Menuju konten utama

Tunjangan Rumah Dinas DPR Perlebar Jurang antara Elite & Rakyat

Tunjangan rumah DPR diberikan senilai Rp50 juta setiap bulan, yang membuat pendapatan bulanan anggota DPR otomatis meningkat.

Tunjangan Rumah Dinas DPR Perlebar Jurang antara Elite & Rakyat
Suasana dan kondisi rumah anggota DPR RI di Kalibata, Jakarta Selatan. (Tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama)

tirto.id - Anggota DPR RI periode 2024-2029 kini tak lagi mendapatkan rumah dinas sebagaimana para legislator di periode sebelumnya. Kebijakan itu termuat dalam Surat Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor B/733/RT.01/09/2024 perihal Penyerahan Kembali Rumah Jabatan Anggota.

Surat yang diteken pada 25 September 2024 lalu itu, memerintahkan anggota DPR yang terpilih maupun yang tidak untuk meninggalkan rumah dinasnya masing-masing.

Tapi, sebagai gantinya fasilitas rumah dinas tersebut dialihkan menjadi tunjangan rumah senilai Rp50 juta setiap bulan, yang membuat pendapatan bulanan anggota DPR otomatis meningkat.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, menilai tunjangan rumah sebesar Rp50 juta setiap bulan justru kontra produktif dengan tujuan awal arah pemerintahan. Sebab kebijakan ini berpotensi pemborosan niretika di tengah efisiensi yang digaungkan pemerintah.

Tunjangan rumah dinas DPR ini, kata dia, dapat dianggap sebagai pemborosan anggaran negara yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kepentingan masyarakat yang lebih membutuhkan. Contohnya seperti percepatan program 3 juta rumah layak huni bagi masyarakat miskin.

"Apalagi di saat rakyat harus antre minyak goreng; dibohongi oleh trik bensin; hingga berjuang membayar kontrakan, wakil rakyat justru meminta kontrakan mewah dengan uang negara. Kondisi ini semakin menegaskan jargon efisiensi tidak sejalan dengan praktik boros DPR," jelas dia dalam pernyataannya diterima Tirto, Rabu (20/8/2025).

Terlebih lagi menurut Misbah, skema yang digunakan tidak transparan dan tidak akuntabel. Karena menurutnya belum tentu tunjangan yang diterima untuk kebutuhan rumah (sewa/kontrak) karena tidak ada laporan aktualnya.

"Padahal, ada mekanisme lain (reimbursement atau laporan penggunaan keuangan) yang memungkinkan publik lebih mengetahui dan menjamin akuntabilitas," ujanya.

Di sisinya, pemberian tunjangan rumah bagi DPR juga menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara wakil rakyat dengan rakyat. Mengingat saat ini, banyak warga yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Untuk diketahui, gini ratio di Indonesia dalam lima tahun terakhir cenderung tidak signifikan, masih di sekitar angka 0,38 (BPS). Artinya, secara statistik makro dampak pemberian tunjangan rumah dinas DPR dan rasio gini memang nyaris tak terlihat.

"Secara persepsi keadilan dan legitimasi politik, kebijakan ini tetap bisa memperlebar jarak sosial antara elite dan rakyat," jelas dia.

Dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang masih membutuhkan banyak perbaikan, prioritas anggaran sebaiknya diberikan pada program-program yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Apalagi kinerja dewan saat ini masih tergolong rendah, terutama pada aspek legislasi dan pengawasan anggaran.

"Hampir tidak ada dokumen yang dihasilkan dari monitoring anggaran yang dilakukan oleh DPR. Sebagai contoh, capaian pengesahan RUU dalam Prolegnas prioritas tiga tahun terakhir masih rendah, tidak lebih dari 14 persen yang selesai. Belum lagi peran pengawasan DPR yang masih formalitas," ungkapnya.

Oleh sebab itu, efisiensi yang dilakukan pemerintah seharusnya sebesar-besarnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memfasilitasi pejabat (DPR). Tunjangan rumah dinas DPR seharusnya digunakan untuk mendukung program-program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin dan rentan, seperti perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.

"Misalnya akses terhadap kesehatan reproduksi, pendidikan vokasi, ekonomi mikro atau mempercepat program pengadaan rumah layak huni bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang saat ini lambat atau mandeg," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait DPR atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Insider
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Hendra Friana