tirto.id - Salah satu hal sukar waktu datang ke kota baru adalah mencari tempat makan. Apalagi jika daerah itu benar-benar asing, baterai telepon genggam sekarat, atau sinyal internet tak bagus. Namun, bagi saya, semua itu tak masalah asal tahu caranya.
Cara saya: alih-alih memeriksa akun-akun kuliner di media sosial, saya akan fokus memperhatikan warung makan sepanjang jalan utama yang dilintasi banyak kendaraan besar. Bukan etalase makanannya tapi tempat parkirnya.
Kok bisa? Apa hubungannya?
Awalnya dari cerita para rekan pengemudi yang sejak 2006 menemani berbagai perjalanan saya memotret.
"Kalau di parkiran ada banyak truk dan colt box parkir, sudah pasti enak, Mbak. Kujamin,” kata Kus, pengemudi asal Bantul dengan percaya diri.
Gofar, supir langganan lainnya pun memberikan saran lebih detail tentang hal ini.
“Carinya yang truk ya, jangan yang bis malam. Kalau yang banyak truk parkir, itu jelas enak dan murah,” jelas pria yang sudah tiga windu bekerja sebagai supir lepas.
Sebagian besar pilihan pengemudi truk adalah warung-warung kecil tanpa nama. Untuk menandainya, biasanya dipakai nama pemilik warung. Selain itu, untuk rute-rute yang sering dilewati, cara paling mudah mengingatnya adalah lokasi dan bentuk bangunan.
Dari Kus saya tahu bahwa di arah barat jembatan Sungai Progo ada warung makan yang jual nasi dengan lauk terik tempe dan taburan serundeng yang enak.
“Bangunannya kecil, catnya putih, ada di barat jembatan Sungai Progo, barat penjual kayu kelapa,” jawab Kus rinci.
Selain terik tempe, tersedia juga telur asin dengan kuning telur masir jika mau makan besar. Istilah makan besar ini dipakai oleh para supir ketika mengambil lauk lebih dari satu dan biasanya protein hewani selain tahu dan tempe.
Pengemudi truk dan mobil lepasan punya kriteria untuk memilih tempat makan. Pertama makanannya harus enak, harganya murah, tempatnya bersih, dan ada tempat untuk sejenak meluruskan punggung setelah berjam-jam dalam posisi duduk mengemudi. Di sebuah warung di perbatasan Yogya-Purworejo, selain tempe mendoan yang selalu panas karena tempe digoreng secara berkala, pemilik warung menyediakan dua lincak kursi bambu ukuran 1,5 meter untuk merebahkan badan.
“Kalau saya lauk enak itu bikin puas makan, Mbak. Jadi nilai plus kalau ada pisang Ambonnya,” ujar Kus. Jika sebuah warung punya dua kriteria itu, ia mengaku akan loyal dan selalu datang ke warung yang sama.
Lain Kus lain pula Gofar. Lauk baginya tidak begitu penting.
“Harus ada sayur dan kalau bisa yang berkuah. Gampang makannya dan bikin mata melek,” kata Gofar saat kami sedang dalam perjalanan menuju Jombang.
Gofar menyebut dua jenis sayur yang selalu ada di warung-warung singgah, yaitu sop dan lodeh daun kacang panjang (lembayung). “Supir-supir kayak kami biasanya nyari sayuran hijau, bisa beningan atau pakai santan,” imbuhnya.
Pilihan lauk yang ditawarkan warung makan cukup puspa ragam, seperti tahu, tempe, telur, nila, lele dan ayam. Telur adalah protein hewani yang variannya paling banyak. Mulai dari telur mata sapi, dadar, bulat pedas, sampai ceplok bumbu. Rata-rata warung-warung ini berhasil menyajikan makanan dengan menu rumahan yang sederhana dengan rasa yang lezat tapi tidak berlebihan.
Saya pun mempraktikkannya saat tugas keluar kota dan sejauh ini cara ini tidak pernah gagal.
Di sebuah jalan Kalimantan Timur, saya menemukan nasi kuning lauk haruan lezat. Di Gorontalo, ada dadar ikan nike dan sayur bunga pepaya yang pahit tapi bikin nagih.
Meski begitu, pernah juga saya disergap rasa ragu karena kepagian. Nah, jika hal ini terjadi, pasrahkan sarapanmu pada pengemudi.
Pernah satu kali dalam perjalanan menuju Jepara, sekitar jam setengah enam pagi perut sudah nyaring berbunyi. Supir mobil sewaaan saat itu, Pak Joko segera mengarahkan mobilnya ke sebuah warung makan di kawasan Welahan. Kami berlima adalah pembeli pertama dan ciri warung enak belum bisa ditemukan. Tempat parkirnya masih melompong, belum ada truk parkir di depan warung atau di seberang jalan.
Demi tidak mau gagal sarapan, isi piring Pak Joko kami tiru persis. Sarapan yang sukses membuat mood meningkat, begitu kira-kira yang saya yakini. Sengaja kami mempersilakan Pak Joko mengambil makanan terlebih dahulu. Kami berjejer rapi di belakang beliau, mirip anak-anak yang ikut ayahnya pergi kondangan. Setelah mengambil sedikit nasi, beliau menuju ke baskom blirik warna biru yang dari kejauhan masih tampak berasap.
Saat kami datang, dari arah dapur memang ada seorang ibu yang tergopoh mengisi meja etalase dengan baskom dan piring makanan. Baskomnya berisi sop sayur sederhana dengan isian kubis, wortel, kentang daun bawang dan taburan daun seledri yang dipotong agar kasar. Jika beruntung, atau sengaja mencari dalam sop, ada potongan tulang ayam dengan sedikit daging yang menempel.
Pak Joko menggenangi piring nasinya dengan banyak kuah dan sayur sebelum menambahkan satu sendok sambal tomat. Lauknya adalah tempe goreng bumbu asin berukuran persegi dan dipotong tebal yang ditata menumpuk ke atas seperti candi.
Trik meniru santapan Pak Joko sukses berat.
Sayur sopnya segar, kuahnya bening, dan bumbunya tipis jadi tidak membuat eneg. Tingkat kematangan kentang yang dipotong dadu sekitar dua centimeter juga pas. Kentang yang terlalu matang biasanya akan hancur dan larut sehingga kuah sop jadi keruh. Dengan kuah sop yang melimpah, sambal tomat pedas manis, juga ada asin dari tempe, sarapan jadi sempurna. Satu porsi makanan ini, ditambah segelas teh panas dihargai Rp9 ribu.
Sangat sepadan, kan?
Duh, rasanya ingin cepat-cepat kembali bepergian karena daftar warung enak dari Kus dan Gofar masih banyak. Kata Gofar, ada nasi rames enak di warung kecil di Jalan Arteri Prupuk menuju Slawi dari Tegal. Belum lagi nasi langgi Warung Bu Yatimah, langganan Kus saat narik mobil ke arah Semarang dari Yogyakarta, tak jauh dari dari pasar Muntilan, siap untuk disantap.
Mana yang duluan ya sebaiknya?
Editor: Nuran Wibisono