Menuju konten utama

Staf Khusus Milenial: Cara Jokowi Samarkan Lingkaran Oligarki

Aroma politik akomodatif atau bagi-bagi kekuasaan dinilai masih terasa saat Jokowi menunjuk 12 orang staf khusus presiden, meski 7 di antaranya adalah generasi milenial.

Staf Khusus Milenial: Cara Jokowi Samarkan Lingkaran Oligarki
Presiden Joko Widodo bersama staf khusus yang baru dari kalangan milenial (ki-ka) CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra, Perumus Gerakan Sabang Merauke Ayu Kartika Dewi, Pendiri Ruang Guru Adamas Belva Syah Devara, Peraih beasiswa kuliah di Oxford Billy Gracia Yosaphat Mambrasar, CEO dan Founder Creativepreneur Putri Indahsari Tanjung, Pendiri Thisable Enterprise Angkie Yudistia dan Mantan Ketua PMII Aminuddin Ma'ruf ketika diperkenalkan di halaman tengah Istana Merdeka Jakarta, Kamis (21/11/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A./nz

tirto.id - Presiden Joko Widodo mengumumkan 12 staf khusus untuk mendampinginya selama pemerintah periode kedua 2019-2024. Tujuh di antara mereka merupakan generasi milenial: usianya 20 hingga 30-an tahun, yang memang sengaja ditunjuk Jokowi untuk bertugas "mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang."

Jokowi mengenalkan satu demi satu nama-nama mereka serta mengumumkan latar belakang pendidikan dan kiprahnya. Umumnya adalah entrepreneur, sociopreneur, dan edupreneur—aktivitas bisnis yang dipadu dengan pengembangan sosial, pendidikan, filantropi, dan ekonomi anak muda.

Pendeknya, mereka merepresentasikan generasi milenial. Mereka adalah Angkie Yudistia, Aminuddin Maruf, Adamas Belva Syah Devara, Ayu Kartika Dewi, Putri Indahsari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra, dan Gracia Billy Mambrasar.

“Ketujuh anak muda ini akan jadi teman diskusi saya, harian, mingguan, bulanan,” ujar Jokowi setelah mengenalkan mereka.

Jokowi menambahkan, “[Ketujuh milenial ini] memberikan gagasan-gagasan segar yang inovatif, sehingga kita bisa mencari cara-cara baru, cara-cara out-of-the-box, yang melompat, untuk mengejar kemajuan negara kita," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2019).

“Saya juga minta mereka untuk menjadi jembatan saya dengan anak-anak muda, para santri muda, para diaspora, yang tersebar di berbagai tempat,” kata Jokowi menambahkan.

Dua wajah baru lainnya adalah politikus PDIP Arief Budimanta dan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dini Shanti Purwono. Namun, keduanya tak ikut diperkenalkan karena dianggap tak mewakili kalangan milenial.

Selain itu, Jokowi juga menunjuk sejumlah wajah lama kembali menjadi staf khusus, yakni Diaz Hendropriyono, Sukardi Rinakit, dan Ari Dwipayana.

Namun, melihat ke-12 orang yang ditunjuk Jokowi menjadi staf khusus itu masih terasa aroma politik bagi-bagi kekuasaan atau politik akomodatif.

Sebab, sebagian besar adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Sebut saja empat nama yang merupakan kader partai politik pendukung Jokowi, yakni: Arief Budimanta (PDIP), Dini Shanti Purwono (PSI), dan dua kader Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), yakni Diaz Hendropriyono dan Angkie Yudistia.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, politik bagi-bagi kekuasaan ini memang bukan barang baru di pemerintahan Jokowi. Tak hanya sekarang, tapi sejak periode pertamanya.

“Saya kira sih itu sudah jadi ciri khas utama pemerintahan Jokowi Jilid II ini. Akomodatif yang akhirnya mengangkangi prinsip efisiensi dan efektifitas yang didengung-dengungkannya," kata Lucius saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (22/11/2019).

Apalagi, kata Lucius, melalui tujuh staf khusus milenial, ditambah menteri-menteri dan wakil menterinya ini, Jokowi berupaya menutupi lingkaran oligarki dalam pemerintahannya.

Menurut Lucius, Jokowi terlihat hanya menyenangkan lingkaran oligarki yang telah berjasa memenangkan Jokowi dua periode.

“Jokowi sulit untuk melepaskan dirinya dari oligarki di belakangnya dan ini yang nampaknya lebih berperan dalam menentukan para pembantunya," kata Lucius.

Menurut Lucius, dengan memilih staf khusus milenial, Jokowi pun sedang membuat citra bahwa dirinya adalah sosok yang dekat dengan milenial. Padahal, kata Lucius, mantan Wali Kota Solo itu hanya menutupi lingkaran oligarki di pemerintahannya.

Kalau mendukung milenial berinovasi, kata Lucius, maka tugas Jokowi seharusnya menyiapkan lapangan pekerjaan dengan segala kondisinya agar membuka ruang bagi anak-anak muda memiliki pemikiran yang inovatif.

Pilihan Jokowi merekrut milenial masuk dalam ring Istana, menurut Lucius, bukan pilihan tepat demi menghargai milenial. Pasalnya, milenial masih dianggap tak cocok dengan budaya kekuasaan yang dikuasai oligarki dan juga gagasan yang kuno.

“Dengan masuk ke lingkaran istana, ruang inovatif itu sudah dikerangkeng oleh Jokowi karena anak milenial itu dituntut untuk bekerja dan mengabdi pada kepentingan penguasa. Bagaimana mau inovatif dan kreatif jika sudah dibatasi," kata Lucius.

Bisikan Stafsus Milenial Hanya Angin Saja?

Alih-alih staf khusus milenial ini bisa memberikan masukan kepada Jokowi, yang ada bisikan-bisikan mereka nanti hanya akan terhalang oleh elite-elite politik atau orang-orang yang lebih tua yang ada di lingkaran dekat Jokowi.

Jokowi memang tetap akan mendengarkan masukan-masukan dari staf khusus milenial ini, tapi menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin masukan-masukan ini hanya akan 'masuk kuping kanan, keluar kuping kiri'. Artinya, kata Ujang, belum tentu dilakukan Jokowi.

"Karena stafsus milenial tak punya daya tekan. Akan kalah oleh elite politik senior. Karena elite politik senior ini punya partai, punya bargaining, dan sering kompromi dengan Jokowi," kata Ujang kepada reporter Tirto, Jumat (22/11/2019).

Apalagi, staf-staf khusus milenial ini masih miskin pengalaman di bidang pemerintahan. Jokowi pun hanya ingin menunjukkan ia dicintai dan didukung oleh kaum milenial.

"Mereka miskin pengalaman di pemerintahan, jadi ya harus banyak belajar," ucap Ujang.

Langkah Jokowi memilih staf khusus milenial ini pun mendapat sorotan dari partai politik di luar pemerintahan. Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, salah satunya.

Mardani melihat tak ada pembagian tugas yang jelas dari Presiden Jokowi. Akibatnya, kata Mardani, jabatan-jabatan ini berpotensi tumpang tindih dengan struktur pembantu presiden yang sudah ada seperti menteri, Sekretaris Kabinet, khususnya Kantor Staf Presiden (KSP).

"Tanpa pembagian tugas yang jelas, posisi staf khusus ini akan tumpang tindih dengan struktur yang sudah ada," kata Mardani kepada reporter Tirto, Jumat (22/11/2019).

Mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah bahkan melihat staf khusus milenial tersebut hanya etalase dari generasi milenial yang dipilih Jokowi.

"Mungkin ini semacam etalase yang dalam bahasa umum sebenarnya dianggap sebagai duta dari anak muda milienal," kata Fahri.

Tujuh milenial tersebut juga dicap Fahri sebagai “anak muda perkotaaan” yang hidupnya memang sudah kaya melalui orang tuanya. Misalnya, nama Putri Indahsari Tanjung yang tak lain adalah puteri dari pengusaha nasional, Chairul Tanjung.

Puteri konglomerat pemilik CT Corp ini adalah lulusan Academy of Art University di San Francisco, California. Ia dipilih Jokowi dalam kapasitasnya sebagai pendiri Creativepreneur Event Creator.

Bahkan, Fahri menyebut tujuh anak muda ini bukanlah anak yang bisa ditiru oleh seluruh masyarakat Indonesia yang mayoritas masih hidup di pedesaan dan daerah.

"Sementara anak ini kebanyakan anak perkotaan yang tumbuh dengan teknologi dan pengetahuan yang lebih dari yang lainnya," kata Fahri.

Lain halnya dengan politisi partai-partai yang mendukung pemerintahan Jokowi. Mereka justru memuji langkah Jokowi memilih tujuh dari 12 staf khususnya adalah orang-orang muda.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani contohnya. Ia menilai Jokowi memilih para staf muda itu karena prestasinya yang luar biasa. Kata Arsul tanpa adanya prestasi dan kapasitas yang mumpuni, tidak mungkin akan menjadi staf Jokowi.

“Karena tanpa prestasi diusia muda, anak siapa pun ya gak akan diangkat,” ucap Arsul di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (22/11/2019).

Wakil Ketua MPR itu meyakini pengangkatan stafsus bukan karena latar belakang kedekatan keluarga atau orang tua mereka dengan Jokowi.

“Bukan karena siapa orang tua mereka. Bahwa ada yang anak pengusaha, ya itu bukan pertimbangan utamanya saya kira,” kata Arsul.

Hal senada diungkapkan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat. Menurut dia, kehadiran staf khusus milenial ini bisa menjadi motivasi dan inspirasi anak-anak muda lain untuk berbuat kebaikan bagi negara ini.

Djarot berharap tujuh staf khusus milenial ini bisa menciptakan inovasi-inovasi bahkan mendobrak birokrasi yang ada di pemerintahan selama ini. Ia pun membantah kehadiran anak-anak muda ini menambah gemuk birokrasi di lingkungan Istana.

Justru mereka, kata Djarot, diharapkan dapat membuat terobosan-terobosan untuk menghilangkan kekakuan birokrasi di lingkungan Istana.

"Dengan cara itu maka program-program Pak Jokowi bukan hanya untuk sekarang tapi untuk lim tahun ke depan bahkan sampai dengan tahun 2045," kata Djarot saat ditemui di sela-sela acara Sekolah Pimpinan Dewan di Depok, Jawa Barat, Jumat (22/11/2019).

Baca juga artikel terkait STAF KHUSUS JOKOWI atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz