tirto.id - Puluhan orang yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) berkumpul di Taman Pandang Istana pada Senin (15/6/2020). Mereka berunjuk rasa menuntut pembebasan 7 tahanan politik asal Papua tanpa syarat dari tuduhan makar.
Aksi ini menjadi demonstrasi yang pertama kali diadakan di masa pandemi COVID-19.
"Kita tahu apa yang dialami oleh masyarakat Papua bahkan masyarakat yang ada di sekitar Papua, di luar dari Papua. Bebaskan teman-teman yang ada di Kalimantan bahkan yang ada di tanah Papua," kata aktivis Papua Arina Elopere dalam orasinya.
Sebagaimana diketahui saat ini tujuh orang Papua sedang menjalani persidangan atas dugaan makar di Pengadilan Negeri Balikpapan. Tujuh orang yakni Fery Kombo, Alexander Gobay, Hengki Hilapok, Buchtar Tabuni, Irwanus Uropmabin, Stevanus Itlay alias Steven Itlay, dan Agus Kossay.
Mereka ditangkap karena diduga mengkoordinir aksi demonstrasi besar-besaran pada Agustus 2019 lalu menentang aksi rasisme di Surabaya.
Dalam sidang tuntutan, Ferry Kombo yang merupakan mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih dituntut 10 tahun penjara, Alex Gobay yang merupakan Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura dituntut 10 tahun penjara, Hengky Hilapok dituntut 5 tahun penjara, dan Irwanus Urobmabin dituntut 5 tahun penjara.
Kemudian, Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni dituntut 17 tahun; Ketua KNPB Mimika Steven Itlay dituntut 15 tahun; dan, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay dituntut 5 tahun.
Sementara itu, juru bicara FRI-WP Surya Anta Ginting dalam orasinya mengatakan tidak semua orang yang ditahan di Balikpapan saat ini terlibat langsung dalam aksi tahun lalu. Ia mencontohkan Buchtar Tabuni yang saat aksi terjadi sedang bercocok tanam.
Surya pun menilai pasal makar terlalu mudah digunakan oleh pemerintah Indonesia, padahal dalam rumusannya pasal dikatakan bahwa sebuah tindakan baru bisa dikatakan makar jika ada serangan.
Karenanya, Surya membandingkan penggunaan pasal ini pada era kolonial Belanda dahulu. Surya menyebut, Presiden pertama RI Sukarno tidak pernah ditangkap atas pasal makar padahal ia yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada agresi Belanda 1947-1949 pun Sukarno dan Hatta tidak ditangkap atas pelanggaran pasal makar.
"Tapi di sini kami 9 bulan yang lalu dikenai pasal makar karena kami melakukan aksi damai di mana aksi tersebut ada bendera bintang kejora. Begitu juga di Papua begitu juga di tempat lain. Anslaag (makar) saat ini begitu rendah dipersepsikan," kata Surya.
- Di Balik Dugaan BIN Merecoki Diskusi Papua di Universitas Lampung
- Freddy Numberi: Pendekatan Kekerasan di Papua Tak Tuntaskan Masalah
- Mahasiswa UI Ajukan 'Sahabat Pengadilan' untuk Tujuh Tapol Papua
- Timpangnya Putusan Hukum Pelaku dan Pemrotes Rasisme ke Orang Papua
- Respons LBH Papua soal Lenis Kogoya yang Ancam Pengganggu Jokowi
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali