Menuju konten utama

Palangkaraya Tak Jadi Ibukota

Rencana memindahkan ibukota bukanlah cerita baru. Palangkaraya, yang terletak di tengah pulau Kalimantan memang pernah dilirik, namun rencana itu kemudian batal.

Palangkaraya Tak Jadi Ibukota
Monumen/Tugu Soekarno didekat sungai Kahayan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Foto/istimewa

tirto.id - Sebelum Sukarno datang, tak ada kota Palangkaraya. Daerah itu tadinya hanya sebuah kampung kecil bernama Pahandut dengan jumlah penduduk 900 jiwa. Begitulah yang dicatat oleh Garry van Klinken dalam “Mengkolonisasi Borneo: Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan” dalam buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950an (2011),

“Rabu 17 Juli 1957. Pada hari itu, Presiden Sukarno memudiki Sungai Kahayan yang besar di Borneo Tengah diiringi sejumlah perahu,” tulis van Klinken. Presiden memudiki sungai itu selama 36 jam.

Pada dekade 1950an, kota itu agak terisolasi. Dalam cerita bersambung di Harian Merdeka 23-27 Juli 1957, H. Munawar menulis: “Di tempat sejauh dan sesunyi itu Bung Karno sebagai kepala negara dari 80 juta rakyat Indonesia, telah menjumpai rakyatnya.”

Van Klinken juga mengutip media di Jakarta yang menyebut “orang-orang kampung keluar dengan biduk masing-masing untuk menyambut presiden.” Mereka memekik kata: Merdeka! Biasanya, mereka hanya bisa melihat sang presiden lewat potret-potret yang biasa dijual di perahu-perahu sekitar sungai.

“Ketika ia mendekati pintu gerbang Kapuas pada hari sebelumnya, bunyi genderang telah sampai di telinga rombongan sebelum rombongan selesai melingkari belokan terakhir. Prajurit-prajurit Dayak berpakaian menakjubkan melingkarkan biduk mereka di depan kapal presiden. Ketika presiden menjejakkan kakinya di pantai, orang-orang mempersilakannya naik joli yang indah. Ia menolak, sebaliknya ia letakkan bendera merah putih di atas joli, dan bergabung dengan orang banyak mengibarkan bendera itu.”

Tak sekadar datang berkunjung saja, Bung Besar juga datang untuk meletakkan batu pertama Palangkaraya yang jadi ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, provinsi baru pecahan Kalimantan Selatan.

Menurut Wijarnaka dalam Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya (2006), presiden dua kali mengunjungi daerah itu untuk melihat langsung potensinya sebagai ibukota negara. Sukarno bahkan sudah punya imajinasi bagaimana wajah kawasan itu nantinya dengan memberi perhatian besar pada sungai-sungainya.

Ia melihat kota Palangkaraya bisa dijadikan kota percontohan Indonesia. Apalagi, memang banyak kota di Indonesia memiliki sungai. Kepada Indonesia, Sukarno berpesan: “Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model.”

Sukarno bahkan menginginkan Pelangkaraya jadi ibukota negara. Menurut Wijarnaka, Palangkaraya berada di tengah-tengah wilayah RI. Saat itu, wilayah tertimur Indonesia adalah Maluku, sebab Papua masih dikuasai Belanda.

Sayangnya, menurut Patrice Levang dalam Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia (2003), Palangkaraya terletak di atas salah satu lapisan gambut ombrogen terbesar di kawasan tropis Asia Tenggara. Maka, insinyur-insinyur Rusia pun didatangkan untuk memimpin pembangunan jalan, yang kemudian dikenal sebagai Jalan Rusia.

Infografik Palangkaraya

Jika menjadi ibukota, Palangkaraya akan mirip dengan Washington DC. Wilayah DC baru dibuka setelah Amerika Serikat merdeka. Wilayah itu dipilih oleh George Washington dan disetujui Kongres pada 16 Juli 1790. Jika Palangkaraya dekat Sungai Kahayan dan Kapuas, maka Washington DC berada di dekat sungai Patomac.

Mengenai ide pemindahan ibukota, bisa jadi Sukarno terpengaruh dengan opini lawas pada zaman kolonial. Misalnya pendapat dari Hendrik Tillema, seorang ahli kesehatan yang menyebut kota-kota pelabuhan di pantai Jawa yang tak sehat—termasuk Batavia—tak layak dijadikan pusat pemerintahan maupun niaga.

Selain itu, memindahkan ibukota ke luar Jawa, tentu membuat Sukarno dianggap hendak melawan prinsip sentralistik yang sejak zaman kolonial selalu berpusat di Jawa.

Sayangnya, keinginan itu tidak terwujud. Menurut Wijarnaka, rencana itu terhambat oleh banyak kesulitan, seperti dalam pengadaan bahan dan akses ke lokasi. Tentu saja, Jakarta yang makin sumpek adalah pilihan realistis bagi pemerintah RI. Jakarta adalah kota yang sudah “jadi,” di tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Namun, meski batal di zaman Orde Lama, isu-isu pemindahan ibukota masih sering dibicarakan. Sampai hari ini.

Baca juga artikel terkait PALANGKARAYA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani