tirto.id - Selama dua tahun masa pernikahan, aku selalu mengutuki diri sendiri karena vagina tak bisa dipenetrasi. Awalnya kupikir karena kurang santai, akhirnya kami coba berlibur, menjajaki segala macam tempat dan hotel berbintang. Tapi tetap saja, kami tak bisa melakukan hubungan seksual, meski ingin.
Pernah aku mencoba berkonsultasi dengan dokter spesialis kandungan di Jakarta. Saat itu, dokter melakukan prosedur pemeriksaan umum dengan USG transvaginal. Namun, upaya sang dokter memasukkan alat USG ke dalam vagina nihil. Secara refleks bokongku naik dan hampir loncat dari kursi pemeriksaan. Dokter tersebut kembali bilang bahwa aku kurang rileks dan ia hanya menuliskan resep vitamin serta asam folat. Tiga kali pemeriksaan serupa kulalui, dan aku mulai putus asa karena penetrasi masih belum terjadi.
Pada pertengahan 2016, sepulang dari berlibur bersama suami, aku merasa rasa stres dan putus asa sudah sampai puncaknya. Akhirnya kutemui sebuah forum yang membahas masalah serupa denganku. Vaginismus, begitu mereka sebut kelainan pada diriku.
Masalah yang diceritakan Mona (29), seorang karyawati swasta di Jakarta di atas, tak jauh berbeda seperti yang diuraikan Myra kepada saya. Perempuan ini malah sudah empat tahun menjalani pernikahan tapi tak pernah berhasil penetrasi saat berhubungan seksual. Setahun pernikahan, ia memang tak menjadikan masalah itu sebagai prioritas untuk diselesaikan karena masih menunda momongan.
Namun, pada tahun kedua, pertanyaan “kapan punya anak” mulai mendera bertubi-tubi. Akhirnya Myra mencoba berbagai macam pengobatan, mulai dari pergi ke psikiater dan mendapat hipnoterapi hingga konsumsi obat-obatan antidepresan. Akhirnya Myra menyerah. Ia mengambil jalan pintas untuk melakukan program inseminasi, dan jelas, programnya gagal. Beberapa tahapan prosedur tak bisa dilakukan karena terhalang vaginismusnya.
Vaginismus seperti yang dialami Mona dan Myra merupakan disfungsi seksual yang terjadi pada vagina. Otot vagina akan mengetat atau mengejang ketika mendapatkan sentuhan pada area vagina, termasuk pemeriksaan umum oleh dokter kandungan seperti USG transvaginal, pemeriksaan spekulum (cocor bebek), papsmear, dan penetrasi penis pasangan.
Meski belum ada data pasti jumlah penderitanya, namun dalam laman Sage Journals, Andrée Lahaie dkk, menyebut kelainan ini diprediksi dialami oleh 5-17 persen perempuan di dunia.
Vaginismus dapat dideteksi ketika perempuan memiliki gejala seperti ketidakmampuan melakukan hubungan seksual atau penetrasi. Lazimnya mereka tanpa sadar akan bereaksi dengan mengencangkan otot panggul, mengangkat bokong, dan menutup paha selama percobaan penetrasi. Masalahnya, tak ada faktor pasti yang ditetapkan sebagai akar penyebab vaginismus, sehingga tindakan preventif tak bisa diterapkan pada masalah ini.
Berjuang untuk Pulih
Belum banyak dokter dan tenaga kesehatan yang tahu tentang vaginismus, bahkan ada yang menganggap vaginismus sebagai kelainan karena vagina terlalu kecil. Padahal, dalam ilmu medis, tak ada pengategorian penyakit yang berkaitan dengan volume vagina. Wajar kalau selama ini Mona dan Myra mendapatkan penanganan kurang tepat.
Tak hanya itu, para penyandang vaginismus kerapkali mendapat stigma buruk. Mereka dianggap kurang santai, tidak bisa mengendalikan pikiran seolah tidak menginginkan hubungan seksual, dan parahnya lagi dituduh kurang religius karena tak mau melayani pasangan.
Padahal, walaupun menderita vaginismus, respons serta dorongan seksual mereka normal. Mereka tetap menginginkan persetubuhan dan merespons positif stimulus seksual. Tak jarang, vaginismus menjadi pangkal perceraian dan konflik dalam rumah tangga. Kondisi itulah yang pernah dialami oleh Mona dan Myra.
“Suami beberapa kali sempat komplain, tapi beruntungnya ia termasuk sabar dan mendukung segala macam usaha,” cerita Myra.
Setelah sempat kelimpungan mencari referensi tetang vaginismus kesana kemari, mereka akhirnya memutuskan mencoba terapi prosedur dilatasi berbantu di RSIA Limijati Bandung. Di sana Mona dan Myra bertemu dengan dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG, yang menurut mereka merupakan satu-satunya dokter di Indonesia yang fokus memberikan penanganan vaginismus secara menyeluruh.
Namun, Mona dan Myra bisa dikatakan lebih beruntung ketimbang perempuan lain yang juga mengalami derita vaginismus seperti mereka. Mereka mendapatkan terapi medis yang tergolong dini, malah kini keduanya tengah dalam masa kehamilan. Secara khusus, Robbi memaparkan prosedur medis yang ia lakukan untuk menangani vaginismus.
Pertama kali saat pasien datang, ia terlebih dulu meluangkan waktu untuk berbincang. Meluruskan persepsi salah mengenai vaginismus sekaligus menggali informasi karena sejatinya vaginismus hanya bisa didiagnosis berdasar dari keterangan pasien. Yang terpenting dari sesi tersebut dr. Robbi mencoba memberi pemahaman bahwa vaginismus bukanlah kesalahan penderita yang tidak bisa mengendalikan pikirannya.
“Fenomena fisik yang jarang diketahui pada vaginismus adalah kaku otot dinding vagina yang tak bisa dikendalikan pemiliknya,” ungkap dr Robbi saat berbincang bersama Tirto.
Ia kemudian memberi analogi kondisi vaginismus dengan mengatupkan kedua tangannya lalu meminta telunjuk saya mencoblos bagian tegah katup tersebut. Gagal. Jari telunjuk saya yang dianalogikan sebagai penis tidak dapat menembus katup tangan yang dianalogikan sebagai dinding vagina.
Robbi kemudian memaparkan bahwa manusia memiliki tiga macam otot. Pertama, otot yang 100 persen bisa dikendalikan seperti bisep trisep. Kedua, otot yang sebagian bisa dikendalikan tapi sebagian lagi tidak, seperti otot yang berperan dalam pernapasan dan kedipan. Mereka bisa bekerja tanpa disadari, tapi bisa juga dilakukan dengan kesadaran penuh.
Terakhir, otot yang sama sekali tak bisa dikendalikan pemiliknya, termasuk otot jantung yang tak bisa diperintah untuk berdegup atau berhenti. Otot vagina termasuk di dalamnya.
“Pasien tetap punya dorongan seksual, respons seperti lubrikasi vagina tetap terjadi. Tapi seberapapun mereka menginginkan, penetrasi tetap tak bisa terjadi.”
Setelah sekitar 1-2 jam proses anamnesis/wawancara selesai, ia akan mengukur derajat keparahan vaginismus pasien. Vaginismus dibagi menjadi lima derajat, yang paling rendah dimulai dari angka satu, hingga lima sebagai derajat paling tinggi.
Penyembuhan vaginismus hanya bisa dicapai dengan melakukan latihan dilatasi. Pada derajat yang rendah, vaginismus memiliki peluang diatasi dengan latihan dilatasi mandiri.Caranya bisa dengan latihan memasukkan jari ke vagina, hingga memakai alat bantu dilator. Mona dan Myra kebetulan sama-sama memiliki derajat empat vaginismus sehingga harus mendapat bantuan medis untuk melakukan latihan dilatasi.
“Pasien saya 80 persen mengalami vaginismus dengan derajat 3 ke atas, terbanyak pertama derajat 4, lalu 3, baru 5,” ungkapnya.
Prosedur medis untuk membantu dilatasi yang dilakukan dr Robbi dinamakan prosedur dilatasi berbantu. Pertama kali prosedur ini digagas oleh Peter Pacik, M.D dari Amerika, lalu ilmunya diturunkan ke dr. Robbi sebagai tenaga kesehatan pertama yang belajar langsung dari sang pionir. Inti prosedur ini adalah menghilangkan kaku otot vagina dengan pembiusan, sehingga alat bantu dilator dapat dimasukkan ke dalam vagina untuk pertama kalinya.
Tak perlu waktu lama untuk melakukan prosedur dilatasi berbantu. Cukup 10 menit dan beberapa jam setelahnya pasien bisa langsung melakukan latihan dilatasi dengan dilator, tanpa nyeri, tanpa takut, dan tanpa paksa. Dalam kondisi tersebut, pasien telah berada di jalur penyembuhan tepat, mereka tinggal melakukan latihan dilatasi rutin hingga nantinya mengalami penetrasi. Untuk menjalani prosedur ini, pasien perlu menyiapkan biaya sekitar Rp25-29 juta.
“Data di Amerika, setelah prosedur dan berhasil latihan dilatasi sendiri, penetrasi penis paling cepat dilakukan dua minggu setelahnya, paling lama 8 bulan. Data dari pasien-pasien saya paling cepat satu hari setelah prosedur, yang terlama adalah 6 bulan.”
Membikin Disfungsi Ereksi
“Saya pernah mendapat pasien yang datang sendiri, malah diantar dengan sesama pasien vaginismus lainnya. Mereka janjian karena yang satu ternyata sudah lebih dulu diceraikan oleh suaminya,” kata dr Robbi.
Selama ini perlakuan terhadap penderita vaginismus memang minor, perempuan selalu disalahkan, dianggap cacat, kurang ibadah, dan iman, membuat nasib mereka semakin buruk. Namun, bukan berarti hanya perempuan yang butuh diterapi, bagi dr Robbi, pasangan pasien vaginismus perhatian yang tidak kalah pentingnya.
Ada beberapa pasangan vaginismus.mengalami disfungsi ereksi karena frustasi atas keadaan hubungan seksualnya. Dalam medis, kondisi ini disebut disfungsi ereksi psikogenik. Padahal sejatinya, disfungsi ereksi paling banyak terjadi karena gangguan penyakit lain seperti jantung dan diabetes.
“Karena menghadapi frustrasi terus menerus, jadi suaminya mengalami gangguan ereksi.”
Sayangnya kondisi ini agak sulit ditangani karena sebagian laki-laki cenderung malu mengungkapkan kondisinya. Sama halnya seperti perempuan dengan vaginismus, laki-laki yang mengalami disfungsi ereksi psikogenik karena vaginismus harus pelan-pelan diberi pemahaman dan penanganan.
Intinya, dalam proses penyembuhan vaginismus, dibutuhkan dukungan dan kejujuran dari pasangan. Sejatinya vaginismus hampir 100 persen bisa disembuhkan dan tak perlu jadi akar masalah perpisahan yang sia-sia.
Editor: Maulida Sri Handayani