tirto.id - Jessica Kumala Wongso sudah menjalani 32 kali persidangan dalam kasus kematian Wayan Mirna Salihin. Kamis, 27 Oktober 2016, Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 20 tahun penjara. Sejak awal hingga akhir, kasus ini ibarat drama yang tak henti-hentinya disorot publik melalui tayangan live di televisi.
Sejumlah stasiun televisi menayangkan sidang kematian Mirna dalam durasi cukup panjang, bahkan hingga 12 jam. Sepanjang sejarah kasus kriminal di Indonesia, mungkin hanya sidang Jessica Kumala Wongso ini yang pertama kali disiarkan secara langsung oleh tiga stasiun televisi swasta.
Sebagai contoh, pada sidang ke-11 yang dilakukan 10 Agustus lalu, share Kompas TV melejit hingga 5,64 persen, begitu juga yang angkanya mencapai TVOne 5,68 persen dan INews TV 3,65 persen. Tiga stasiun TV ini meninggalkan Metro TV yang tidak menayangkan siaran secara langsung. Metro hanya kebagian 1,62 persen.
Padahal jika merujuk rerata share harian pada pekan itu—tanpa melibatkan hari di mana sidang digelar, Kompas TV hanya mendapat 2,06 persen, tvOne 3,43 persen dan iNewsTV 1,72 persen. Data ini sejalan dengan pengakuan Dirut Pemberitaan MNC Grup, Arya M Sinulingga.
Pembicaraan di media sosial pun selalu tinggi, bahkan tagar #SidangJessica pernah dicuit lebih dari 24.000 ribu kali saat salah satu sidang tersebut berlangsung.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebutkan bahwa liputan media terkait sidang Jessica dengan dakwaan membunuh rekannya, Mirna, mempengaruhi asas praduga tak bersalah.
Ramai-ramai Menayangkan Sidang
Saban pekan, minimal seminggu sekali, drama sidang Kopi Bersianida disuguhkan ke masyarakat. Drama ini mempertontonkan bermacam-macamperwatakan.
Jessica Kumala Wongso hanya duduk terpojok di ruang sidang. Dia terdiam melihat pengacaranya, Otto Hasibuan, berkonflik dengan jaksa ganteng bernama Shandy Handika.
Di tengah laga kedua pihak itu, Ketua Majelis Hakim Kisworo sebagai tritagonis mengernyitkan dahi dari kursinya. Sesekali, dia terlihat menyandarkan punggung dan kepalanya menempel kursi.
Di bangku penonton, Ayah Wayan Mirna, Darmawan Salihin, duduk mengawasi. Tatapan matanya tajam, seperti elang yang hendak menyergap mangsanya: Jessica.
Dalam drama ini, jangan lupakan juga presenter cantik Kompas TV Frisca Clarissa yang dengan bahasa tubuhnya menampakkan sikap skeptis dan kritis terhadap siapapun narasumber yang ditampilkan.
Di luar mereka semua, ada banyak tokoh lain yang punya peran juga penting dalam drama kopi bersianida ini, misalnya saksi-saksi.
Plot Zig-zag yang Sulit Tertebak
Brander Mathews, Profesor literasi drama pertama di Amerika Serikat, menekankan pentingnya tensi dramatik. Dengan mengatur nilai tegangan pada bagian-bagian lakon secara tepat maka efek dramatika yang dihasilkan akan semakin baik. Pengaturan tensi dramatik yang baik akan menghindarkan lakon dari situasi yang monoton dan menjemukan.
Tensi dramatik ini yang ditunggu-tunggu orang dalam setiap sidang kopi bersianida. Durasi panjang tidak masalah asal unsur dramatik muncul tak terduga pada tiap babak.
Salah satu spektakel paling menarik terjadi pada sidang ke-13, pada 25 Agustus 2016 lalu. Babak pertama dimulai ketika saksi ahli yang merupakan cendekia di bidang toksikologi forensik, I Made Agus Gelgel Wirasuta, memaparkan temuan terkait rekonstruksi pembuatan es kopi Vietnam yang dia lakukan. Rekonstruksi itu mengarahkan Jessica sebagai pelaku.
Tapi Otto kemudian membuatnya gelagapan saat mempertanyakan klaim Gelgel tentang Mirna yang menyedot 20 ml es Kopi Vietnam. Otto menyatakan volume es kopi yang disedot Mirna sampai kapanpun akan jadi misteri. Angka 20 ml itu hanya tafsir dan bukan kepastian.
Kemenangan Otto itu dibalik lagi ketika saksi ahli hukum pidana dari Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Edward Omar Sharif Hiariej berpendapat kasus pembunuhan berencana tidak perlu motif pelaku. Edward dengan tenang dan sigap berhasil menjawab pertanyaan Otto. Namun siapa sangka, saat sidang dilanjutkan lagi setelah Magrib, perdebatan terkait motif itu membuat Hakim Anggota Binsar Gultom membuka suara.
"Saya tidak sependapat dengan ahli,” kata Binsar.
Bagi Binsar, jawaban Edward amat membingungkan. Baginya, praktik di lapangan amatlah berbeda dengan teori. Dalam pembunuhan berencana, motif diperlukan untuk membuat kasus terkuak. "Ini praktik bukan teori. Apakah ahli bertahan dengan kesaksian ahli bahwa Pasal 340 tidak membutuhkan motif?" tanya Binsar.
"Saya tetap pada keyakinan saya, Yang Mulia," jawab Edward. Debat diakhiri dengan ucapan Binsar yang sepertinya bisa membuat Jessica tidur tenang. "Cukup. Pernyataan ahli cukup jadi wawasan saja," tutup Binsar.
Bagi Anda yang saban hari mengikuti terus kasus ini, kejadian plot zig-zag macam ini terjadi hampir di tiap persidangan. Kejutan-kejutan inilah yang ditunggu banyak orang.
Nuri, seorang ibu muda dari Bandung, misalnya, mengaku tidak pernah absen mengikuti kasus Jessica. Sejak bulan Juli lalu, rutin tiap hari Rabu atau Kamis dia akan menyalakan TV sepanjang hari. Ini jadi sesuatu hal yang jarang dia lakukan mengingat aktivitasnya yang padat sebagai peneliti bidang bioteknologi.
Dia tidak risih saat kegiatannya mengetik paper ditemani oleh ocehan-ocehan Otto Hasibuan. “Kasus ini seru. Aku suka dengan teka-tekinya yang sampai sekarang belum terungkap. Jadi penasaran aja ingin tahu siapa pembunuhnya,” katanya dengan bangga.
Apa yang dilakukan Nuri tidaklah segila Yeni. Nenek berumur 60 tahun ini selalu menyempatkan diri datang secara langsung ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal rumahnya jauh di Citayam, Depok. Dari Citayam dia biasa menumpang Commuter Line sampai Manggarai, lalu pindah kereta melanjutkan perjalanan ke Kemayoran.
Dengan penuh semangat dia bercerita: “Biasanya nonton dulu di rumah sampai jam 12. Setelah masak baru berangkat ke sini. Aku ikuti persidangan ini dari sidang ke-6. Diam di sini pun dari pagi sampai malam.”
Loyalitasnya pada persidangan ini hampir tak masuk akal. Pernah suatu ketika sidang berakhir jam 10 malam, dan dia tetap setia menyimak di pengadilan. "Sampai rumah jam sekitar pukul 2, gila ya aku. Haha.”
Di pengadilan itu, ada Yeni-Yeni lain yang jumlahnya bisa mencapai puluhan. Sorak sorai berisik penonton yang sering terdengar di televisi keluar dari mulut-mulut mereka.
Ketertarikan Nuri, Yeni, dan jutaan pemirsa lain adalah hal yang membuat Kompas TV, TvOne, dan INewsTV muncul bak pahlawan memberikan kesegaran lewat tayangan panjang di persidangan.
Share Uang
Pelbagai kritikan dan cemooh persidangan panjang ini sempat dibahas dalam diskusi bertajuk "Persidangan Kopi Bersianida, Jurnalisme TV dan Frekuensi Publik" yang digagas Ikatan Jurnalisme Televisi Indonesia (IJTI) dan diselenggarakan di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta (31/8/2016).
Sayang pada diskusi ini wakil dari Kompas TV, Rosiana Silalahi urung datang. Pihak yang hadir adalah Pemred Metro TV Putra Nababan, GM News Gathering TvOne Ecep S Yasa dan Direktur Pemberitaan MNC Group Arya M. Sinulingga.
Tingginya animo masyarakat untuk memantengi jalannya persidangan selama berjam-jam memang tidak terbantahkan. Kenaikan share tv dirasakan positif oleh Kompas TV, tvOne dan iNewsTV.
Pada sidang ke-11 yang dilakukan 10 Agustus lalu, share Kompas TV melejit hingga 5,64 persen. Begitupun juga dengan TvOne 5,68 persen dan INews TV 3,65 persen. Tiga stasiun TV ini meninggalkan Metro TV yang tidak menayangkan siaran secara live. Metro hanya kebagian 1,62 persen.
Padahal jika merujuk rerata share harian pada pekan itu—tanpa melibatkan hari dimana sidang digelar—Kompas TV hanya mendapat 2,06 persen, tvOne 3,43 persen dan iNewsTV 1,72 persen. Data ini sebenarnya sejalan dengan pengakuan Dirut Pemberitaan MNC Grup, Arya M Sinulingga.
Arya mengungkapkan total share dari TV berita seperti Kompas TV, iNews TV, tvOne dan Metro TV dalam satu hari bisa naik hingga 15 persen. Angka ini tentu melebih batas share TV berita yang hanya 9 persen—kalah jauh ketimbang saluran televisi hiburan.
Dari pernyataan itu, bisa disimpulkan bahwa sidang Jessica membawa kenaikan share. Ada uang datang bersama pertunjukan sidang kopi bersianida.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti