tirto.id - Buchtar Tabuni mengaku tak pernah merayakan hari lahir. Sambil tergelak, ia mengatakan: “Nanti terganggu kerja kemanusiaan saya.” Dia juga mengaku kadang lupa tanggal dan bulan, apalagi hari. “Cuma tahu siang dan malam.”
Saat memasuki usia 40 tahun, 10 Oktober tahun lalu, ia tengah berada di balik jeruji Rutan Kelas II B Balikpapan.
Buchtar ingat ketika tangannya diikat menuju ke pesawat milik Polri, dipindahkan dari Rutan Mako Brimob Polda Papua ke Rutan Mako Brimob Balikpapan. Ia dipindahkan karena dalih keamanan. Aparat tak mau penangkapannya memicu aksi massa. Sejak 4 Oktober dia dikurung di sel khusus teroris.
Buchtar mengatakan dia ditangkap karena alasan menghasut massa dan dituding makar pada Agustus 2019. Ketika itu tanah Papua memerah. Demonstrasi pecah di mana-mana. Masyarakat marah karena mahasiswa Papua yang tengah menempuh studi nun jauh di Surabaya diperlakukan rasis.
Pagi itu, 9 September, Buchtar tengah bersama istri, kakak, dan ipar di rumah yang terletak di Kampwolker Kali, Kelurahan Yabansai, Distrik Heram, Waena. Sementara sang adik sedang berkebun dengan bekal parang. Di hari itulah dia ditangkap. Aparat gabungan menggeledah rumahnya dengan cara-cara bak meringkus teroris: listrik dipadamkan, air dikolam dimatikan, dan helikopter mengintai. Dia lupa berapa aparat yang datang hari itu.
Buchtar, juga masyarakat setempat, panik. Dia lantas bersembunyi ke kebun.
“Rumah saya itu dorang kasih hancur, istri saya punya lemari dorang kasih hambur, alat masak makanan babi dorang kasih bolong pakai sangkur. Saya punya babi di kendang, dorang buka. Babi terjebak dalam kolam, lalu mati,” tutur Buchtar kepada saya, Jumat (19/6/2020). “Dorang ini cari Buchtar atau berkelahi dengan binatang-binatang dalam rumah?,” dia kembali terkekeh.
Aparat mengaku menyita apa yang kemudian disebut barang bukti: dari mulai ketepel hingga panah. Buchtar bilang dia sama sekali tak menyimpan itu meski polisi mengatakan itu disita dari rumahnya. “Ketepel, panah, itu barang-barang mereka sita saat aksi.”
Sekira pukul 18, Buchtar menampakkan diri di bukit bersama si adik. Tujuannya agar keluarganya tak diperlakukan buruk oleh aparat. Aparat menghampirinya dan bertanya identitas Buchtar sembari menodongkan senjata. Buchtar lalu tiarap. Polisi meringkusnya, lalu menggiring ke mobil yang berada di depan rumah. Di dalam mobil, ia dijaga kanan-kiri.
“Intel yang pegang saya itu teman di lapangan. Setiap saya pimpin aksi, dia tahu saya dan saya juga kenal dia,” Buchtar kembali tertawa.
Perjalanan baru 50 meter, masyarakat di sekitar lapangan mengadang mobil. Mereka bertanya kenapa Buchtar ditangkap.
Kemudian ada tembakan. Warga membalas dengan melempar batu. Polisi menuduh Buchtar menghasut massa melakukan itu. “Kecuali dorang tangkap paksa dan saya berteriak, itu wajar [dituduh provokator].” kata Buchtar.
Mereka melanjutkan perjalanan. Malam itu ia mulai mendekam di sel. Sementara si adik turut ditangkap, tapi dilepaskan dan hanya dikenakan wajib lapor.
Buchtar didakwa Pasal 106 KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa Penuntut Umum Yoseph Y. Ayomi menuntut hukuman 17 tahun penjara. Ini memicu pergolakan masyarakat. Mulai muncul dukungan agar pemerintah membebaskan Buchtar dan enam terdakwa makar lain. Keinginan jaksa dianggap tak masuk akal dan timpang lantaran korban dituntut lebih tinggi ketimbang pelaku rasisme.
Pada 17 Juni 2020, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan memvonis Buchtar 11 bulan penjara. Lebih rendah 193 bulan dari kemauan jaksa. Lima terdakwa makar lain, Alexander Gobay, Hengky Hilapok, Stefanus Itlay, Agus Kossay dan Irwanus Uropmabin, juga divonis hanya beberapa bulan meski tuntutannya bertahun-tahun.
Lewat putusan ini Buchtar semestinya bebas awal Agustus. Ketika bicara dengan saya, dia masih meringkuk di sel.
Buchtar mengatakan vonis hakim adalah “pelajaran bagi polisi dan jaksa di Papua.” “Ke depan, hati-hati penempatan pasal makar. Orang berteriak referendum itu ekspresi, ini penilaian jaksa dan kepolisian tidak profesional.”
Tetap Tuntut Merdeka
Buchtar, Ketua II United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), organisasi politik orang-orang Papua yang tujuan akhirnya menuntut kemerdekaan dari Indonesia, mengatakan apa yang dia lakukan tidak salah sama sekali. Buchtar menegaskan pemerintah pusat semestinya memenuhi keinginan referendum orang Papua. “Belum tentu juga referendum itu orang Papua akan menang,” katanya.
“Tuntutan penyelesaian pelanggaran hak politik orang Papua pada Pepera 1969 itu bukan makar, untuk itu ULMWP dan NKRI harus bicara di meja forum legal. Tidak bisa diselesaikan dengan pasal makar dan KUHP,” katanya. “Inti perjuangan saya ada di situ karena saya melihat itu akar masalah.”
Ia menegaskan pemisahan Papua dari Indonesia adalah solusi bagi kedua belah pihak. “Selama dua bangsa hidup dalam satu kesatuan, rasisme ada terus. Kalau dipaksakan tetap bersama, rasisme terus ada. Amerika besar itu hancur, apalagi Papua yang kecil begini,” tegasnya. “Hari ini semua orang ada mati. Bukan orang Papua saja, TNI, Polri dan orang non-Papua jadi korban.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino