tirto.id - Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung sejak Maret 2020 hingga saat ini tidak dipungkiri memiliki imbas yang besar terhadap berbagai hal selain kesehatan. Pandemi COVID-19 ini juga memberikan dampak yang signifikan di dalam sektor ekonomi. Melansir dari laporan Tirto yang terbit pada 12/08/2020 berjudul “Dampak COVID-19, Airlangga: Korban PHK Indonesia Naik Jadi 2,1 Juta”, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan jumlah pekerja yang telah di-PHK karena dampak dari COVID-19 menyentuh 2,1 juta orang. Hal ini sejalan dengan dampak COVID-19 pada dunia usaha dan menimbulkan pertumbuhan kuartal II 2020 terkontraksi 5,32 persen.
Tak hanya itu, pandemi covid-19 juga menyebabkan penutupan sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia sehingga para pelajar harus belajar di rumah. Hasil survey yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada April 2020 menunjukkan 97,6 persen melaksanakan kegiatan belajar dari rumah. Kegiatan belajar di rumah itu ternyata mengakibatkan penurunan kualitas belajar. Dilansir dari Antara News dalam laporannya bertajuk “Mendikbud: Penurunan kualitas pembelajaran tidak hanya di Indonesia” yang rilis pada 18/11/2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyebut dalam webinar yang diselenggarakan Bank Dunia di Jakarta, bahwa terjadi penurunan kualitas belajar akibat pandemi COVID-19.
Kebijakan belajar dan bekerja di rumah, serta banyaknya PHK yang terjadi di kalangan pekerja mengakibatkan para pelajar dan pekerja yang tadinya merantau harus pulang ke rumah. Kembalinya para pelajar dan pekerja yang tadinya merantau, lagi-lagi, tidak hanya terjadi di Indonesia. Merujuk laporan Pew Research Center pada September 2020 lalu berjudul “A majority of young adults in the U.S. live with their parents for the first time since the Great Depression”, tercatat ada 52 persen orang dewasa muda (young adult) di Amerika Serikat yang tinggal bersama dengan orangtua mereka. Pew Research Center mendefinisikan dewasa muda sebagai kelompok orang dengan rentang usia 18 hingga 29 tahun.
Masih dikutip dari laporan yang sama, disebutkan bahwa hingga Juli 2020, jumlah orang dewasa muda yang tinggal bersama orangtua mereka tumbuh menjadi 26,6 juta orang. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 2,6 juta orang jika dibandingkan pada Februari 2020.
Hal itu bukan tidak sama sekali memberikan dampak. Mengutip dari artikel dari laman Today yang terbit pada 20/07/2020 berjudul “How to mentally Cope if You’re Living With Your Parents Again During The Pandemic”, Laura Murray, seorang ilmuwan senior di departemen kesehatan mental di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health menyatakan, “Sejumlah kondisi stres, termasuk pandemi COVID-19 dan lonjakannya saat ini, dapat lebih banyak menyebabkan ketegangan (antara orangtua dan anak). Stres yang bertambah karena pindah kembali ke rumah bersama orangtua setelah sekian lama berada di perguruan tinggi atau hidup secara mandiri sebelumnya dapat memperburuk masalah (ketegangan) tersebut.”
Murray menyebutnya peralihan yang sulit, sebab terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga sebelumnya. Semua rencana yang telah disusun menjadi berantakan. Ada yang tertunda hingga tidak dapat dikerjakan.
Selain itu, pulang ke rumah dan kembali tinggal bersama orangtua menuntut kita untuk berimprovisasi dengan keadaan. Tidak mudah memang untuk beralih dari hidup sendirian, melakukan berbagai hal sendirian, dan hidup di bawah aturan yang telah kita tetapkan sendiri untuk diri sendiri, kembali ke kebiasaan lama dan pola hidup di bawah aturan orangtua kita. Belum lagi, kondisi pandemi mengakibatkan kita harus berusaha untuk tetap di rumah dan tidak melakukan banyak aktivitas di luar rumah dalam jangka waktu yang terlalu lama, tidak bisa berinteraksi dengan teman, dan mencari berbagai hiburan, yang membuat bertambahnya tekanan dan mengakibatkan stres yang akhirnya berdampak pada terganggunya kesehatan mental.
Sebenarnya, stres atau bahkan depresi seorang anak yang harus kembali tinggal bersama orangtuanya ini juga terjadi sebelum pandemi COVID-19.
Hal serupa pernah diteliti oleh oleh Jennifer Caputo, peneliti di Max Planck Institute for Demographic Research di Rostock, Jerman, pada tahun 2018 berjudul “Parental Coresidence, Young Adult Role, Economic, and Health Changes, and Psychological Well-being”. Temuan Caputo menyatakan orang dewasa muda yang harus kembali hidup dengan orangtua mereka mungkin mengalami konsekuensi emosional yang tak terduga.
Dalam studinya yang dipublikasikan dua tahun lalu itu, Caputo menggunakan data dari National Longitudinal Study of Adolescent to Adult Health, atau Add Health. Add Health adalah survei longitudinal yang dimulai pada pertengahan 1990-an dengan sampel lebih dari 20.000 remaja AS dari kelas 7 hingga 12. Lima gelombang data saat ini telah dikumpulkan (2016-2018), mengikuti remaja hingga dewasa muda. Data tersebut melihat pengaturan tempat tinggal para remaja tersebut dari 2002 hingga 2008, saat partisipan berusia 24-32 tahun.
Caputo mengatakan, orang dewasa muda yang hidup mandiri lebih tidak tertekan, lebih baik secara finansial, dan lebih mungkin mencapai tanda-tanda kedewasaan lain (misalnya bekerja atau menikah), daripada orang dewasa muda yang tinggal bersama orangtua. Mereka yang kembali ke rumah orangtua setelah sebelumnya hidup secara mandiri, tampaknya sangat mungkin mengalami kemunduran tertentu, seperti penurunan pendapatan dan kehilangan pasangan.
Lebih lanjut, Caputo menuliskan, pindah kembali ke rumah bersama orangtua dapat merusak kesehatan mental mereka. Bahkan setelah melakukan perhitungan terhadap berbagai faktor lain seperti kehilangan pekerjaan atau putusnya hubungan dengan pasangan, kembali pindah ke rumah bersama orangtua tetap menjadi prediktor depresi yang signifikan.
Hal itu sejalan dengan dengan survei yang dirilis oleh Konsorsium COVID-19 untuk Memahami Preferensi Kebijakan Publik di Seluruh Negara, yang mengemukakan hampir setengah dari orang dewasa muda A.S. melaporkan gejala depresi, dengan lebih dari sepertiga melaporkan pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Roy H. Perlis, dari Harvard Medical School di Boston, dan rekan melakukan survei online terhadap dewasa muda (usia 18 hingga 24 tahun) dalam empat gelombang—Mei (2.387 peserta), Juni (1.600 peserta), Agustus (2.903 peserta), dan Oktober (2.053 peserta)—untuk menilai perubahan tingkat depresi saat pandemi COVID-19 meluas secara geografis.
Kembali melansir dari laman Today, Irina Wen, seorang dosen psikologi klinis di jurusan Psikiatri NYU Langone Health, mengatakan bahwa beberapa ketegangan yang terjadi antara orangtua dan anak yang pulang ke rumah merupakan hal yang biasa terjadi. Namun, ketegangan tersebut mungkin meningkat karena tekanan pandemi, mengingat peningkatan jumlah orang dewasa muda yang harus kembali tinggal bersama orangtua selama pandemi.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini?
Laura Murray menyatakan, menurutnya hal terbaik yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghindari ketegangan dalam hubungan keluarga adalah dengan saling mendengarkan satu sama lain secara aktif. Selain itu, penting pula untuk orangtua maupun anak untuk mengoreksi sikapnya atau mawas diri. Dengan begitu, kita bisa mengukur tingkat emosi kita dan mengekspresikannya dengan cara yang sehat, misalnya lewat menulis. Ketika kita menyebutkan perasaan atau emosi yang kita rasakan, kita akan dapat menjinakkannya. Kita juga bisa lebih menguasai diri dan memiliki lebih banyak pilihan untuk menghadapi emosi tersebut.
Lebih lanjut, Murray menyatakan bahwa ini mungkin saat yang tepat bagi orangtua untuk memikirkan cara mereka berinteraksi dengan buah hati, yang barangkali sudah tidak terbiasa untuk mengikuti segala peraturan di rumah. Mengenai masalah kesehatan mental yang muncul, Murray mengaku melihat munculnya tanda-tanda depresi pada anak dengan rentang usia dewasa muda karena harus kembali tinggal bersama orangtua. Dalam hal ini, penting bagi orangtua untuk terus memberikan dukungan dengan menanyakan apa yang sedang terjadi kepada anaknya atau menawarkan bantuan.
Tak semua anak memiliki hubungan yang baik dengan orangtua. Walhasil, kembali tinggal bersama orangtua bisa menjadi tekanan tersendiri yang akhirnya berimbas pada masalah kesehatan mental anak. Jika Anda merasa situasi sangat sulit untuk dikendalikan, tidak ada salahnya mencari bantuan, bercerita kepada teman, pasangan, dan berkonsultasi dengan ahli.
Editor: Windu Jusuf