tirto.id - “Cincaunya Mom, 25 ribu saja. Ready hari Senin ya.. Pesanan paling lambat besok, Jumat siang jam 12. Terima kasih.”
Begitu pesan singkat yang masuk di grup WhatsApp orangtua, tepatnya kumpulan ibu-ibu di kelas anak saya sekolah. Pesan ini disertai foto satu kotak cincau dengan sekantong gula merah di atasnya. Menggoda.
Selain itu, tampaknya cincau ini bisa membuang panas dalam serta tanpa pengawet dan pewarna – begitu tertulis juga di fotonya. Menggiurkan. Buktinya, tidak sampai batas maksimal waktu pemesanan, saya sudah tidak kebagian.
Makanan atau minuman produksi rumahan, apalagi pembuatnya cukup dikenal di komunitas tertentu, nampaknya lebih banyak diminati saat ini. Kualitas bahan baku, juga higienitas proses pembuatan menjadi pertimbangan. Walau kadang ada faktor “melarisi dagangan teman” juga ya.
Kembali ke cincau rumahan yang diserbu di grup pesan singkat tadi, saya jadi ingat bulan puasa tahun lalu sempat beredar pesan berantai sebuah video Tik Tok. Isinya berita tentang adanya cincau palsu yang membahayakan kesehatan.
Sama-sama dibuat dari daun cincau, gapi cincau ini dinyatakan berbahaya karena ditambah borax sebagai pengawet dan pemanis buatan dalam adonan gulanya. Belum lagi airnya, konon menggunakan air keran mentah yang tak terjamin kebersihannya.
Entah informasi di TikTok itu akurat atau tidak, yang jelas kabar itu sudah membuat panik ibu-ibu. Semua menjadi lebih waspada, bahkan tak sedikit yang takut mengonsumsi cincau. Terlebih karena banyak juga portal berita kredibel yang memuat informasi tersebut.
Berita-berita yang bertebaran menyebutkan pula bahwa kasus pemalsuan cincau meningkat di bulan Ramadan. Ini karena pada bulan Ramadan, permintaan terhadap bahan-bahan minuman segar sebagai takjil umumnya meningkat. Jadi, masuk akal jika cincau buatan teman lebih dipercaya.
Buat Sendiri Saja
Bicara dunia percincauan membuat saya mengingat kampung halaman. Ngaliyan namanya, sebuah desa di ujung Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Sebagaimana desa lainnya, daun cincau berlimpah di kebun-kebun sekitar kami, merambat liar di berbagai pohon. Ciri daunnya, berbentuk hati dengan permukaan seperti berbulu halus.
Sebenarnya tanaman cincau bisa juga dibawa ke halaman rumah. Saya melihat tanaman yang sama di beberapa rumah warga, terutama di perkotaan. Maka, ketika dalam suatu kesempatan saya pergi ke kebun dan menemukan bibit tanaman cincau, langsung saya cabut dan bawa pulang. Saya tanam dalam sebuah pot besar, dan tanaman tersebut tumbuh subur berbaur dengan berbagai tanaman buah dan tanaman hias di kebun atap rumah.
Sejak kecil saya dan teman-teman sudah diajari kakak-kakak atau orangtua kami memanen daunnya dan membuat minuman cincau sendiri.
Caranya sangat sederhana dan tradisional. Daun-daun segar yang baru dipetik langsung dicuci, lantas diremas-remas dengan air matang dalam sebuah wadah lalu disaring menggunakan saringan kelapa parut. Sari daun cincau lantas didiamkan semalaman supaya menggumpal seperti agar-agar. Keesokan harinya, barulah dibuatkan bahan pelengkapnya, yakni santan kelapa dan gula Jawa cair.
Kenapa saya bilang menggumpal, karena cincau yang kami buat sendiri itu tidak sekeras atau sepadat cincau hitam yang ketika beranjak dewasa saya lihat banyak dijual di pasaran. Cincau yang kami buat sendiri sangat lembut teksturnya, dengan aroma sedap daunnya yang khas. Cara mengonsumsinya pun bukan dipotong-potong dadu dengan pisau, melainkan disendok sedikit demi sedikit. Itupun sangat licin.
Karena tidak kebagian cincau yang ditawarkan teman, saya lantas mencari di aplikasi pemesanan makanan. Saya tertarik dengan nama “Cincau Sehat”, lokasinya tak jauh dari sekolah anak saya. Foto yang ditampilkan adalah cincau hijau yang terlihat lembut seperti buatan kami di rumah. Itu yang membuat saya mantap memesan satu paket keluarga yang terdiri dari satu kotak cincau berukuran 15x15 cm dengan sebotol gula aren. Harganya Rp51 ribu, belum ongkos ojeknya.
Sampai di rumah saya buka, benar teksturnya lembut dan licin, seperti buatan kami di rumah. Saya sendok sedikit demi sedikit ke dalam sebuah gelas. Sebelum saya tuang gula arennya, saya cicipi dulu cincaunya. Ah, ternyata berbeda rasa. Kalau cincau buatan kami aroma khasnya unik, yang ini agak langu. Mengingatkan saya pada aroma daun binahong.
Maka saya menduga, daun cincau hijau yang digunakan adalah yang berbentuk agak lonjong memanjang dengan permukaan halus. Atau bisa jadi daun cincau Cina. Seperti apa itu?
Jika kita melakukan penelusuran di mesin pencarian dengan kata kunci daun cincau, akan muncul berbagai variasi daun. Pertama tanaman rambat berbentuk hati membulat dengan permukaan berbulu seperti di desa saya. Nama latinnya Cylea berbata. Kedua, tanaman perdu (berkayu dan bercabang) dengan daun lebih kaku, bentuknya agak lonjong dengan permukaan halus. Nama ilmiahnya Premna oblongifolia. Ketiga, tanaman rambat berdaun tipis agak lonjong membentuk hati dengan permukaan licin. Tanaman ini berbunga kekuningan dan berbuah seperti anggur. Nama ilmiahnya Cocculus orbiculatus.
Sementara, variasi keempat adalah tanaman yang mirip Cylea berbata tapi permukaannya licin (tanpa bulu) dengan ujung meruncing. Di desa saya, tanaman yang dalam bahasa ilmiah disebut Stephania capitata (blume) Spreng, atau istilah Indonesia nya sumpet kendi, ini tidak dimanfaatkan. Dan yang kelima adalah tanaman berbatang pendek dengan daun bergerigi, mirip daun mint. Di Indonesia disebut janggelan, nama ilmiahnya Platostoma palustre.
Jika keempat jenis daun sebelumnya dapat langsung dibuat menjadi agar-agar cincau saat segar, janggelan harus dikeringkan seperti daun teh terlebih dahulu. Selanjutnya adalah direbus sambil diaduk-aduk, lalu disaring. Hasilnya, cincau hitam yang banyak kita temukan di pasaran, termasuk supermarket.
Nikmati Kesegarannya, Reguk Manfaatnya
Jika di hari biasa penjaja minuman cincau terlihat di berbagai sudut jalan saat siang, pada bulan puasa begini kebanyakan dari mereka baru muncul menjelang sore. Berbaur dengan para penjaja takjil lainnya.
Di depan komplek tempat saya tinggal misalnya, antara pukul 3 atau 4 sore mulai berubah menjadi pasar jajanan. Meski tak seberapa dibanding Pasar Takjil Bendungan Hilir di Jakarta, atau Pasar Ramadhan Kauman di Yogyakarta, tetap saja pasar jajanan di kampung kami nampak meriah.
Ada penjaja lontong isi beserta aneka gorengan dengan pelengkap cabai rawit dan sambal kacang, ada penjual aneka kolak dan es buah, ada asinan sayur dan buah, ada bakso, mi ayam, hingga soto. Dan tentu saja tak ketinggalan gerobak cincau. Namun terpantau gerobak ini paling sepi.
Jika benar dan higienis cara pembuatannya, cincau sebetulnya dapat menjadi pilihan bijak mengingat kesehatan dibanding banyak variasi takjil yang mengandung banyak gula, bukan?
Menurut dokter praktisi herbal, berbagai buku dan pemerhati kesehatan, olahan cincau mengandung segudang manfaat. Tidak hanya menghilangkan panas dalam, tapi juga memperlancar pencernaan, mencegah diare karena kandungan vitamin B dan C nya, meningkatkan daya tahan tubuh, mencegah kanker, hingga membantu menurunkan tekanan darah.
Jadi, kapan nih berbuka dengan cincau?
Editor: Nuran Wibisono