Menuju konten utama

Memahami dan Mendampingi Gen Alpha di Era Digital yang Dinamis

Kesediaan untuk berpikir terbuka dan adaptif terhadap dinamika kehidupan anak zaman sekarang menjadi kunci bagi Milenial dan Gen X untuk mengenali mereka.

Memahami dan Mendampingi Gen Alpha di Era Digital yang Dinamis
Header Diajeng Mengenal Tren Gen Alpha. tirtoid/Quita

tirto.id - Hayo, sudah berapa kali kalian menyaksikan video tren “velocity” yang bertebaran di linimasa media sosial?

Seiring itu, kalian juga pastinya kerap terpapar dengan istilah-istilah anak muda kekinian. Sebut di antaranya rizz, skibidi, sigma, dan GOAT.

Ya, tren di atas lekat dengan dunia Gen Z dan Generasi Alpha.

Generasi yang tumbuh dewasa dengan pesatnya kemajuan teknologi ini mengembangkan daya serap tinggi terhadap banjir arus informasi hanya lewat sentuhan jari di layar gawai.

Tak jarang, segala tingkah laku dan tren yang mereka gaungkan membuat generasi di atasnya, termasuk orang tua mereka, dari Milenial dan Gen X, geleng-geleng kepala.

Gen X adalah kelompok generasi yang lahir dalam rentang antara 1965 hingga 1980, sementara Milenial lahir antara 1981-1996.

Setelah dua generasi tersebut, lahirlah Gen Z, yaitu generasi yang lahir antara 1997-2012, dan Generasi Alpha yang lahir antara 2013-2024.

Mengutip situs market research asal Australia, McCrindle, Generasi Alpha merupakan angkatan yang paling diberkahi secara material.

Generasi tech-savvy ini disebut akan menikmati masa hidup yang lebih panjang dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.

Mereka akan menempuh masa pendidikan lebih lama, mulai mencari nafkah di kemudian hari, dan tinggal di rumah bersama orang tua mereka dalam kurun waktu lebih lama.

Maka dari itu, orang tua dari anak-anak Generasi Alpha akan menjalankan perannya sebagai ayah atau ibu untuk anak-anak mereka dalam rentang usia yang lebih panjang pula.

Masih mengutip sumber yang sama, era perkembangan teknologi yang sangat pesat—persisnya sejak 2010—juga memiliki dampak lebih besar pada pembentukan diri Generasi Alpha.

Angkatan ini cenderung memiliki attention span—rentang perhatian—yang lebih pendek, terbiasa dengan gamifikasi di lingkup sekolahnya, memiliki tingkat literasi digital yang tinggi—yang semuanya akan membentuk diri mereka.

“Generasi Alpha mulai dilahirkan pada 2010—tahun ketika iPad diluncurkan, Instagram diciptakan, ketika ‘app’ jadi istilah populer tahun itu—sedari awal, mereka sudah tumbuh menjadi screenagers,” demikian dikutip dari McCrindle.

Lauren Dunn dalam sebuah artikel di Motherly menyuarakan kegelisahannya selama mengasuh anaknya yang berusia 7 tahun.

Si anak ternyata sudah sangat luwes menggunakan gawai, bahkan sekadar untuk mengecek waktu dan cuaca.

Tak jarang, Dunn merasa geram dengan munculnya iklan-iklan produk gawai terbaru.

Promosi gencar gawai-gawai canggih tersebut, menurut Dunn, tak lebih dari awal kehancuran alat-alat manual untuk seni dan kreativitas yang semestinya menjadi sarana bagi anak untuk bermain dan belajar.

Dunn mengutip studi dari Brookings Institute pada 2019 yang menyebutkan bahwa upaya memperkenalkan siswa muda pada seni-seni kreatif sedari usia dini dapat mengurangi angka kejadian terkait masalah perilaku, mendukung pencapaian akademis lebih baik, dan menumbuhkan empati terhadap sesama.

Ilustrasi Anak dan Gawai

Ilustrasi anak dan gawai. Getty Images/Istockphoto

Dunn mengakui tidak mudah mengelola rasa khawatirnya dalam membesarkan anak pada masa kini, ketika keseharian mereka senantiasa bersinggungan dengan tren dari influencer di media sosial, teknologi super praktis seperti ChatGPT, sampai kendaraan serba canggih seperti mobil otonom.

"Apa yang harus dilakukan seorang ibu? Bagaimana kita dapat mendorong anak-anak kita untuk bekerja keras, mandiri, dan mengerahkan energi kreatif serta usaha mental mereka sendiri untuk menjadi unggul—ketika hampir segala hal dalam hidup mereka sekarang bisa diotomatisasi, dilimpahkan pada orang lain, atau dihasilkan secara instan?” demikian Dunn bertanya-tanya.

Kegalauan Dunn bisa jadi turut dirasakan oleh sebagian angkatan Milenial dan Gen X di penjuru dunia.

Alih-alih menghakimi dan semakin berjarak dengan Generasi Alpha, apa yang bisa kita upayakan untuk mengenali dan memahami anak-anak muda ini?

Psikolog Anak dan Keluarga Mira Damayanti Amir S.Psi., Psikolog, mengatakan langkah pertama yang bisa kita coba adalah bersikap terbuka.

Milenial dan Gen X perlu memahami bahwa anak-anak dan remaja masa kini cenderung lebih dinamis dan praktis karena mereka terbiasa dengan perubahan serba cepat di era digital.

"Bagaimana Gen Alpha memproses informasi akhirnya berpengaruh terhadap durasi perhatian yang lebih pendek. Problemnya, mereka cenderung kesulitan untuk mempertahankan fokus. Karena yang mereka saksikan, terutama konten-konten di medsos, paling lama berdurasi satu menit bahkan 30 detik," kata Mira.

Kesenjangan generasi ini juga jamak ditemui pada dunia kerja antara Gen Z dengan Milenial atau Gen X.

Mira mencontohkan bagaimana Gen X atau Milenial, yang biasanya sudah duduk di posisi senior manajer atau kepala divisi, bertemu dengan pegawai baru Gen Z yang umumnya masih berusia remaja akhir atau dewasa awal.

Menurutnya, angkatan lebih tua dari Gen X lebih menikmati berbicara panjang lebar, sedangkan Gen Z cenderung lebih to the point.

Maka dari itu, kata Mira, kita yang lebih tua perlu juga melatih diri untuk berkomunikasi dengan lebih efektif.

"Biasakan kita untuk berkomunikasi yang efektif dan efisien," ujarnya.

Selain memupuk sikap terbuka dan membiasakan diri untuk berkomunikasi secara efektif, Mira mengingatkan hal yang tak kalah penting adalah tidak merasa paling benar apalagi asal menghakimi.

Mira mencontohkan, ketika mendapati anak tengah sibuk berinteraksi dengan gawai, orang tua sebaiknya tidak serta-merta melabeli anak “terlalu sering main gadget.”

Alih-alih menghakimi, orang tua perlu melakukan pendekatan lebih luwes dan pendampingan aktif.

Misalnya, memerhatikan apakah si anak sedang mengerjakan tugas sekolah dengan benar di gawai, memastikan anak tidak kesulitan menggunakan gawai, atau sekadar mendengarkan cerita anak dari apa yang disaksikan atau dilakukannya dengan gawai.

Sikap menghakimi dari orang tua, menurut Mira, tak lain salah satunya dipengaruhi oleh kinerja otak.

"Semakin tua, fleksibilitas berpikir semakin berkurang. Memang, menjadi judgmental adalah cara mudah dalam menilai sesuatu karena otak cenderung malas untuk melakukan telaah lebih lanjut," ungkapnya.

Mira menambahkan, agar tetap bisa mengawasi dan membersamai anak Generasi Alpha, orang tua perlu meluangkan waktu dan energi untuk belajar mengenali tren-tren yang sedang mereka minati.

Meski begitu, penting juga untuk membuat batasan soal durasi penggunaan dan selektif dalam tontonan pada gawai.

Ketika durasi gawai tidak dibatasi, bukan tindakan yang bijak bagi orang tua untuk mengeluhkan anaknya bermain gawai.

"Tempo hari, siapa yang memperkenalkan gawai lebih awal pada? Orang tua sendiri, bukan? Ketika kalian menarik gawai tersebut, apakah tepat untuk kemudian berharap bahwa si anak dapat langsung selektif dalam memakai gawai?” papar Mira.

Tidak bisa dimungkiri, bukan perkara mudah membersamai dan mengasuh anak-anak zaman sekarang. Di sisi lain, bukan upaya yang mustahil pula bagi kita untuk belajar memahami mereka.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Putri Annisa

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Putri Annisa
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih