Menuju konten utama

Tak Cukup Blokir, Grup Inses-Pedofil Harus Diberantas Sistemik

Setiap anak seharusnya berhak atas rasa aman di manapun dan kapanpun, apalagi di komunitas terkecilnya, yakni di rumah.

Tak Cukup Blokir, Grup Inses-Pedofil Harus Diberantas Sistemik
ilustrasi pelecehan seksual. wikimedia commons/Toestus

tirto.id - Trigger warning: tulisan ini memuat deskripsi tentang kekerasan seksual terhadap anak

Di media sosial yang identik dengan lahan bebas berekspresi, tak ganjil ditemukan grup yang mengandung unsur kekerasan, yang mirisnya, justru dinormalisasi. Baru-baru ini katakanlah, ramai grup Facebook dengan nama "Fantasi Sedarah" yang mewadahi pelaku pedofil (orang dengan nafsu seksual terhadap anak-anak) dan inses (aktivitas seksual dengan seseorang dari keluarga dekat).

Grup dengan anggota sekira 30 ribu itu viral dan mengundang reaksi geram warganet. Selain ramai-ramai membagikan unggahan anggota grup tersebut, mulai dari curhatan hasrat dominasi seksual terhadap anak kandung–hingga “pengakuan” kekerasan seksual kepada anak, para warganet juga mengajak publik untuk melakukan report kepada platform.

Meski penelusuran Tirto menunjukkan kalau grup tersebut lenyap per Jumat (16/5/2025), tapi masih ada beberapa grup senada yang ditemukan di Facebook menggunakan kata kunci “sedarah”. Dengan pola yang sama, anggota grup umumnya membagikan pertanyaan dan cerita hubungan seksual dengan saudara kandung. Bak lempar batu sembunyi tangan, beberapa pelaku bersembunyi di balik akun anonim.

Penting digarisbawahi, fenomena ini lebih dari perihal bagaimana mengatasi grup media sosial yang meresahkan, melainkan juga mengentas kasus kekerasan terhadap anak. Setiap anak seharusnya berhak atas rasa aman di manapun dan kapanpun, apalagi di komunitas terkecilnya, yakni di rumah.

Celakanya, kekerasan yang terjadi di rumah justru menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (KemenPPPA), sebanyak 53,86 persen laporan kasus kekerasan terhadap anak perempuan selama 2024 tercatat terjadi di lingkungan rumah tangga. Pelaku kekerasan itu mayoritas merupakan pacar atau teman, dan orang tua.

Lembaga yang berfokus pada perempuan dan anak korban kekerasan, Rifka Annisa Women's Crisis Center, mengungkap di relasi yang intim, ada aspek peran dan kedekatan yang digunakan pelaku untuk menekan, mengancam, memanipulasi, dan mengendalikan perilaku korban.

“Kekerasan seksual adalah soal upaya mengontrol korban. Gender dan usia sering digunakan sebagai alat dominasi, tubuh anak dan perempuan jadi target karena dianggap paling lemah dan bisa dikontrol,” kata Rifka Annisa lewat akun X nya, Jumat (16/5/2025).

Di situasi dan cara pikir yang seperti itu, pelaku merasa “berhak” dan mencoba memaksakan kehendaknya karena merasa memiliki kuasa, dalam hal ini sebagai orang tua. Maka, menyalahkan korban hanya akan melanggengkan kuasa tersebut. Masyarakat tidak boleh membiarkan sistem dan kultur kekerasan tumbuh subur.

“Ini bukan kasus yang muncul satu-dua kali. Saat kita sebagai bagian dari ekosistem abai, kasus lainnya hanya perlu menunggu waktu,” tulis Rifka Annisa.

Sementara itu, Peneliti Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, mengungkap perkembangan perilaku menyimpang di lingkungan daring juga dipengaruhi oleh kultur anonimitas, dukungan sosial internal, dan lemahnya pengawasan.

Anonimitas di dunia maya dikatakan menciptakan deindividuasi, yaitu hilangnya rasa tanggung jawab dan kontrol diri, sehingga orang lebih berani mengekspresikan hasrat menyimpang. Apalagi kurangnya moderasi platform bikin ruang-ruang ini bersemi.

“Algoritma media sosial memperkuat echo chamber, mempertemukan orang-orang dengan kecenderungan yang sama dan memperkuat keyakinan mereka,” ujar Wawan kepada Tirto, Jumat (16/3/2025).

Tak Cukup Hanya Blokir

Senada dengan pernyataan Rifka Annisa, Wawan menyebut pedofilia sebagai gangguan psikoseksual, yang juga dipengaruhi oleh akses, kedekatan, dan relasi kuasa dalam keluarga. Pelaku sering memanfaatkan posisi otoritas dan kepercayaan untuk melakukan kekerasan seksual.

“Mereka juga kerap mengalami distorsi kognitif, membenarkan tindakan menyimpang sebagai bentuk kasih sayang. Untuk mengatasinya, dibutuhkan pendekatan sistemik, membangun norma sosial yang menolak kekerasan, memperkuat pelaporan dan perlindungan anak, serta edukasi keluarga tentang batasan dan hak anak atas tubuhnya. Rumah harus menjadi ruang aman, bukan ladang kekuasaan yang disalahgunakan,” kata Wawan.

Pemerintah memang tidak hanya bergeming menanggapi temuan grup terkait kekerasan terhadap anak ini. Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) mengaku telah memblokir sebanyak 6 grup Facebook menyimpang.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Alexander Sabar, menyebut bahwa sejumlah grup tersebut telah terbukti memuat konten meresahkan dan bertentangan dengan norma sosial serta hukum yang berlaku di Indonesia.

"Kami langsung berkoordinasi dengan Meta untuk melakukan pemblokiran atas grup komunitas tersebut. Grup ini tergolong pada penyebaran paham yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat," kata Alexander dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Jumat (16/05/2025).

Tindakan pemutusan akses ini, kata Alexander, merupakan bagian dari implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).

Komdigi Awasi Brainrot Imbas Konten Karakter Anomali

Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi Alexander Sabar saat konferensi pers di kantor Kemkomdigi, Jakarta Pusat, Jumat (9/5/2025). tirto.id/ Muhammad Naufal.

Aturan tersebut mengatur kewajiban setiap platform digital untuk melindungi anak dari paparan konten berbahaya serta menjamin hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan digital yang aman dan sehat.

Pasal 2 ayat (4) PP itu menyebut, dalam memberikan perlindungan, Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) wajib menyediakan informasi mengenai batasan minimum usia anak yang dapat menggunakan produk atau layanannya, mekanisme verifikasi pengguna anak, dan mekanisme pelaporan produk, layanan, dan fitur yang melanggar atau berpotensi melanggar hak anak.

Meski begitu, upaya blokir saja sebenarnya tidak cukup. Lia Latifah selaku Wakil Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan lengkah take down bisa jadi akan memunculkan grup-grup dengan nama berbeda tapi isinya serupa.

Artinya, lembaga berwenang harus memberikan penguatan kepada anak, orang tua, atau masyarakat secara umum ketika ada hal-hal yang mencurigakan. Di lingkungan sekolah misalnya, guru bisa mengasah daya kritis anak-anak agar mereka bisa mengenali bentuk pelecehan dan melaporkan pelecehan yang dialami kepada orang yang sekiranya bisa memberi perlindungan.

“Jadi kalau misalnya ada perilaku-perilaku orang tua yang menurut anak-anak tidak wajar, mereka kita ajarkan untuk berani melaporkan. Nah sebetulnya ini bukan hanya tugas dari Komnas Perlindungan Anak saja, tetapi semua elemen masyarakat ini harus bisa memberikan pengawasan, memberikan perlindungan kepada semua anak-anak, di manapun anak-anak itu berada,” ujar Lia saat dihubungi Tirto, Jumat (16/5/2025).

Lia mendorong pemerintah untuk rutin melakukan pengawasan ataupun mengimbau masyarakat, untuk memberikan laporan ketika dijumpai situs-situs yang mengandung muatan kejahatan terhadap anak-anak.

“Itu harus dilaporkan. Jadi bukan hanya platform Facebook, kita juga pernah melaporkan YouTube. Kita juga melaporkan Tik Tok juga pada saat di dalam sana banyak anak-anak yang menjadi para pelaku kekerasan, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual, anak-anak yang menjadi korban, itupun kita laporkan,” katanya melanjutkan.

Dari sisi penegakan hukum di ranah siber, menurut Lia, aparat bisa mulai mencari di mana akun-akun ini berasal dan siapa yang menyebarkan grup ini.

Grup Pedofil

Grup Pedofil

Segendang sepenarian, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, pun mengatakan kalau teknologi Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri cukup mumpuni untuk mengungkap akun-akun anonim.

Sebab, kasus-kasus demikian harus diungkap sampai akar, alias jika ada sindikatnya maka harus dibongkar. Dian juga menekankan kementerian yang punya tanggung jawab pendampingan dan pemulihan anak, untuk bisa melakukan follow up ke anak-anak yang menjadi korban atau berpotensi menjadi korban.

“Forum-forum di media sosial yang demikian sangat meresahkan. Kasus ini perlu direspons dengan tegas dan cepat. Tegas artinya tidak hanya pada proses hukum tindak pidana terhadap pengelola komunitas dan pihak-pihak yang terlibat. Namun juga perlu mendorong Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk ikut bertanggung jawab memastikan aplikasinya berkontribusi dalam melindungi anak anak. Tanggung jawab ini tidak hanya pasif, tapi perlu aktif,” ujar Dian lewat keterangan tertulis, Jumat (16/5/2025).

Artinya, kata Dian, PSE perlu aktif membuat kebijakan dan regulasi untuk memperkuat security by design. Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga perlu digunakan.

“Perlu juga intervensi pendamping ke keluarga dari orang yang telah masuk ke komunitas tersebut. Saya ngeri membayangkan kerentanan anak yang berada di keluarga tersebut. Mereka butuh dukungan penguatan pengasuhan,” sambungnya.

Polda Metro Jaya sendiri menyatakan kalau penyelidikan adanya grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah” sudah dilakukan sejak sepekan lalu. Begitu pula dengan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Polri yang memastikan pihaknya sudah turun menelusuri grup tersebut. Namun, memang perkembangan apakah dugaan pembuat akun dan member-nya sudah dikantongi, belum dapat disampaikan.

Langkah Melapor ke Platform

Di tengah kewajiban platform media sosial sebagai PSE yang harus bisa memastikan perlindungan anak, masyarakat juga perlu menjadi active bystander, alias tak hanya diam saat menyaksikan kekerasan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melaporkan sebuah grup atau konten kepada platform.

Untuk konteks Facebook, menukil situs resminya, melaporkan sebuah grup bisa dilakukan dengan klik grup di menu sebelah kiri atau cari nama grup yang ingin dilaporkan. Kemudian klik Opsi di bawah foto sampul dan pilih Laporkan grup. Terakhir, pilih apa yang salah dengan grup tersebut, lalu klik Selesai.

Setelah pengguna melaporkan grup, Facebook akan meninjau konten dalam grup yang mungkin melanggar Standar Komunitas. Berikutnya, mereka akan mengirimkan pesan ke Kotak Masuk Dukungan tentang apakah grup tersebut dihapus atau tidak.

"Eksploitasi anak adalah kejahatan mengerikan dan tidak dapat ditoleransi. Kami telah memblokir Grup ini dari aplikasi kami dan terus bekerja secara proaktif untuk mendeteksi serta memblokir akun-akun serupa. Selama bertahun-tahun, kami telah mengembangkan teknologi untuk memerangi kejahatan ini dan membantu penegak hukum dalam menyelidiki dan menuntut para pelaku di baliknya," ujar Juru Bicara Meta melalui keterangan resmi kepada Tirto.

Standar komunitas Facebook melarang konten-konten yang memuat beberapa kejahatan, termasuk kekerasan dan hasutan, eksploitasi seksual, penyiksaan, dan ketelanjangan anak.

"Ini merupakan upaya yang terus berkelanjutan, mengingat kelompok-kelompok ini terus mengembangkan taktik mereka untuk menghindari deteksi. Tim ahli kami secara aktif memantau tren-tren baru untuk membantu kami tetap selangkah lebih maju," demikian dikutip dari keterangan tersebut.

Eksploitasi seksual anak itu meliputi konten, aktivitas, atau interaksi yang mengancam, menggambarkan, memuji, mendukung, memberikan instruksi, membuat pernyataan niat, mengakui partisipasi dalam, atau berbagi tautan eksploitasi seksual terhadap anak-anak (termasuk anak di bawah umur, balita, atau bayi sungguhan, atau penggambaran tidak nyata dengan rupa manusia, seperti dalam karya seni, konten buatan AI, karakter fiksi, boneka).

Addendum: Naskah ini mengalami perubahan pada Senin (19/5/2025) pukul 11:53 WIB, dengan menambahkan tanggapan dari Juru Bicara Meta.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN TERHADAP ANAK atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang