Menuju konten utama

Terra Luna dan Do Kwon yang Melabrak Kepercayaan Masyarakat

Mata uang bikinan Do Kwon dibangun di atas logika yang keliru, yang tak menghasilkan apapun selain kehancuran.

Terra Luna dan Do Kwon yang Melabrak Kepercayaan Masyarakat
Logo token mata uang kripto Terra (LUNA) pada desain bertema teknologi koin. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Hidup di tengah modernitas New York City, Olaf Carlson-Wee tumbuh sebagai pemuda berbeda. Ia tidak belajar ilmu di bidang STEM (science, technology, engineering, dan mathematics), ekonomi/bisnis, atau fashion, anak pendeta Lutheran ini memilih mengejar mimpi secara harfiah.

Dibantu buku-buku karangan Carlos Castaneda, Carlson-Wee menempa diri sebagai pembaca mimpi, belajar ilmu neurologi dan sosiologi untuk mencari alasan mengapa manusia sering bermimpi. Ia percaya bahwa mimpi memiliki kekuatan magis. Menurutnya, jika seseorang yang tengah bermimpi dapat mengendalikan mimpinya, maka "Anda dapat bercengkerama, ngobrol, tentang pelbagai hal dengan diri Anda sendiri [dalam bentuk individu berbeda, bukan seperti berbicara dalam hati]."

Setelah lulus kuliah, Carlson-Wee menjadi seorang bohemian, hippie, yang hidup menggelandang di sekitar Pergunungan Sierra Nevada. Untuk menopang hidupnya, ia bekerja sebagai penebang kayu.

Uang tak seberapa dari kerjanya menebang kayu tak dihabiskan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setelah membaca dokumen setebal sembilan halaman karangan Satoshi Nakamoto saat duduk di bangku sekolah, ia mengalokasikan sebagian penghasilannya untuk membeli bitcoin.

Langkah ini dilakukan meskipun saat itu bitcoin memiliki nilai hampir mendekati nol, atas kisah sang ayah tentang The Great Recession yang rutin didengar sewaktu kecil, ia percaya bahwa bitcoin, mata uang digital yang sepenuhnya dikendalikan oleh sistem bernama blockchain, adalah masa depan perekonomian dunia.

Membeli atau memiliki bitcoin di tahun-tahun awal kemunculannya tak semudah seperti saat ini. Kala itu, karena tak memiliki komputer untuk "menambang" bitcoin, Carlson-Wee harus membeli bitcoin dari pelbagai pihak ketiga yang sialnya acapkali menipu. Dalam penuturannya kepada Jeff John Roberts untuk King of Crypto: One Startup's Quest to take Cryptocurrency out of Silicon Valley and onto Wall Street (2020), Carlson-Wee tak menerima bitcoin sepeser pun yang menjadi haknya usai membeli bitcoin melalui situs MyBitcoin. Pemilik situs mengklaim bahwa "situs ini jelas-jelas namanya 'bitcoin saya' (my bitcoin), bukan 'bitcoin Anda' (your bitcoin)."

"Zaman itu merupakan waktu terburuk membeli bitcoin. Kala itu, penipuan merupakan hal lumrah di dunia jual beli bitcoin," ujarnya.

Seiring waktu, masa kegelapan jual beli bitcoin akhirnya berakhir. Didirikan oleh mantan teknisi IBM, Deloitte, dan AirBnb bernama Brian Armstrong pada 2012, Coinbase muncul sebagai situs/aplikasi yang mempermudah, tanpa perlu mengingat public key dan private key, juga dapat dipercaya untuk urusan membeli bitcoin.

Carlson-Wee tertarik, ia terus-menerus membeli bitcoin menggunakan Coinbase. Ia kemudian berikrar untuk meninggalkan laku hidup sebagai hippie untuk menjadi manusia "normal" dengan menjadi karyawan Coinbase.

Karena tak memiliki pengalaman dan ilmu yang sejalan dengan kebutuhan Coinbase, perusahaan itu hanya mula-mula tertawa ketika menerima lamarannya. Namun, setelah mengundang Carlson-Wee untuk melakukan wawancara, Coinbase akhirnya menerimanya sebagai karyawan.

Sebagai salah satu pelanggan awal Coinbase, Carlson-Wee sempat merasakan bencana terbesar pertama yang menimpa perusahaan ini. Kala itu, tak lama setelah berdiri dan mulai populer digunakan masyarakat, Coinbase mengalami "glitch" yang terjadi karena adanya "bug" dalam sistemnya. Hal ini membuat Coinbase tidak dapat menampilkan saldo rekening kepemilikan bitcoin pelanggan.

Saat pelanggan membeli bitcoin, tidak ada informasi penambahan saldo. Dan tak lama berselang, sistem hanya menampilkan "0" sebagai saldo bitcoin yang dimiliki para pengguna Coinbase. Atas kerusakan sistem ini, para pengguna merasa ditipu. Coinbase kemudian diserbu para penggunanya--baik melalui kata-kata kasar melalui layanan pelanggan ataupun didatangi langsung--serta diboikot dan terancam bangkrut. Nilai bitcoin pun terkoreksi atas dolar AS gara-gara kerusakan sistem ini.

Carlson-Wee yang merasa Coinbase berbeda karena sang pendiri tampil di hadapan media, tak ikut-ikutan menyerang. Ia yakin bahwa tidak tampilnya jumlah saldo di Coinbase terjadi karena masalah sistem semata, bukan penipuan. Dan benar saja, tak sampai seminggu kemdian, Coinbase berhasil memperbaiki "glitch" yang menimpa sistem mereka. Catatan saldo kepemilikan bitcoin akhirnya muncul kembali. Dari kasus ini, ketika diwawancarai, Carlson-Wee memukau pendiri Coinbase karena ia paham betul sendi utama sukses-tidaknya mata uang kripto: kepercayaan.

Kepercayaan merupakan modal utama dunia mata uang kripto untuk hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Sendi yang ironisnya, di tangan pemuda bernama Do Kwon, tak dijaga dengan baik.

Pendiri Tak Amanah, TerraUSD Hancur

"Aku enggak mau ngomong sama orang miskin," ucap Do Kwon, mengomentari kritikan terhadap mata uang kripto buatannya, TerraUSD, pada Juli 2021. Ia adalah alumnus Stanford University, mantan teknisi software Microsoft dan Apple yang pada 2018 mendirikan Terraform Labs.

Ia sesumbar berhasil "memodernisasi sistem finansial global" melalui TerraUSD yang disebutnya sebagai "karya terbaikku". Kalimat angkuh itu terucap setelah Frances Coppola, ekonom asal Inggris, menyebut bahwa mata uang bikinan Kwon dibangun di atas logika yang keliru, yang tak menghasilkan apapun selain kehancuran. Logika keliru yang diagungkan Kwon tetapi dikritik kalangan ekonom, bersumber dari konsep bernama "algorithmic stablecoin".

Ryan Clements dalam "Built to Fail: The Inherent Fragility of Algorithmic Stablecoins" (Oktober 2021), menyebut bahwa algorithmic stablecoin atau koin-stabil berbasis algoritma merupakan varian dari stablecoin. Dan sesuai namanya, stablecoin merupakan jenis mata uang kripto yang berusaha menstabilkan diri atau memiliki nilai yang sama selamanya, tidak seperti nilai bitcoin yang naik turun mengikuti pasar.

Caranya dengan mematok diri terhadap suatu aset tertentu--baik mata uang yang dijaga negara seperti dolar atau rupiah, emas, maupun aset/komoditas berharga lainnya. Tether (USDT), salah satu stablecoin, misalnya, menjaga nilai jual beli di posisi USDT1 (1 tether) sama dengan $1 (1 dolar) dilakukan dengan cara mengalihkan seluruh uang yang diterima dari masyarakat dalam penjualan tether ke dalam dolar yang disimpan di rekening bank konvensional.

Dalam dunia stablecoin, "jika Anda memiliki satu unit stablecoin yang ada di blockchain di dunia kripto, di suatu tempat di dunia nyata akan ada satu dolar yang disimpan di bank. Dan uang yang disimpan di bank tersebut memastikan stablecoin mempertahankan nilai yang sama selamanya."

Stablecoin ibarat antitesis dunia mata uang kripto yang ingin terbebas dari belenggu institusi keuangan konvensional ala negara. Ide kemunculan stablecoin terjadi karena dalam upaya memasyarakatkan mata uang kripto, memiliki bitcoin jauh lebih mudah dan murah dilakukan dengan dibeli/ditukar melalui stablecoin alih-alih menggunakan dolar atau rupiah. Ini terjadi karena stablecoin telah berada di alam blockchain. Jika masyarakat tak jadi mengadopsi bitcoin, uang yang telah mereka tukar ke dalam stablecoin dapat dicairkan kembali ke bentuk yang diakui negara tanpa kehilangan nilai sepeser pun.

Gara-gara berhubungan mesra dengan institusi keuangan ala negara, stablecoin dianggap "berkhianat" terhadap Satoshi Nakamoto, urban legend (karena tidak diketahui sosok aslinya) pencipta bitcoin dan sistem di baliknya, blockchain. Dan atas alasan ini, algorithmic stablecoin lahir sebagai "penyempurnaan stablecoin".

Algorithmic stablecoin disebut "penyempurnaan stablecoin" karena tidak ada campur tangan aset/komoditas seperti dolar yang disimpan di institusi keuangan konvensional. Agar memiliki nilai yang sama sepanjang masa, Algorithmic stablecoin berpatokan pada algoritma semata. Dan algoritma yang dijadikan patokan tersebut umumnya berbentuk mata uang kripto lain.

Untuk menjaga UST1 (1 TerraUSD) sama dengan $1 (1 dolar), TerraUSD salah satu algorithmic stablecoin menjaga dirinya dari ketidakstabilan melalui tangan Luna, mata uang kripto lain bikinan Kwon--bukan berjenis stablecoin ataupun algorithmic stablecoin, tetapi serupa dengan bitcoin.

Infografik Stablecoin

Infografik Stablecoin. tirto.id/Sabit

Melalui hubungan simbiosis ini, jika nilai TerraUSD turun terhadap dolar (1 TerraUSD berada di bawah 1 dolar), Terraform Labs sebagai perusahaan yang menaungi TerraUSD dan Luna akan membakar/melenyapkan unit berlebih TerraUSD atas kesediaan pemilik, dan unit yang dibakar tersebut menjelma menjadi unit baru Luna.

Sebaliknya, jika nilai TerraUSD naik terhadap dolar (1 TerraUSD berada di atas 1 dolar), Terraform Labs akan membakar/melenyapkan unit Luna, dan unit yang dibakar tersebut menjelma menjadi unit baru TerraUSD. Bagi pemilik TerraUSD/Luna yang rela unitnya dibakar, unit baru TerraUSD/Luna menjadi "keuntungan" mereka.

Ada mekanisme menjaga permintaan/penawaran melalui proses bakar unit demi mempertahankan 1 TerraUSD sama dengan 1 dolar. Persis seperti negara mengendalikan inflasi melalui, misalnya, naik turunnya suku bunga perbankan.

Kerja algorithmic stablecoin seperti TerraUSD menjaga nilainya tetap sama terhadap dolar memang terlihat cerdas. Namun, kembali merujuk paparan Clements, sistem ini lebih pas disebut fatamorgana. Dalam algorithmic stablecoin, makna "stabil" tak memiliki pondasi apapun alias omong kosong belaka. Alasannya, "tidak ada patokan (pegging) sungguhan dalam algorithmic stablecoin", dan algorithmic stablecoin hanya dapat bertahan hidup melalui dukungan sepenuh hati dari seluruh pemujanya (Terraform Labs serta masyarakat pemilik TerraUSD/Luna).

Hampir setahun setelah Frances Coppola dan Ryan Clements menggaungkan kelemahan algorithmic stablecoin, malapetaka menimpa TerraUSD. Gara-gara terjadi penarikan besar-besaran (TerraUSD ditukar ke dolar), senilai $14 miliar, TerraUSD tak dapat mempertahankan dirinya di nilai 1 TerraUSD sama dengan 1 dolar karena Luna tak kuat menopang gejolak raksasa ini. Maka TerraUSD beserta Luna hancur seketika.

Yang menarik, dilaporkan David Yaffe-Bellany dan Erin Griffith untuk The New York Times, hancurnya TerraUSD dan Luna terjadi atas ulah Kwon sendiri. Uang senilai $14 miliar tersebut merupakan duit milik pelbagai investor untuk memodali Kwon membeli bitcoin, dan Kwon menjamin uang yang dipinjam dari investor dengan TerraUSD.

Sadar bahwa algorithmic stablecoin hanya isapan jempol--sejak 2021 banyak riset muncul yang menyatakan algorithmic stablecoin berbahaya--investor lalu menarik uangnya kembali. Akhirnya membuat kacauan permintaan/penawaran dalam tubuh TerraUSD/Luna.

Melalui tangan Kwon, TerraUSD dan Luna hancur karena ketiadaan sifat amanah dalam diri pendirinya. Tidak ada trust, kepercayaan, dalam tubuh algorithmic stablecoin.

Baca juga artikel terkait KRIPTO atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi