tirto.id - Alfiora Astrella Wenearek Harhege Mulait lahir pada 10 Mei lalu dari rahim Dessy Ariks. Bayi perempuan itu datang ke dunia ketika bapaknya, Ambrosius Mulait, masih mendekam di Rutan Salemba, Jakarta Timur, lantaran divonis sembilan bulan penjara sejak 1 September 2019. Ketiganya pertama kali bertemu pada Kamis (28/5/2020) kemarin.
“Sa harus mulai bangun sa pu keluarga kecil,” ujar Ambrosius kepada saya.
Selama penahanan dan persidangan, orang tua Ambrosius tetap menetap di kampung. Ia khawatir orang tuanya jadi sedih jika ke Jakarta. Pun ongkos dan biaya hidup yang rasa-rasanya memberatkan. “Yang penting doa dan proses persidangan lancar. Hanya itu yang saya minta.”
Pandemi COVID-19 juga membuatnya tak bisa pulang kampung dalam waktu dekat. Ia baru mudik jika situasi kembali normal dan aman.
Sebelum ditangkap, lelaki kelahiran Walelagama 25 tahun lalu ini telah selesai merampungkan studi pascasarjana jurusan Pemerintahan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri di Cilandak, Jakarta Selatan. Tesisnya tentang konflik Nduga.
“Sementara ini sa rapikan sa pu kajian tesis, mendaftarkan ke kampus, lalu ikut wisuda.”
Dia mengaku belum mengecek ulang statusnya di kampus setelah ditangkap. Semestinya, kata Ambrosius, kampus tak mempersoalkan statusnya sebagai eks tahanan politik karena itu sama saja memancing masalah baru.
Dano Anes Tabuni, 28 tahun, juga kudu meringkuk di balik jeruji atas tuduhan yang sama.
Sebelumnya ia dan istri, Yumilda, mengontrak di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Karena tak sanggup lagi membayar ongkos sewa selama suami dipenjara, Yumilda memilih angkat kaki. Ia menumpang di Asrama Putri Kabupaten Nduga di Tebet, Jakarta Selatan. Kini Dano sudah bebas. Mereka berencana mengontrak lagi.
“Setelah dapat tempat, kami akan pamit dengan adik-adik,” kata Dano.
Sebelum ditahan Dano berprofesi sebagai staf di perusahaan provider internet. Dia ditempatkan di daerah Kelapa Dua Wetan, Jakarta Timur. Dia ragu kantornya mau menerimanya lagi sekarang. Ia pun berencana mencari pekerjaan baru.
Ambrosius dan Dano adalah dua dari enam tahanan politik asal Papua yang dipidana makar setelah berdemonstrasi di depan Mabes TNI Angkatan Darat dan Istana Negara pada 22 dan 28 Agustus tahun lalu. Ia dan massa menyerukan slogan-slogan antirasisme terhadap orang Papua dan referendum. Saat itu Ambrosius bertugas sebagai humas aksi.
Aksi itu sendiri dipicu oleh tindakan rasis dari sekelompok orang terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Beberapa hari kemudian, peristiwa tersebut memicu kerusuhan besar di tanah Papua.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis enam tapol Papua pada 24 April lalu. Sidang daring ini dipimpin oleh Hakim Ketua Purwanto serta Hakim Anggota Djunaedi dan Heru. Mereka didakwa dengan tuduhan makar dan pemufakatan jahat, Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP atau Pasal 110 ayat (1) KUHP.
Jaksa Penuntut Umum meminta Isay Wenda dihukum 10 bulan penjara, sementara Arina Elopere, Dano Anes Tabuni, Paulus Suryanta Ginting, Ambrosius Mulait, dan Charles Kossay dihukum 17 bulan. Hakim memvonis mereka lebih ringan dari tuntutan: Isay Wenda divonis 8 bulan, yang lain 9 bulan. Pada 27 Mei kemarin mereka semua telah bebas.
Tetap Lantang Bersuara
Di tengah segala ketidakpastian hidup selepas dari penjara, Dano, juga Ambrosius, tetap sepakat dengan satu hal: bahwa mereka tak bakal berhenti bicara tentang Papua.
“Saya tetap menyuarakan ketidakadilan di Papua, khususnya pada pelanggaran HAM, juga hak menentukan nasib sendiri,” kata Ambrosius. Ia sebenarnya cemas status eks-tapol mempersulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, namun toh pengabdian terhadap tanah leluhur lebih besar.
Sementara Dano mengatakan tetap akan “menyuarakan Papua” agar masalah-masalah seperti rasisme dan kemiskinan dapat dihapuskan di tanah kelahirannya. Ini penting karena menurutnya persepsi masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terkecoh oleh media yang memberikan kesan bahwa Papua itu damai, pembangunan merata, dan masyarakatnya sejahtera. Realitasnya jauh dari itu, katanya.
Selain menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi di Papua, Dano juga ingin berkampanye soal pembebasan tahan politik di daerah lain. Pengacara HAM Veronica Koman mengatakan ada puluhan tapol makar di Indonesia, termasuk satu warga negara Polandia.
Para eks tapol ini tetap akan bersuara, kata Suryanta Ginting, “selama keadaan di Papua dan Indonesia tak berubah.” Lagipula menyuarakan masalah-masalah di Papua bukan hanya kewajiban mereka, tapi “kita semua.”
Meski tidak terlintas pikiran untuk berhenti, Suryanta mengatakan apa yang terjadi kepadanya semestinya tak terulang, termasuk kepada orang lain yang menyuarakan isu sama. Ia menegaskan selama orang-orang bicara soal ketidakadilan tapi dibalas kriminalisasi, maka “iklim demokrasi semakin rusak dan masalah bertambah rumit.”
Pemerintah perlu mengubah sejumlah pendekatan untuk Papua, seperti membiarkan jurnalis meliput ke sana, tidak mematikan akses internet, hingga mengurangi jumlah aparat. “Jika keadaan itu terus berulang, siapa pun akan mengatakan Papua sedang dijajah. Ketika orang menyimpulkan itu penjajahan, maka pemerintah tidak bisa juga menyatakan ini makar,” kata Suryanta.
Pada akhirnya ia menegaskan pemerintah pusat semestinya mengakomodasi tuntutan utama rakyat Papua, yaitu menentukan nasib sendiri atau referendum.
“Pemerintah tidak usah takut dengan terminologi referendum. Pada hakikatnya, rakyat Papua yang menentukan. Apakah mereka bahagia bersama Indonesia?”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino