tirto.id - Partai Nasdem “diserang” usai mengumumkan Gubernur DKI Jakarta 2017-2022, Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden mereka pada Pemilu 2024. Sejumlah kritik dan pertanyaan dilemparkan berbagai pihak karena Nasdem berada di kubu pemerintah, sementara Anies kerap dipersepsikan sebagai anti-pemerintah.
Kritik awal dilontarkan Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto. Dalam keterangan beberapa waktu lalu, Hasto menyinggung bahwa Nasdem telah melanggar etika politik karena mendukung seseorang dari kubu berseberangan dari pemerintah.
“Jadi jangan sampai mencalonkan seseorang yang punya kebijakan berbeda. Ketika misalnya ada kebijakan berbeda dari calon yang diusung parpol itu dengan Pak Jokowi, maka akan kontradiktif,” ujar Hasto.
Meski menyerang, Hasto enggan masuk lebih jauh soal keputusan Nasdem yang mengusung Anies pada 2024. Ia mengklaim bahwa PDIP tidak mau mengintervensi kedaulatan partai lain.
“Sekali lagi, PDI Perjuangan tak campur tangan dengan kedaulatan parpol lain. Hanya skala prioritas PDI Perjuangan adalah mendorong setinggi-tingginya prestasi demi kemajuan rakyat di pemerintahan Pak Jokowi dan KH Maruf Amin,” kata dia.
Partai Nasdem pun menjawab “tudingan” tersebut. Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya mengkritik pernyataan Hasto soal deklarasi capres. Ia menyinggung soal posisi Partai Gerindra yang mendukung Prabowo sebagai capres dengan apa yang dialami Nasdem.
“Itu klaim tidak berdasar namanya. Koalisi itu didasarkan pada apa sih? Pada pencapresan seseorang? Gerindra kenapa tidak disebut lepas (dari pemerintahan) juga jika begitu,” kata Willy saat dihubungi Tirto pada Senin (10/10/2022).
Willy membantah bahwa kinerja partai mereka dalam pemerintahan menjadi merosot akibat Anies. Dirinya menyebut bahwa Nasdem akan selalu setia hingga akhir masa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Sejauh ini menteri-menteri Nasdem selalu segaris dengan arahan Presiden Jokowi. Apa ada sikap Nasdem yang bertentangan dengan pemerintahan saat ini? Tentu saja tidak," ujarnya.
Willy juga meminta tolak ukur yang jelas kepada Hasto mengenai kinerja para menteri dalam kabinet. Willy juga mengingatkan bahwa partainya adalah pendukung pertama dari Jokowi saat akan menjabat jadi presiden pada Pemilu 2014.
“Jadi atas dasar apa Nasdem disebut keluar dari pemerintahan? Masa ukurannya karena mencapreskan seseorang. Terlalu kerdillah cara berpikir seseorang jika begitu argumentasinya," ungkapnya.
Sementara itu, Sekjen DPP Partai Nasdem, Jhonny G. Plate menilai, pandangan yang meminta menteri Nasdem diberhentikan dari kabinet sebagai hal yang tidak perlu direspons.
“Urusan yang masih remeh temeh begitu enggak usah diurus, negara lagi berhadapan dengan banyak tantangan," kata Plate di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (11/10/2022).
Ia mengingatkan, Indonesia akan menghadapi tantangan besar dunia di masa depan.
Plate menyoalkan posisi relawan yang juga meminta Jokowi mencabut menteri Nasdem. Ia mengingatkan bahwa substansi pemilu adalah mengikuti semua tahapan. Menkominfo ini berharap agar semua pihak menghormati kewenangan dan berupaya menjaga demokrasi berkualitas sesuai aturan Pemilu 2024.
“Ikut aturan itu, fokus di situ dan diksi yang dipakai, diksi yang harus membesarkan hati dan menjadikan pemilu adalah pesta demokrasi rakyat, bukan seperti yang ini komentarnya," kata Plate.
Mana yang Menguntungkan bagi Nasem?
Analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah menilai, serangan kepada Nasdem adalah respons positif. Ia menilai Nasdem telah berhasil membuat sebagian kelompok merespons usai pengumuman penetapan Anies sebagai kandidat.
“Artinya Anies menjadi pusat perhatian kontestasi, bisa dianggap jika Anies cukup mengkhawatirkan, dan ini akan membuat Nasdem lebih percaya diri," kata Dedi kepada reporter Tirto.
Lantas, siapa yang diuntungkan dari serangan kepada Nasdem? Ia menilai, partai yang mendukung pemerintah dan tidak mendukung pemerintah sama-sama untung. Akan tetapi, bagi Nasdem, mereka berpeluang meraup suara kontra pemerintah secara signifikan.
“Nasdem punya peluang mengeruk suara dari pihak yang kontra pemerintah, dan ceruknya cukup besar, setidaknya lebih besar dari pemilih Nasdem saat ini," kata Dedi.
Dedi beranggapan, posisi Nasdem saat ini berada di pemerintah bukan masalah. Ia justru menilai, pemerintah tidak akan terpengaruh banyak secara politik jika Nasdem tetap di pemerintahan. Ia malah lebih sepakat bila Nasdem bertahan hingga dikeluarkan Jokowi.
“Justru harus mempertahankan posisi itu [di kabinet] hingga presiden mengeluarkannya. Ini soal imbas simpati publik, jika Nasdem dikeluarkan terlebih alasan mengusung Anies, maka akan melahirkan gelombang dukungan yang lebih solid," kata Dedi.
“Keberadaan Nasdem di pemerintah tidak akan pengaruhi pemerintah, jika pun berdampak jelas bukan karena faktor Nasdem, tetapi faktor presiden, karena presiden yang punya kendali atas pemerintahan. Bahkan jika keluar sekalipun, Jokowi akan dianggap tidak dewasa, dan cenderung patuh pada oligarki," tegas Dedi.
Di sisi lain, Nasdem tidak akan mendapat benefit jika keluar sendiri. Ia mengingatkan bahwa Nasdem dikritik saat ini terjadi karena posisi mereka yang mendukung Anies, sementara Anies dianggap sebagai ancaman rivalitas.
Situasi politik baru akan mengalami goncangan jika PKS menggantikan posisi Nasdem yang keluar. Ia beralasan, Nasdem bisa keluar gelanggang akibat kebijakan tersebut.
Dedi yakin, Nasdem tidak akan salah langkah. Ia yakin Nasdem juga tidak akan keluar hingga dikeluarkan sendiri oleh Jokowi.
"Surya Paloh itu tokoh mapan dalam politik, ia tidak akan keluar demi mengeruk simpati melalui konflik, ia tahu benar bagaimana politik dijalankan, untuk itu jika harus Nasdem tidak ada di pemerintah, dipastikan itu dikeluarkan, bukan mengeluarkan diri, karena dampak elektoral dari kondisi itu bisa berbeda," kata Dedi.
Sementara itu, dosen komunikasi politik Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Silvanus Alvin memandang, kritik dan isu permintaan Nasdem keluar dari kabinet karena tidak menghargai Jokowi dapat dikategorikan sebagai counter-narasi. Ia beralasan, Nasdem dikategorikan berhasil dalam mencuri start dengan deklarasi Anies.
Apakah hal tersebut positif atau negatif? Alvin menilai, positif atau negatif tergantung dari permainan counter-narasi yang dilakukan partai.
“Bila counter-narasi diterima publik, maka efek negatif bila kader-kader Nasdem stay sebagai menteri. Karena ujungnya adalah bagaimana resepsi dan respons dari masyarakat umum. Dampak elektoral berbanding lurus dengan penerimaan positif publik luas," kata Alvin kepada Tirto.
Alvin menilai, Nasdem tetap pantas masih di pemerintahan Jokowi meski mendukung Anies. Setidaknya ada dua alasan Nasdem tetap layak. Pertama, pergantian menteri Nasdem akan memicu kegaduhan dan hal itu buruk bagi pemerintahan Jokowi.
Kedua, kata dia, posisi menteri adalah demi rakyat sehingga tidak bisa asal melihat dari latar belakang partai. Namun situasi ini harus diikuti dengan kinerja menteri Partai Nasdem dengan baik.
“Jika nanti Nasdem tetap stay di pemerintahan, saya rasa akan menjadi sebuah tindakan atau pilihan yang kurang tepat bila Nasdem mengganggu roda pemerintahan Jokowi. Sebaliknya, Nasdem akan berupaya menunjukkan sisi terbaik sekaligus berusaha untuk menunjukkan bahwa Anies siap untuk melanjutkan hal-hal baik yang ada di masa pemerintahan Jokowi," kata Alvin.
“Dari momen ini bisa dilihat situasi politik mulai memanas di kalangan elite politisi," tegas Alvin.
Berdasarkan poin-poin tersebut, Alvin yakin bahwa Nasdem tidak akan keluar dari pemerintahan Jokowi. Ia mengingatkan posisi Nasdem sudah bersama Jokowi sejak lama. Kalau pun keluar, maka semua tergantung Jokowi sebagai presiden.
“Nasdem menjadi salah satu partai pertama yang mendukung Jokowi. Bila mereka keluar karena alasan politis dengan tujuan 2024, maka hal ini akan dipandang negatif oleh publik. Ideologi nasionalis yang berusaha digaungkan Nasdem akan tereduksi dengan sendirinya," kata Alvin.
Alvin menambahkan, “Maka dari itu, saya rasa Nasdem akan mau dan tetap berada di pemerintahan hingga akhir masa pemerintahan Jokowi. Bila akhirnya mereka keluar, bisa saja itu merupakan keputusan reshuffle yang dilakukan oleh presiden.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz