tirto.id - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menanggapi usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pelarangan mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan kepala daerah pada Pilkada 2020.
Menurut Tito, jika mantan narapidana kasus korupsi dilarang, negara akan menganut kembali teori pemidanaan kuno, yaitu teori pembalasan. Dalam teori tersebut, kata Tito, orang yang berbuat jahat maka dia harus dibalas dengan cara dikekang kebebasannya yaitu masuk penjara, bahkan sampai hukuman mati atau dibunuh.
"Kalau memilih pembalasan ya balas aja, termasuk dia gak boleh ngapa-ngapain, berarti kita kembali pada teori kuno," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019) kemarin.
Dalam perkembangannya, menurut mantan Kapolri tersebut, teori kriminologi mulai berubah. Hukum memerangi kejahatannya, bukan orang yang berbuat kejahatan. Tito menyebutnya dengan teori rehabilitasi. Dalam teori ini terpidana akan dikoreksi dan direhabilitasi dari perbuatan menyimpang.
Tito menyebut saat ini Indonesia sudah mulai beralih ke konsep restorative justice, yakni beralih dari pemidanaan dengan teori pembalasan menjadi teori rehabilitasi.
"Kalau dia terkoreksi apakah dia tidak diberikan kesempatan kembali memperbaiki dirinya untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat, silakan masyarakat menilai," kata Tito.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman berharap adanya revisi Undang-undang Pilkada yang melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkoba dan pelaku kekerasan seksual anak untuk maju mencalonkan sebagai calon kepala daerah pada Pilkada 2020 nanti.
Keinginan KPU ini disampaikan karena mereka tak ingin terulang aturan yang mereka tuangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) digugat hingga akhirnya kalah di Mahkamah Agung (MA). PKPU larangan mantan narapidana korupsi maju dalam kontestasi demokrasi ini pernah dibuat KPU pada pemilihan legislatif 2019 lalu.
Meski begitu, menjelang Pilkada 2020, KPU tetap menyerahkan draf PKPU untuk Pilkada 2020 kepada Komisi II DPR yang memasukan larangan mantan napi korupsi, bandar narkoba dan pelaku kekerasan seksual maju Pilkada. Namun, KPU juga tetap berharap DPR dan pemerintah mau merevisi UU Pilkada agar larangan tersebut memiliki kekuatan hukum yang tak gampang digugat.
"Kami tentu berharap ada revisi terhadap undang-undang. Karena kan semua pihak kalau saya lihat komentarnya, sepanjang ini diatur di dalam undang-undang maka kita bisa terima," ujar Arief di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019) lalu.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Widia Primastika