tirto.id - Tiga warga desa Lebak Jabung, Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur melakukan aksi jalan kaki selama delapan hari untuk mengantar surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kedatangan mereka meminta Jokowi untuk menolak tambang di Sungai Boro, Desa Lebak Jabun.
Aksi itu dilakukan oleh Ahmad Yani (45), Sugiantoro (31), dan Heru Prasetiyo (24) yang melakukan aksi jalan kaki sejak 26 Januari 2020 lalu dari Mojokerto ke Istana Negara, Jakarta Pusat.
Mereka tiba di istana negara sekitar pukul 16.00 WIB, Kamis (6/2/2020). Dalam melakukan aksi jalan kaki, mereka hanya bermodalkan secarik bendera merah putih, beberapa pakaian ganti, dan uang saku sebesar Rp602 ribu.
Mereka menyusuri jalur Selatan mulai Mojokerto, Nganjuk, Madiun, Ngawi, Sragen, Boyolali, Salatiga, hingga Semarang, dan terkahir di Jakarta.
"Uang tersebut berasal dari donasi warga Lebak Jabung mendukung ikhtiar dan usaha kami untuk menemui Presiden," kata salah satu warga Mojokerto, Ahmad Yani saat berorasi bersama aksi kamisan di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2020).
Di Istana Negara, ketiga warga Mojokerto itu ingin menyampaikan keresahan lingkungan mereka yang dirusak oleh tambang batu andesit di Sungai Boro, Desa Lebak Jabun. Bekas penambangan itu, meninggalkan lubang-lubang raksasa yang merusak areal pertanian pada tahun 2015.
Padahal lokasi merupakan kawasan hutan lindung, cagar budaya, situs religi Makam Kyai Ageng Ulama yang melakukan dakwah Islam di Majapahit, area pertanian, dan sungai.
Mereka mengklaim telah melaporkan kejadian itu mulai dari pemerintahan tingkat desa hingga provinsi Jawa Timur. Namun sayangnya, belum ada penyelesaian.
Ahmad menuturkan pada tanggal 7 Januari 2015, sebanyak 50 warga Mojokerto telah membawa surat penolakan tambang di Desa Lebak Jabung.
"Namun hanya diterima oleh Satpol PP dan tidak pernah ada tindak lanjut," ucapnya.
Pada tahun 2018, mereka sudah melakukan upaya Pemulihan melalui organisasi Gabungan Komunitas Peduli Lingkungan (Gakopen). Seperti melakukan penanaman pohon di bantaran Sungai Boro dan wilayah-wilayah yang gundul akibat penambangan dan perambahan di wilayah Hutan Lindung.
Gakopen juga mengembangkan Desa Wisata dengan program wisata religi seperti situs peninggalan Majapahit, wisata kuliner, dan wisata alam river tubing. Tujuannya untuk menjaga ekosistem sungai mencegah bencana banjir.
"Pada tahun 2004 contohnya banjir bandang di sungai ini karena dirusak aktivitas pertambangan," tuturnya.
Pada 11 Oktober 2018, tiba-tiba CV. Sumber Rejeki memaksa melakukan penambangan. Namun warga menolak rencana penambangan saat diskusi di Balai Desa karena berdampak kerusakan lingkungan dan rusaknya sumber air yang menjadi kebutuhan warga desa sehari-hari.
Setahun kemudian, 7 Desember 2019, perusahaan kemudian memaksakan penambangan dengan mendatangkan satu unit ekskavator untuk melakukan penambangan perwakilan perusahaan.
Perusahaan penambangan itu menunjukkan surat izin tambang yang sejak awal tidak pernah mendapatkan persetujuan warga sekaligus melakukan penambangan batu andesit hingga 20 sampai 25 truk per hari.
Kemudian pada 23 Januari 2020, perusahaan menambah jumlah ekskavator untuk melakukan penambangan di Desa Lebak Jabung. Sejak itu, penambangan makin masif dilakukan, lengkap dengan pengawalan para preman perusahaan yang kerap mengintimidasi, mengancam keluarga, dan saudara-saudara mereka yang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup serta situs-situs penting Majapahit di Mojokerto.
Ketiga warga Mojokerto itu didmpingi peserta aksi kamisan memberikan surat itu ke Sekretariat Negara (Setneg). Mereka berharap, Presiden Jokowi dapat membebaskan Subhan dan lingkungan mereka dari aktivitas tambang.
"Membebaskan hutan lindung dari tambang, biarkan sungai dan hutan lindung bekerja sesuai fungsinya memberikan fungsi layanan alam bagi seluruh makhluk hidup yang ada di Bumi ini," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri