Menuju konten utama
Fear-Based Parenting

Video Viral Dedi Mulyadi dan Pola Asuh Berbasis Rasa Takut

Seberapa efektif pola asuh yang membuat anak merasa panik dan ketakutan? Apa dampaknya terhadap tumbuh kembang anak?

Video Viral Dedi Mulyadi dan Pola Asuh Berbasis Rasa Takut
Header Diajeng Fear Based Parenting. tirto.id/Quita

tirto.id - Mengasuh anak merupakan episode kehidupan yang menantang bagi setiap orang tua.

Anak tantrum, malas makan, tidak mau tidur—diperlukan kesabaran luar biasa dan siasat jitu bagi orang tua untuk menghadapi keseharian anak-anak yang super dinamis.

Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), mengunggah pesan video di akun Instagram yang ditujukan kepada anak-anak kecil.

KDM menyampaikan, dengan gaya dan bahasa kebapakan, bahwa anak-anak yang tidak disiplin—susah tidur, tidak mau makan, malas bangun pagi, menolak berangkat sekolah—akan "didatangi" atau “dijemput” olehnya.

Jika tidak mau “dijemput”, anak-anak harus patuh dan menuruti orang tua mereka.

“Dijemput Pak Gubernur” dalam konteks ini banyak diartikan oleh anak-anak sebagai ancaman bahwa mereka akan ditegur atau dimarahi oleh KDM.

Video KDM ini kemudian banyak dipertontonkan oleh orang tua kepada anak-anak mereka. Tujuannya tak lain untuk menakut-nakuti agar mereka patuh pada orang tua.

Tak sedikit anak yang melihat video tersebut dibuat menangis, merasa takut dan panik, sehingga bergegas mengucap janji pada orang tua mereka untuk rajin bangun pagi dan mandi.

Bagaimana pendekatan di atas diposisikan dalam dunia pengasuhan anak di masa kini?

“Pola pengasuhan ini bisa disebut fear-based parenting—gaya parenting otoriter yang hanya melibatkan komunikasi satu arah, dari orang tua saja. Apa yang diinginkan orang tua harus dijalankan dan diikuti, anak tidak bisa bernegoisasi," ujar psikolog anak, remaja dan keluarga Sani Budiantini yang juga direktur Lembaga Psikologi Daya Insani berbasis di Jakarta Selatan.

“Sering kali, pola asuh ini menakutkan bagi anak, karena disertai hukuman dan ancaman agar anak-anak mengikuti kemauan orangtua," lanjut Sani.

Senada, Dr. Stuart Ablon, psikolog klinis dan direktur Think:Kids dari Departemen Psikiatri, Massachusetts General Hospital menyampaikan pada Psych Centralbahwa fear-based parenting merupakan pola asuh yang mengerahkan kekuasaan dan kontrol orang tua agar anak-anaknya menurut.

"Gagasan di balik pola asuh fear-based parenting adalah, jika anak-anak ketakutan akan konsekuensi karena tidak memenuhi keinginan orang tuanya, maka mereka akan cenderung patuh," kata Ablon.

Alasan di balik keputusan orang tua mengasuh anak dengan rasa takut bisa jadi berkaitan dengan beban atau warisan masa lalu.

"Itu merupakan warisan pola asuh yang didapat orang tua saat mereka kecil. Mereka diperlakukan seperti itu, maka mereka melanjutkan pola pengasuhan ini pada anak-anak mereka,” kata Sani.

Menurut Sani, orang tua yang terlalu fokus mendisplinkan anak—tidak peduli apakah anak suka dengan pilihan orang tua atau tidak, anak terluka atau tidak—akan menimbulkan dampak kurang baik untuk mental anak pada saat ini maupun masa mendatang.

“Dampaknya, anak mengikuti kemauan orang tua untuk jangka pendek saja, tetapi jangka panjangnya kurang efektif."

"Dampak dari pengasuhan berbasis ketakutan atau gaya otoriter ini membuat anak menjadi takut, cemas, tidak percaya diri, dan menurunkan kreativitas mereka. Ini karena anak diperlakukan seperti robot, yang harus taat aturan. Pengasuhan ini berpotensi membuat anak menjadi rebel—memberontak. Mereka justru melakukan hal-hal yang tidak disukai orang tua di luar rumah," lanjut Sani.

Seperti ditekankan oleh pekerja sosial berlinsensi klinis di Pennsylvania, Carolyn Solo, pada Pysch Central, “Fear-based parenting adalah pola pengasuhan yang berakar dari rasa takut dan gelisah, alih-alih rasa ingin tahu dan semangat bertumbuh.”

Orang tua yang didorong rasa takut selama mengasuh anaknya, kata Solo, “membuat keputusan berdasarkan kekhawatiran akan kemungkinan buruk di masa depan atau ketakutan terhadap komentar dari orang lain”.

Jika anak terlalu diproteksi, konsekuensinya kelak anak jadi tidak belajar dari kesalahan atau mudah “kaget” dengan situasi di luar zona aman dan nyamannya.

Misalnya, anak yang dilarang bermain di playground agar tidak jatuh.

“Hal ini menghambat kesempatan anak untuk tidak hanya merasakan kesenangan dalam bermain—yang penting bagi tumbuh kembangnya—tetapi juga menghalangi mereka untuk belajar dari kesalahan dan memahami konsekuensi alamiah,” jelas Solo.

Pendek kata, anak-anak perlu merasakan situasi sulit. Dengan begitu, mereka mendapatkan kesempatan untuk belajar, berkembang, dan memupuk rasa percaya diri bahwa mereka mampu menghadapi tantangan dan mengatasi kesulitan dalam hidupnya.

Alih-alih membuat anak merasa takut, orang tua dapat menerapkan pola asuh yang berdasarkan pada rasa percaya.

Konselor profesional berlisensi Alyssa Patel di Cincinnati, Ohio menyampaikan pentingnya orang tua mengupayakan trust-based parenting.

“Orang tua yang melandasi pola asuh anak dengan kepercayaan ini memberikan kebebasan pada anak untuk mengambil keputusan. Mereka memercayai insting alamiah anak, penilaian anak, dan kemampuan anak untuk belajar dari kesalahannya sendiri. Mereka mendukung, alih-alih memandu, ketika anak meminta atau membutuhkan bantuannya,” tulis Patel.

Pola asuh yang berorientsi pada kepercayaan terhadap anak bukan berarti membiarkan anak melakukan apapun sesuai yang mereka inginkan, apalagi bersikap permisif atau membebaskan aturan.

Patel menyarankan beberapa strategi yang dapat diterapkan orang tua, seperti konsisten melimpahkan kasih sayang, menerapkan batasan jelas, memvalidasi emosi anak, dan membantu anak mengelola perasaaan serta emosinya.

Kuncinya adalah komunikasi dan kesediaan orang tua untuk mendengarkan pendapat anak.

Sani menuturkan, "Saat anak-anak masih kecil, masih susah berkomunikasi, maka orang tua yang mengarahkan. Semakin usia anak bertambah besar, tentu ada aturan untuk rutinitas hariannya.”

“Orang tua harus lebih peka terhadap kebutuhan anak. Alih-alih memerintah anak, sebaiknya orang tua menawarkan pilihan untuk anak dan konsekuensi yang dihadapi. Beri anak ruang untuk berdiskusi agar anak merasa dihargai pendapatnya.”

"Pola pengasuhan kombinasi yang memberi kebebasan dan menerapkan batasan apa yang tidak diperbolehkan, akan membuat anak menjadi mandiri. Pengasuhan ini juga dapat menumbuhkan disiplin dari dalam diri anak, bukan karena takut dihukum orang tua," pungkas Sani.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih