tirto.id - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menggelar aksi untuk mendesak kampusnya lebih serius dalam menangani kasus pelecehan seksual yang menimpa Agni (nama samaran) saat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN). Aksi pada Kamis (29/11/2018) di Rektorat UGM ini juga diikuti oleh perwakilan alumni kampus itu, dan sejumlah mahasiswa dari universitas lain di Yogyakarta.
Koordinator aksi, Cornelia Natasya mengatakan mereka menuntut rektorat UGM segera melakukan tindakan nyata dan mewujudkan komitmen menangani kasus perkosaan itu. Dia menyayangkan sikap UGM yang lamban dan terkesan tak serius menangani kasus yang terjadi pada Juli 2017 tersebut.
"Kami berusaha menarik rektorat keluar, kami punya tuntutan yang harus segera dipastikan hari ini," ujar Natasya di UGM, Yogyakarta, di sela-sela aksi berlangsung.
Sejumlah tuntutan itu di antaranya meminta UGM untuk menjelaskan mengapa butuh waktu yang lama untuk menangani kasus ini, kesulitan apa yang dihadapi dan transparansi langkah-langkah yang telah dilakukan kampus tersebut.
Natasya menyebut, penyintas di kasus ini (Agni) juga kecewa terhadap langkah UGM membawa perkara ini ke ranah hukum. Sebab, hal itu berlawanan dengan keinginan penyintas. Menurut Natasya, keinginan penyintas adalah pelaku dikeluarkan dari kampus secara tidak hormat.
Hingga kini, UGM juga dinilai belum melakukan langkah nyata untuk memenuhi tuntutan penyintas. Bahkan, rekomendasi dari tim investigasi khusus yang menangani kasus ini pun tidak dilaksanakan.
"Dengan mendorong ke ranah hukum, UGM berusaha melepas tanggung jawabnya. UGM tergesa-gesa membawa ke jalur hukum. Di mana tanggung jawab UGM? UGM dengan mudah bilang mereka sudah bawa ke jalur hukum," kata Natasya.
Tanggapan Rektorat UGM
Satu jam setelah aksi digelar sejak pukul 10.00 WIB, perwakilan rektorat UGM menemui para peserta aksi. Mereka ialah Wakil Rektor bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Ika Dewi Ana, Wakil Rektor bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiawaan, Djagal Wiseso Marseno, dan Wakil Rektor bidang Kerja Sama dan Alumni, Paripurna Poerwoko Sugarda.
Ika Dewi Ana mengakui salah satu hambatan UGM adalah karena kampus itu belum memiliki aturan khusus atau pun Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk menangani kasus kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan pemerkosaan.
"Rekomendasi tim investigasi sudah dijalankan, tapi kemudian mungkin dalam penanganan itu ada kelambatan. Hambatannya kita tidak punya perangkat yang baik untuk itu, jadi memang harus diperjuangkan. Ini harus diakui UGM," kata Ika.
Pernyataan Ika itu disambut dengan bunyi kentongan, peluit, dan teriakan dari sejumlah peserta aksi. Mereka kecewa karena menganggap UGM terlalu lama menangani kasus ini, meski sudah jelas pelaku mengakui perbuatannya dan kampus itu juga membenarkan kekerasan seksual ialah pelanggaran berat.
"Jelas sekali bahwa kalau memang ada perbuatan yang sifatnya pelecehan, dan bahkan pemerkosaan, jelas sekali itu pelanggaran berat," kata Ika.
Mendengar pernyataan Ika itu, para peserta aksi pun semakin lantang meneriakkan tuntutan agar pelaku dipecat dari kampus. Apalagi, pelaku telah membuat surat pernyataan dirinya bersalah dan meminta maaf.
Ika dan Paripurna kemudian berupaya meyakinkan peserta aksi, bahwa tim investigasi dan komite etik yang khusus dibentuk dalam kasus ini sedang bekerja keras memberi keadilan kepada penyintas.
Dalam aksi yang digelar ini, para peserta aksi juga menggoreng ikan asin yang disuguhkan untuk para wakil rektor yang hadir. Menurut Natasya, ikan asin itu merupakan bentuk protes simbolis karena ada pejabat Rektorat UGM yang pernah menganalogikan pemerkosaan seperti kucing dan ikan asin.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Addi M Idhom