Menuju konten utama

Vonis Bebas Ronald Tannur Bukti Femisida Masih Kuat di Indonesia

Vonis bebas Ronald Tannur membuktikan upaya penegakan hukum kasus femisida masih belum serius dan terkesan lemah.

Vonis Bebas Ronald Tannur Bukti Femisida Masih Kuat di Indonesia
Gregorius Ronald Tannur menunggu untuk menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan atau vonis di Pengadilan Negeri Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (24/7/2024). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.

tirto.id - Kritik vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur – tersangka pembunuhan Dini Sera Afrianti – yang dilakukan Pengadilan Negeri Surabaya tidak kunjung berhenti. Amar putusan yang dibacakan majelis hakim, Rabu (24/7/2024), diyakini sejumlah pihak sebagai rekam buruk penanganan kasus femisida (pembunuhan perempuan) oleh penegak hukum Indonesia.

Ketua Majelis Hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik, memvonis bebas Ronald Tannur dengan alasan bukti perkara tidak cukup menguatkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Hakim meyakini Ronald tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pasal 338 juncto Pasal 351 ayat (3), Pasal 359, dan Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana 12 tahun penjara.

Dugaan Ronald melakukan pembunuhan berawal ketika anak eks Anggota DPR dari Fraksi PKB, Edward Tannur, itu cekcok dengan pacarnya, Dini Sera Afriyanti pada Oktober 2023. Robert diduga menganiaya dan menyeret serta melindas tubuh Dini menggunakan mobil sehingga meninggal. Tubuh korban awalnya hendak ditinggalkan Ronald begitu saja, tetapi kemudian diangkat dan dimasukkan ke mobil serta dibawa ke apartemen.

Sesampainya di apartemen, korban yang tidak sadarkan diri diletakkan Ronald di kursi roda dan dititipkan kepada satpam. Teman korban lalu berinisiatif membawanya ke rumah sakit. Namun, saat sampai rumah sakit dan dicek oleh dokter, Dini sudah meninggal.

Vonis bebas untuk Gregorius Ronald Tannur

Gregorius Ronald Tannur (kanan) berjalan dengan pengawalan petugas kejaksaan usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan atau vonis di Pengadilan Negeri Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (24/7/2024). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.

Majelis hakim PN Surabaya tak hanya mengecewakan keluarga korban, namun masyarakat yang menanti keadilan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Terlebih, majelis hakim menyebut Dini meninggal karena minum alkohol. Hakim turut menuturkan bahwa tidak ada saksi yang menyatakan penyebab kematian korban.

Komnas Perempuan menyampaikan kekecewaan atas vonis bebas yang dijatuhkan Majelis Hakim PN Surabaya terhadap Ronald Tannur. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menegaskan kasus pembunuhan Dini sudah termasuk dalam salah satu jenis femisida.

“Yakni kategori femisida dalam relasi intim atau intimate partner femicide (ipf) yang belum dikenali dengan baik di Indonesia,” kata Siti kepada Tirto, Jumat (26/7/2024).

Komnas Perempuan menilai femisida sebagai pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena jenis kelamin atau gendernya. Pembunuhan tersebut didorong rasa cemburu, rasa memiliki, superioritas, dominasi, dan kepuasan sadistik terhadap perempuan. Komnas Perempuan mengkategorikan femisida sebagai sadisme.

Menurut Siti Aminah, kasus pembunuhan pada Dini adalah eskalasi dari kekerasan dalam pacaran yang dialami korban selama membangun relasi dengan Ronald. Putusan bebas kepada Ronald menjadikan hak korban atas keadilan tidak terpenuhi.

“Memberi pesan pada masyarakat bahwa kekerasan terhadap pacar tidaklah dihukum, terlebih jika tersangka memiliki kuasa,” ujar Siti.

Data Komnas Perempuan pada 2023 mencatat, femisida intim menempati kasus dengan pemberitaan tertinggi. Komnas Perempuan melaporkan kasus femisida terbanyak meliputi Kekerasan terhadap Istri (KTI) sebanyak 64 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebanyak 33 kasus, Kekerasan Mantan Pacar (KMP) sebanyak 11 kasus, dan Kekerasan Mantan Suami (KMS) sebanyak 1 kasus.

Tindakan kekerasan tersebut juga tidak berhenti hanya dengan kematian korban. Kadangkala, pelaku juga merusak jasad korban femisida. Kondisi ini menunjukkan salah satu karakteristik femisida adalah sadistis.

“Seharusnya Majelis Hakim memeriksa latar belakang relasi kuasa, riwayat kekerasan terhadap korban yang pernah dialami, sesuai Peraturan MA Nomor 3 tahun 2017. Perma nomor 3/2017 kan tidak hanya diperuntukkan untuk korban yang masih hidup, tapi juga korban yang tewas akibat tindak pidana,” jelas Siti Aminah.

Menurut Siti, kepolisian dan JPU mengkonstruksikan kasus ini dengan pelanggaran pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian [fakta berupa dipukul, dilindas dan dimasukkan ke bagasi] serta kelalaian yang menyebabkan kematian [dimasukkan ke bagasi dan tidak segera membawa ke RS] dengan menggabungkan pasal tuntutan ganti kerugian.

Ilustrasi Kekerasan

Ilustrasi Kekerasan. foto/istockphoto

Ia menilai konstruksi tuntutan dari JPU sebetulnya sudah sangat progresif karena sangat jarang tuntutan disatukan dengan tuntutan ganti kerugian. Karena itu, kata Siti, Komnas Perempuan mendukung kejaksaan untuk mengajukan kasasi sebagai upaya memenuhi hak atas keadilan dengan pemulihan anggota keluarga korban.

“Kami juga merekomendasikan Badan Pengawas MA [Mahkamah Agung] dengan Komisi Yudisial untuk memberikan perhatian dan pengawasan terhadap kasus ini,” jelas Siti.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, Kamis (25/7/2024) lalu, memang menyatakan Kejaksaan akan mengajukan kasasi sebagai langkah hukum lanjutan atas putusan bebas Gregorius Ronald Tannur. Majelis hakim PN Surabaya dinilai tidak utuh mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh JPU, misalnya bukti CCTV.

JPU menuntut 12 tahun penjara kepada Ronald karena sejumlah bukti-bukti yang diyakini menguatkan. Hakim dipandang tidak tepat memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur yang juga merupakan anak dari politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Menurut Harli, pertimbangan hakim bahwa korban meninggal dunia sebab efek alkohol juga sumir. Sebab, alkohol tidak bisa jadi penyebab tunggal kematian, tanpa faktor lain dalam kasus dugaan pembunuhan ini.

“Namanya orang dilindas, misalnya dia sudah minum alkohol tapi yang kami dakwakan soal melindasnya. Membunuhnya,” ucap Harli.

Alarm Bahaya

Peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menilai di Indonesia, kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan salah satunya diatur Pasal 44 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) serta UU KUHP Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 344, Pasal 345, dan Pasal 350. Maka, amat disayangkan menurut Dewi, jika hakim tidak melihat kasus pembunuhan Dini sebagai tindak kejahatan.

Dewi memandang vonis bebas Ronald Tannur menjadi alarm bahaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh penegak hukum. Vonis bebas Ronald yang diputuskan majelis hakim PN Surabaya ini menambah rekam jejak panjang tumpulnya keadilan pada perempuan korban kekerasan.

“Pelaku kekerasan selama ini hanya dijatuhi vonis rendah,” kata Dewi kepada reporter Tirto, Jumat.

Perempuan sebagai korban kekerasan memang rentan terjadi dalam kultur masyarakat yang masih patriarkis. Penegak hukum seharusnya memiliki kepekaan tinggi terhadap perspektif gender dalam penanganan perkara.

“Diperlukan kompetensi dalam penanganan kasus. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan sejumlah training/workshop penanganan kasus perempuan berperspektif HAM dan gender,” ujar Dewi.

Ilustrasi Sidang

Ilustrasi Pengadilan. foto/IStockphoto

Sementara itu, Peneliti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Annisa Azzahra, menilai seharusnya hakim bisa menjerat Ronald sesuai dakwaan meskipun dia sudah membawa korban ke rumah sakit. Antara membawa korban ke rumah sakit dengan perbuatan penganiayaan yang dilakukan Ronald adalah dua hal terpisah.

“Di istilah hukum ada namanya dolus eventualis atau kesengajaan dalam kemungkinan. Jadi ini merujuk ketika pelaku dia sadar kalau tindakan dia ini dapat menyebabkan akibat tertentu yaitu cedera serius atau bahkan kematian. Tapi dia tetap terus melanjutkan perlakuannya,” kata Annisa kepada reporter Tirto, Jumat.

Ditambah, kata Annisa, sudah sempat beredar konten dari sosmed pribadi Dini yang merasa dia akan dibunuh oleh Ronald. Penganiayaan yang dilakukan Ronald juga tergambar jelas dari hasil visum et repertum jasa korban yang ditangani oleh RSUD Dr Soetomo.

Pemeriksaan dalam pada jasad korban ditemukan adanya pelebaran pembuluh darah pada otak, usus halus, usus besar akibat mati lemas. Resapan darah pada kulit dalam kepala, kulit dalam leher, otot dada, dan tulang iga.

Terdapat juga luka memar di paru kanan dan hati, luka robek pada hati akibat kekerasan dari benda tumpul. Pada pemeriksaan luar ditemukan pelebaran pembuluh darah dan bintik perdarahan di mata. Selain itu, ada bekas kebiruan dan pucat di ujung jari dan kuku tangan.

Annisa menerangkan kasus femisida selalu banyak terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun. Namun ketika masuk ke ruang sidang, korban masih menemui norma-norma patriarkis yang mendominasi proses peradilan pada kasus kekerasan terhadap perempuan.

“Korban perempuan [dianggap] tidak ada bobot yang layak, kurang adanya pengakuan terhadap bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender,” ujar Annisa.

Lebih lanjut, sebagai anak mantan anggota DPR, Ronald juga memiliki status sosial. Annisa berujar hal ini juga diduga turut mempengaruhi proses peradilan dalam kasus Dini.

Di sisi lain, penegakan hukum Indonesia dinilai masih berfokus pada penghukuman pelaku. Alfa mempertimbangkan bahwa dalam kasus ada korban dan hak-hak korban yang harus dipulihkan.

“Penegak hukum harus melepaskan diri dari bias-bias gender yang mereka miliki. Bahwa, misalkan dalam kasus ini, ketika perempuan datang dan juga ada di bar itu bukan berarti dia perempuan nakal, bukan berarti dia perempuan pantas dianiaya, dihukum, bahkan hingga dia tewas,” ungkap Annisa.

Di sisi lain, pengacara pihak korban bakal melaporkan hakim yang memberi vonis bebas Ronald ke MA. Sikap ini diambil lantaran putusan yang diberikan dipandang tak memberikan rasa keadilan bagi korban.

“Kami sebagai kuasa hukum juga akan melakukan laporan kepada Badan Pengawas Hakim di Mahkamah Agung atas putusan yang ada di PN Surabaya ini,” kata kuasa hukum korban, Dimas Yehamura, saat dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (26/7/2024).

Dimas memandang bahwa vonis bebas Ronald menandakan sulitnya mencari keadilan di Indonesia. Ia turut mengapresiasi Kejaksaan yang menyatakan bakal mengajukan kasasi terhadap vonis tersebut.

“Dengan putusan ini kita bisa paham sekarang bahwa mencari keadilan di Indonesia sangat tidak mudah, sangat sulit, bahkan orang yang sudah jelas-jelas meninggal, di sana dikatakan bahwa dia meninggal tapi membebaskan orang yang membunuh,” ungkap Dimas.

Baca juga artikel terkait PENGANIAYAAN RONALD TANNUR atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Andrian Pratama Taher