersulit oleh kehilangan pekerjaan di NSW Ambulance. Ia pun pulang ke Indonesia dan berharap mendapat sambutan hangat dari Mirna. Alih-alih mendapatkan yang diharapkan, Mirna malah menasihati Jessica untuk menjauhi Patrick.

Situasi menjadi lebih sulit karena Mirna sendiri ternyata sudah menikah dan Jessica tidak diundang ke pernikahan. Apalagi Jessica kemudian menyaksikan sendiri, dalam satu sesi makan malam, betapa hangatnya hubungan Mirna dan suaminya.

Dari sanalah Majelis Hakim merasa telah menemukan motif Jessica. “Motif kematian korban karena adanya unsur sakit hati atau dendam,” kata Majelis Hakim.

Tidak ada yang baru tentu saja dari argumentasi Majelis Hakim. Tidak ada temuan tentang, misalnya, saksi mata langsung yang menyaksikan Jessica memasukan racun. Wajar saja, karena putusan hakim memang diambil dari bukti dan fakta-fakta yang sudah diajukan, diuji serta diperdebatkan oleh jaksa dan pengacara sepanjang proses persidangan.

Yang relatif baru, dan karenanya menjadi bahan perbincangan, adalah soal “naluri” dan “ingus” itu tadi.

Wajar jika ada yang bertanya, dan memang sudah banyak yang mempertanyakan, mengapa hakim memutuskan berdasarkan naluri? Mengapa di zaman yang semakin canggih, argumentasi hakim justru membawa-bawa hal yang tidak substantif? Alih-alih menggunakan naluri, mengapa hakim tidak memaksimalkan kecanggihan teknologi dengan, misalnya, memaksa jaksa menghadirkan rekaman CCTV yang lebih valid, tidak ter/dipotong-potong, dengan resolusi yang jauh lebih besar?

Cara hakim menggunakan diksi “naluri”, atau menganalisis ada tidaknya ingus saat Jessica menangis kala membacakan pledoi, membuat penjelasan mengenai circumstantial evidence (bukti tak langsung) menjadi teralihkan. Sudahlah tidak berhasil mendapatkan bukti langsung berupa kesaksian saksi mata atau pengakuan terdakwa tentang dimasukannya racun, kok malah membahas ingus dengan metode naluriah, alih-alih mempertajam argumentasi soal motif dan bukti-bukti tak langsung itu?

Circumstantial evidence relatif belum dikenal khalayak. Sayangnya Majelis Hakim tak memanfaatkan momentum ini untuk menjelaskan dengan meyakinkan kalau circumstantial evidence itu bisa, kok, dipakai untuk membongkar kasus-kasus kejahatan.

Infografik Sidang Jessica

Baca juga artikel terkait SIDANG KOPI SIANIDA atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Hukum
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS