tirto.id - Melalui pengacara HAM, 63 tahanan politik makar di Indonesia mengirimkan dokumen desakan ke Gugus Tugas Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Berkas itu menjelaskan seluruh tahanan tersebut telah ditahan sewenang-wenang dan tidak sah, karena terjadi pelanggaran terhadap kewajiban Indonesia dalam hukum HAM internasional.
Para tahanan politik itu terdiri dari 56 orang asli Papua, 1 orang non-Papua Indonesia, 5 orang Maluku, 1 orang Polandia. "Sebagian besar dari mereka masih menunggu disidangkan, 7 orang telah divonis, yang lainnya sedang jalani persidangan," kata pengacara HAM Veronica Koman, ketika dihubungi Tirto, Kamis (16/4/2020).
Mereka dijerat dengan Pasal 106 KUHP dan/atau Pasal 110 KUHP tentang makar, dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun.
Veronica menyatakan berkas 56 nama tahanan telah disampaikan ketika Presiden Joko Widodo bertandang ke Australia, juga diberikan kepada Menkopolhukam Mahfud MD pada Februari lalu.
"Sejauh ini kami belum mendapatkan respons apapun, kecuali [respons] Pak Menteri yang mengatakan data itu 'sampah'. Kami mendesak PBB dan pemerintah Indonesia untuk tanggapi masalah tapol secara serius, karena sekarang nyawa taruhannya," jelas Veronica.
Desakan ini meminta ke-63 tahanan politik dibebaskan secepatnya dan tanpa syarat. Pandemi COVID-19 juga sangat berisiko bagi narapidana di dalam penjara Indonesia, karena sanitasi buruk dan kelebihan kapasitas tahanan. Veronica melanjutkan, Komisioner Tinggi HAM PBB telah meminta pembebasan tahanan politik harus diprioritaskan.
Pembebasan ke-63 tahanan politik itu ia nilai tidak berbahaya ketimbang pemerintah membebaskan 30 ribu narapidana. Kemudian, pengacara HAM Jennifer Robinson mengatakan desakan ini dibuat karena ada ancaman serius terhadap keselamatan jiwa tahanan yang mendekam di penjara kelebihan kapasitas di tengah pandemi Covid-19.
"Kini penahanan mereka tidak hanya tidak sah, tapi juga mengancam keselamatan jiwa. 63 tapol tersebut harus segera dibebaskan tanpa syarat," ucap Jennifer.
Sebut saja Sayang Mandabayan (34), perempuan yang pernah dikenakan makar, ia ditangkap dan ditahan pada September 2019 usai berorasi dalam aksi. Ia merupakan bagian dari West Papua Uprising.
Polisi menemukan 1.496 bendera Bintang Kejora ukuran kecil di tasnya. Sayang ditahan, akibatnya dia harus terpisah dengan anaknya yang berumur 1, 2 dan 3 tahun. Kadang, ia hanya bisa menyusui bayinya dari balik jeruji di Polres Manokwari, Papua Barat.
Begitu juga dengan pasangan suami istri, Izaak Siahaja (80) dan Pelpina Siahaja (72), yang dipenjarakan atas dugaan makar. Masing-masing divonis 5,5 tahun dan 5 tahun, karena kedapatan bendera Benang Raja (bendera nasional Republik Maluku Selatan) yang mereka pajang di kediamannya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri