Menuju konten utama

Eks Koruptor Boleh Ikut Pilkada, Kok Bisa Mendagri Tito Gegabah?

Mendagri Tito Karnavian tak mempermasalahkan eks napi koruptor ikut pilkada. Sikapnya ini dinilai gegabah dan gagal paham soal restorative justice.

Eks Koruptor Boleh Ikut Pilkada, Kok Bisa Mendagri Tito Gegabah?
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat mengikuti rapat kerja dengan Komite I DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto.

tirto.id - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tidak mempermasalahkan keterlibatan mantan terpidana korupsi untuk mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung.

Tito mengklaim jika negara melarang orang-orang bermasalah itu untuk turut serta dalam Pilkada, maka negara berjalan ke arah teori pemidanaan kuno. Ia berkukuh saat ini Indonesia sudah mulai beralih ke konsep restorative justice, yakni beralih dari pemidanaan dengan teori pembalasan menjadi teori rehabilitasi.

"Kalau dia terkoreksi apakah dia tidak diberikan kesempatan kembali memperbaiki dirinya untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat, silakan masyarakat menilai," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019) kemarin.

Pernyataan mantan Kapolri itu menanggapi usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pelarangan mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan kepala daerah pada Pilkada 2020.

Usulan Tito ini dipertanyakan peneliti Pusat Kajian Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman. "Bagaimana bisa jabatan tertinggi dalam suatu daerah diduduki oleh seseorang yang telah menciderai kepercayaan dan merugikan negara," ujarnya kepada Tirto, Rabu (20/11/2019).

"Korupsi itu merupakan kejahatan politik, sebab itu salah satu bentuk pemidanaannya mencabut hak politik. Itu membuktikan bahwa memang hak untuk dipilih bisa dibatasi. Namun, saat ini tetap dengan keputusan pengadilan. Sangat tidak tepat disertakan dalam kontestasi merebutkan jabatan politik lagi," jelasnya.

Meskipun dalam konteks hukum positif tidak bisa juga dibenarkan melarang mantan narapidana korupsi ikut serta dalam pencalonan kepala daerah, sebab bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015.

"Saya paham. Tapi dalam konteks filosofis, tujuan untuk tidak memberi kesempatan eks napi tipikor untuk maju kembali sangat kuat, karena itu merupakan kejahatan politik dan pengkhianatan kepercayaan publik," ujarnya.

"Sehingga tidak selayaknya orang yang baru saja menyelesaikan pidana karena mengkhianati kepercayaan tersebut diberikan kesempatan untuk memegang kepercayaan lagi."

Gagal Paham RestorativeJustice

Pernyataan Mendagri Tito Karnavian yang memperbolehkan mantan terpidana korupsi dalam pencalonan kepala daerah dengan dalil restorative justice dinilai keliru oleh pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.

Menurut Fickar, nampaknya Tito gagal paham dengan konsep tersebut. Sebab penekanan restorative justice lebih diperuntukkan untuk korban bukan pelaku.

Bisa saja pelaku juga mendapatkan keadilan yang setara dengan korban. Namun, menurutnya, hal itu hanya berlaku dalam peradilan anak dengan konsepsi diversi. Tujuannya, agar anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku terhindar dari peradilan sebagaimana biasanya.

"Jadi jika terpidana koruptor ingin ditempatkan sebagai pelaku dalam konteks restorative justice, maka tidak logis dan bertentangan dengan akal sehat, karena sama memperlakukan hak koruptor dengan hak anak-anak atau pelaku nenek-nenek yang nir-ekonomi. Ini jelas melawan akal sehat," ujarnya kepada Tirto, Rabu.

Begitu juga dengan konsep rehabilitasi dalam konteks restorative justice itu diatur dalam Undang-undang Peradilan Anak dengan diversi. Menurutnya, belum ada lagi undang-undang lain yang mengaturnya, apalagi untuk terpidana koruptor.

"Rehabilitasi secara yuridis diatur dalam UUD 1945 dan itu menjadi kewenangan Presiden, dan tidak masuk akal Presiden mau merehabilitasi napi koruptor," ujarnya.

Ia juga menambahkan, dalam KUHAP pasal 77 untuk konteks orang yang salah tangkap dan salah tahan, bisa direhabilitasi. Demikian juga pasal 97 KUHAP, rehabilitasi itu diberikan dalam konteks seseorang berdasarkan putusan pengadilan pidana dibebaskan dari dakwaan. Sementara mantan terpidana korupsi sudah jelas bermasalah dengan kekuatan hukum tetap.

"Kalau ada pihak yang kemudian ingin memperlakukan koruptor sama dengan anak-anak dan nenek-nenek dalam konteks restorative justice. Bisa dipastikan bahwa dasar pikiran ini adalah pikiran pragmatisme, yang memandang bahwa kejahatan korupsi itu kejahatan yang biasa saja," ujarnya.

Di sisi lain, aturan mantan napi korupsi tak bisa ikut dalam pencalonan kepala daerah yang diupayakan KPU melalui revisi PKPU Nomor 3 Tahun 2017 juga didukung oleh anggota Komisi II DPR RI Johan Budi.

"Yang penting apakah bertentangan tidak, PKPU [itu] dengan UU 10/2016. Sepanjang tidak bertentangan, oke-oke saja. Saya sendiri mendukung kalau ada klausul bahwa mantan narapidana korupsi tidak boleh mencalonkan sebagai kepala daerah yang disampaikan KPU," ujarnya kepada Tirto, Rabu.

Dukungan Johan Budi ini lebih menitikberatkan pada proses rekrutmen pegawai sebuah instansi pemerintahan. Sebab, menurutnya, untuk menjadi seorang aparatur sipil negara saja, seseorang harus melalui proses seleksi ketat dengan melampirkan bukti bahwa yang bersangkutan tidak pernah dijerat pidana. Apalagi untuk mencari sosok seorang pimpinan.

"Ini pendapat pribadi. Untuk menjadi pegawai saja pemerintah saja harus ada SKCK, apalagi ini jadi pemimpin. Tentu harus lebih ketat dong," ujarnya.

"Harus semaksimal mungkin, kita menginginkan seorang kepala daerah yang benar-benar bagus integritas dan kredibilitasnya. Menjadi narapidana korupsi itu kan sudah tersangkut cacat moral."

Pernyataan Tito Gegabah

Pengamat politik Hendri Satrio mengatakan perlunya keprihatinan dalam menyikapi pernyataan Mendagri Tito Karnavian. "Kalau kita tidak prihatin terhadap pernyataan Mendagri yang bilang koruptor dilarang ikut pilkada itu kuno, maka kita lebih kuno lagi," ujarnya pada Tirto, Rabu.

Ia menambahkan, sebaiknya Mendagri Tito segera menjelaskan lebih gamblang maksud pernyataannya tersebut. Sebab, rakyat Indonesia sangat tidak menyukai koruptor. Jangan sampai timbul anggapan bahwa Tito memihak koruptor.

Hendri juga mengimbau kepada para menteri dalam Kabinet Jokowi Jilid II, agar lebih berhati-hati sebelum mengeluarkan pernyataan. Menteri Jokowi, kata Hendri, seharusnya bisa mempelajari dulu persoalan dan tidak gegabah saat mengambil keputusan.

"Sabar saja dulu, pelajari dulu, dengarkan dulu," ujarnya.

Baca juga artikel terkait PILKADA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri