tirto.id - Di setengah abad umurnya, Pudjiono masih ingat cerita-cerita orang-orang tua di Loa Janan Ulu. Sebuah kampung urban di tepi Sungai Mahakam, yang masuk Kabupaten Kutai Kartanegara. Meski dia keturunan Jawa, Loa Janan Ulu sudah menjadi kampungnya. Kepadanya, orang-orang tua yang juga pendatang dari Sulawesi, Banjar, dan lainnya itu bercerita bagaimana orang-orang Rusia tinggal di desa di tepi Mahakam itu.
“Tiap mau berangkat kerja, mereka ciuman dulu dengan istri mereka di depan rumah,” cerita Pudjo. Mereka tinggal di sebuah kompleks, yang sekarang menjadi tangsi sebuah kompi dari Batalyon 611/Awang Long Loa Janan.
Mereka adalah teknisi-teknisi Rusia yang terlibat dalam pembangunan jalan poros yang menghubungkan Samarinda-Balikpapan sepanjang 115 km.
Saat ini tak banyak orang-orang di sekitar Loa Jalan atau daerah yang dilewati jalan poros Balikpapan-Samarinda pernah mendengar soal keterlibatan orang-orang Rusia dalam proyek pembangunan jalan tersebut. Kecuali orang-orang tua yang sebelum 1960an sudah tinggal di sana. Daerah-daerah itu lebih banyak dihuni pendatang di masa Orde Baru.
“Mereka dari Angkatan Darat Rusia,” lanjut Pudjo.
Di banyak negara, Angkatan Darat punya satuan dengan keahlian membuka lahan dan membangun jalan, Zeni. Menurut pengakuan mantan Panglima KODAM Mulawarman ketika jalan itu dibangun, Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik, militer Indonesia ikut serta juga. Selain militer, tentu saja orang-orang non-militer juga dipekerjakan di sana. Orang-orang ini biasanya berasal dari sekitar Balikpapan dan Samarinda.
Menurut catatan Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009), pembangunan jalan dalam Proyek Jalan Kalimantan (Projakal) itu, tak hanya menghubungkan Balikpapan-Samarinda saja, tapi juga Balikpapan-Tanjung (Kalimantan Selatan). Para teknisi ahli konstruksi jalan Uni Soviet itu didatangkan sesuai perjanjian antar-kedua negara. Sebuah helikopter buatan Rusia juga disediakan untuk pembangunan Projakal tersebut.
"Tahun 1961 proyek jalan raya Balikpapan-Samarinda mulai dikerjakan,” tulisnya Hario dalam Memoar Hario Kecik II (2001). Dari arah Balikpapan, sebelum ada Projakal dilaksanakan, pernah ada pembangunan jalan juga ke arah Samarinda. Namun jauh dari terhubung.
“Rute jalan itu pernah dibikin oleh Tentara Jepang pada waktu PD II. Sebagian besar jalan lama itu yang mengikuti ketinggian bukit-bukit, sudah ditumbuhi rumput ilalang. Terdapat bagian yang gundul kerena tanahnya terdiri atas pasir kwarts putih yang tidak mengizinkan tanaman tumbuh di atasnya. Ada bagian-bagian yang melewati tepi-tepi jurang. Hutan lebat menutupi kiri kanan jalan pada banyak tempat.”
“Suatu hari saya mengikuti survei membikin trace jalan tersebut. Tentu saja pada waktu itu harus berjalan kaki untuk keperluan tersebut. Basecamp pertama berada 48 Km dari Balikpapan di tengah hutan belantara. Selama beberapa hari saya mengikuti pekerjaan survei ahli pembikinan jalan Pekerjaam Umum dan kelompok teknisi ahli konstruksi dari Rusia,” tulis Kecik dalam memoarnya. Jalan ini melewati wilayah kampung transmigran di Karangjoang.
Awal 1942, bakal jalan Balikpapan-Samarinda itu pernah menjadi jalur pelarian serdadu-serdadu Belanda yang terpojok oleh serangan Jepang. Pada 1945, pelarian serdadu-serdadu Jepang yang terpojok karena serangan Sekutu juga kabur melalui jalur ini.
“Menurut dongengan rakyat Balikpapan, tentara Jepang memakai jalan itu untuk mengamankan harta karun, menyimpannya di suatu tempat.... Saya tidak merenungkan tentang harta karun. Saya memikirkan jiwa para romusha atau pekerja paksa, yang dikorbankan oleh Jepang untuk melaksanakan proyek militer itu,” tulis Kecik dalam memoarnya itu.
Jalan Balikpapan-Samarinda ini bukan satu-satunya jalan yang melibatkan teknisi Rusia. Akhir 1962, fondasi jalan yang pembangunannya melibatkan teknisi Rusia sudah rampung di di Kalimantan Tengah, yakni Jalan Palangkaraya-Tangkiling. Jalan ini juga pernah dikenal sebagai Jalan Rusia, sebelum akhirnya dinamai Jalan Cilik Riwut. Di Kalimantan Tengah, rencananya teknisi Rusia akan membangun jalan hingga ke Pangkalan Bun dan Sampit. Namun rencana itu tak terselesaikan karena peristiwa G30S pecah dan para teknisi Rusia dipulangkan.
Rusia atau Uni Sovyet yang manifestasi dari negara-negara komunis blok timur, termasuk negara yang dijauhi Orde Baru. Banyak proyek yang sedang berjalan terbengkalai. Termasuk sarana dan prasarana perkuliahan kampus teknik di Ambon.
Ketika orang-orang Rusia dipulangkan, orang-orang pribumi yang terlibat pembangunan jalan pun ketakutan. Menurut Sabran Achmad kepada Kompas ((19/02/2009), para pekerja jalan di Kalimantan Tengah itu pun menyembunyikan diri karena takut disangkut-pautkan dengan Rusia yang komunis dan tentu saja Partai Komunis Indonesia (PKI).
Hal ini juga terjadi pada sebagian pekerja di proyek jalan Balikpapan-Samarinda. Di Loa Janan, yang dilewati jalan porors tersebut tak kalah pilu. Seingat Pudjiono, orang-orang yang tinggal di sepanjang Loa Janan Ilir pun “kena” tuduh sebagai PKI juga. Hidup mereka pun segera susah di awal-awal orde baru.
Proyek jalan Kalimantan itu pun dilanjutkan oleh teknisi-teknisi Jepang sebagai bentuk bantuan dari negara itu senilai $320 ribu. “Pembuatan jalan Balikpapan-Samarinda (ini) menggunakan batu karang karena lebih gampang dan murah ketimbang memakai batu dan aspal yang harus dimasukkan dari Jawa,” tulis Emil Salim dalam Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi (2010).
Belakangan, jalan sepanjang 115 km ini, di kalangan ekspatriat era 1970an hingga 1980an dikenal sebagai Russian Road. Jalan ini disebut sebagai Jalan Projakal, sebelum akhirnya dikenal sebagai Jalan Soekarno-Hatta.
Jalan poros Balikpapan-Samarinda, yang tak rampung oleh para teknisi Rusia dan jajaran pekerja pribumi yang terlibat sebelum 1966 ini, tentu saja tak sekokoh Jalan Palangkaraya-Tangkiling alias Jalan Cilik Riwut. Jalan Balikpapan-Samarinda ini pernah rusak, setidaknya di tahun 2013.
"Jalan yang berstatus jalan negara ini tanggung jawab pemerintah pusat. Tapi sampai kapan harus menunggu dan jika perbaikan sangat lambat bisa dipastikan biaya yang dikeluarkan akan semakin tinggi," kata Puji Astuti, anggota DPRD Kalimantan Timur kepada Antara (10/04/2013).
Menurut Wibowo, staf Departemen PU anggota Regional Betterment Office VII Banjarmasin, pembangunan jalan ala teknisi Rusia itu memang tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan cerucuk, seperti yang biasa dilakukan di Indonesia.
”Namun, umur jalan dengan teknik Rusia itu bisa lima kali lipat dari jalan kita,” kata Wibowo kepada Kompas. Jalan Cilik Riwut saja sudah berusia 50 tahun. Ia termasuk jalan paling kokoh se-Kalimantan.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani