tirto.id - Wacana pemindahan ibukota sudah sering terjadi saat penguasa baru berkuasa. Para era Sukarno, wacananya adalah memindahkan ibukota ke Palangkaraya. Saat Soeharto berkuasa, sempat muncul gagasan ibukota pindah ke Jonggol, Bogor. Pada era BJ Habibie muncul juga wacana ibukota dipindah ke Sidrap di Sulawesi. Nyaris semuanya didasari argumentasi: beban Jakarta sudah terlalu berat dan memecahkan kesenjangan Jawa dan luar Jawa.
Pada era pemerintahan Joko Widodo, wacana pemindahan ibukota beberapa kali muncul, termasuk yang terbaru pada awal Juli ini. Kali ini, wacananya terbilang lebih serius dari sebelumnya karena sudah ada target kajian harus tuntas tahun ini. Pihak Istana mengakui wacana ini muncul lagi setelah Presiden Jokowi berkunjung ke Palangkaraya Desember tahun lalu.
Wacana pemindahan ibukota sudah hilang timbul sepanjang tahun ini. Ia sempat muncul di sela-sela kekalahan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta, dan muncul lagi baru-baru ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun meminta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melakukan kajian secara mendalam dan komprehensif terkait rencana pemindahan ibukota.
"Kami diminta melakukan kajian lebih mendalam dan keinginannya kota yang dipilih mencerminkan model kota yang ideal untuk Indonesia," ujar Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Rabu (5/7/2017).
Kajian pemindahan ibukota ini memang belum jelas, sama tak jelasnya soal lokasi ibukota baru nanti. Dalam catatan Tirto, sejak 10 tahun terakhir, hampir setiap tahun wacana pemindahan ibukota bergulir dari pemerintah maupun parlemen hingga politikus. Salah satunya yang dilontarkan Megawati beberapa bulan setelah Jokowi berkuasa.
Dalam sebuah Kuliah Umum 50 Tahun Lemhanas akhir Mei 2015, presiden ke-5 ini mengungkit-ngungkit kembali Palangkaraya sebagai calon ibukota baru. Tentu itu sangat beralasan, Sukarno sering disebut-sebut menginginkan kota itu jadi ibukota menggantikan Jakarta, setelah petualangannya selama 36 jam membelah Sungai Kahayan 60 tahun lalu.
Baca Juga: Palangkaraya Tak Jadi Ibukota
Pada era Presiden SBY, wacana ini tak kalah santernya. Kala itu bahkan muncul kaukus pemindahan ibukota. Beberapa kalangan peneliti membentuk Visi 2033, di bawah koordinator Andrinof Chaniago—yang sempat menjadi Kepala Bappenas era awal pemerintahan Jokowi. Salah satu kajian mereka adalah pemindahan ibukota ke Kalimantan. Tim ini menghitung biaya pemindahan sekitar Rp100 triliun, dengan estimasi pembiayaan dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu yang memasuki periode kedua mengaku sudah memikirkan soal pemindahan ibukota, bahkan sudah membentuk tim khusus. Meskipun pada akhirnya realisasi pemindahan ibukota baru dapat dilakukan oleh pemerintahan selanjutnya.
"Empat hingga lima tahun lalu diam-diam saya memikirkan sudah saatnya Indonesia membangun pusat pemerintahan yang baru di luar Jakarta. Waktu itu bermunculan debat dan wacana. Saya memilih diam dan kemudian membentuk tim kecil untuk pikirkan pemindahan ibukota. Biar pusat ekonomi perdagangan di Jakarta dan goverment centre di tempat lain," kata SBY, September 2013.
Secara historis Indonesia tak asing dengan peristiwa pemindahan ibukota. Ibukota pernah pindah dari Jakarta ke Yogyakarta lalu ke Bukit Tinggi dan kembali ke Jakarta lagi. Saat itu situasinya lain, Indonesia dalam keadaan genting karena Belanda masih mencoba untuk menguasai Indonesia sehingga memantik berbagai pertempuran dan perundingan. Namun, wacana yang berkembang sekarang, pemindahan berkembang tak hanya soal sosial ekonomi Jakarta yang terlalu dominan, tapi juga muncul gagasan historis dan geografis.
Baca Juga: Apa Jadinya Jika Tak Ada PDRI
Kehendak agar jantung pemerintahan Indonesia ada di tengah-tengah wilayah memicu, selain Palangkaraya, kemunculan usulan Kota Mamuju Sulawesi Barat yang diklaim berada persis di tengah-tengah Indonesia. Usulan itu pernah dilontarkan Wapres Jusuf Kalla.
Gagasan tentang pentingnya ibukota berada di tengah wilayah sebuah negara juga bukan hal baru. Myanmar, yang saat ini beribukota di Naypyidaw, juga melakukannya. Semangatnya memang memindahkan sentris Indonesia tak hanya Jawa, khususnya Jakarta.
Pro dan Kontra Mengganti Posisi Jakarta
Di penghujung Soeharto berkuasa, kawasan Jonggol, Bogor, santer disebut sebagai ibukota baru. Meski pada kenyataannya dalam peraturan yang dikeluarkan Soeharto hanya menyebut Jonggol sebagai kota mandiri yang rencananya meliputi tiga kecamatan dan 24 desa. Setahun sebelum lengser, pada 15 Januari 1997, Suharto meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri.
Sebelum Keppres itu, wacana Jonggol sebagai ibukota sudah menjadi pemberitaan media massa. Republika, misalnya, pada edisi 14 November 1996 sempat membuat judul “Gubernur DKI Soal Jonggol: Jangan Jadi Penyakit Bagi Jakarta”. Kala itu, Gubernur DKI Jakarta dipegang oleh Soerjadi Soedirdja.
Baca Juga: Ragam Profil Gubernur DKI
Saat Fauzi Bowo alias Foke masih berkuasa di Jakarta, ia juga sempat menanggapi wacana pemindahan ibukota. Secara gamblang Foke tidak yakin pemindahan ibukota bakal terjadi, terutama karena membutuhkan pembiayaan yang besar. Pemerintahan Jokowi memang berencana akan melibatkan swasta dengan skema public private partnership (PPP) alias sedikit pakai dana APBN.
"Saya kira silakan saja, tapi saya tidak yakin pemerintah kita ada dalam posisi mampu untuk membiayai itu,” kata Foke November 2007.
Suara sumbang juga datang dari Sutiyoso, mantan penguasa Jakarta ini termasuk yang menganggap pemindahan ibukota ke luar Jawa tak realistis. Ia termasuk yang mendorong pengembangan megapolitan Jakarta daripada harus memindahkan ibukota ke luar Jawa.
"Saya sampai sekarang masih menganggap teori Megapolitan Bang Yos (mantan Gubernur DKI Sutiyoso) masih masuk akal," kata Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah.
Bagi penguasa daerah di luar Jawa, wacana yang sering menggelinding tentang pemindahan ibukota adalah kesempatan yang tak disia-siakan. Gubernur Kalteng Sugianto Sabran sedang menyiapkan lahan 500.000 hektar mencakup Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan dan Kabupaten Gunung Mas. Pendahulunya, Teras Narang, pun termasuk yang getol mendorong Palangkaraya sebagai ibukota baru. Namun, lagi-lagi belum ada kepastian soal waktu pemindahan dan lokasinya.
Baca Juga: Siapkan Lahan 500 Ribu Hektar
Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Rido Matari Ichwan mengakui Palangkaraya salah satu yang paling sering disebut sebagai lokasi ibukota baru. Namun, ia tak bisa memastikan, pihaknya hanya sebatas menyiapkan data-data awal untuk kesiapan Palangkaraya sebagai sebuah kota besar dalam hal kesiapan infrastruktur.
“Sementara ini baru Palangkaraya yang masuk radar kita. Sudah punya perencanaan kota skala penduduk yang lebih tinggi di masa depan,” kata Rido kepada Tirto.
Baca Juga: Jalan Rusia di Kalimantan
Palangkaraya memang paling rajin disebut sebagai lokasi wacana ibukota baru semenjak era Sukarno. Namun, UU No 10 tahun 1964 tentang pernyataan daerah khusus ibukota Jakarta Raya tetap sebagai ibukota negara RI dengan nama Jakarta, boleh jadi membuktikan bahkan Sukarno pun akhirnya tetap memilih Jakarta sebagai ibukota.
UU yang ditandatangani oleh Sukarno di Jakarta 31 Agustus 1964 itu tetap mempertimbangkan Jakarta sebagai ibukota karena merupakan kota pencetusan proklamasi kemerdekaan dan pusat penggerak segala aktivitas revolusi dan penyebar ideologi Pancasila
“Dengan dinyatakan Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta Raya tetap menjadi Ibu-kota Negara Republik Indonesia dengan Jakarta, dapatlah dihilangkan segala keragu-raguan yang pernah timbul, berhubung dengan adanya keinginan-keinginan untuk memindahkan Ibu-Kota Negara Republik Indonesia ketempat lain.”
Wacana memindahkan ibukota sudah menjadi pekerjaan rumah (PR) yang besar jika ingin direalisasikan. Namun, masih banyak PR yang lebih dahulu harus diprioritaskan, termasuk segambreng PR dan janji-janji kampanye pemerintahan Presiden Jokowi.
Penulis: Suhendra
Editor: Zen RS