tirto.id - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Thantowi sepakat dengan usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar eks napi korupsi dilarang mencalonkan diri pada Pilkada Serentak 2020 mendatang. Namun, KPU terkendala landasan hukum yang baru diatur dalam Peraturan KPU (PKPU).
"Kita kan tahu, kendala dari gagasan ini di mana, ada di landasan hukum yang tidak cukup kuat karena hanya diatur dalam PKPU. Itu problemnya di sana," ujar Pramono saat dihubungi, Selasa (30/7/2019).
Menurut Pramono, dipastikan akan ada gugatan di Mahkamah Agung (MA) bila KPU hanya memakai PKPU sebagai landasan hukum melarang eks napi koruptor maju Pilkada. Pramono menambahkan, nasibnya akan sama dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang eks koruptor menjadi caleg di Pemilu 2019. Saat itu, MA membatalkan ketentuan KPU yang melarang eks koruptor menjadi caleg.
"Sudah bisa diduga, dibatalkan [MA]. Itu kan problem real yang kita hadapi ke depannya," ucap Pramono.
Untuk itulah, menurut Pramono yang paling ideal adalah sebaiknya dilakukan revisi terhadap UU Pilkada untuk memasukkan syarat eks napi koruptor tak bisa mencalonkan diri pada kontestasi Pilkada. Bila tetap harus memakai PKPU, kata Pramono harus mendapat dukungan politik dari pemerintah pusat dan partai-partai politik di tingkat pusat.
"Sehingga kalau partai politik tingkat pusatnya menyetujui Peraturan KPU itu otomatis mereka tidak akan mengajukan calon-calon yang memang mantan napi koruptor, sehingga potensi digugat ke MA-nya tidak ada," jelas Pramono.
Pramono juga menilai langkah pengadilan memutuskan mencabut hak politik dari orang yang terbukti telah melakukan korupsi juga harus dipertahankan. Menurut dia, pencabutan hak politik tersebut menutup peluang eks koruptor menjadi calon kepala daerah.
Pramono menegaskan bahwa KPU sebenarnya telah mengambil langkah yang progresif untuk mencegah eks koruptor menduduki jabatan publik. KPU, kata dia, tidak hanya mengimbau, tetapi membuat peraturan yang melarang eks koruptor menjadi caleg, meskipun peraturan tersebut dibatalkan oleh MA.
"Kami tidak ingin orang yang pernah mendapatkan sanksi pidana korupsi itu diberi amanat kembali, orang yang pernah mengkhianati amanat harusnya tidak diberi kepercayaan kembali, karena orang yang pernah dijatuhi pidana korupsi itu nyatanya ada juga yang terbukti kembali melakukan itu. KPU berada dalam posisi di mana orang yang pernah mempunya pengalaman korupsi tidak diberi amanat kembali," tegasnya.
Desakan KPK agar eks napi korupsi dilarang mencalonkan diri pada Pilkada Serentak 2020 mendatang mencuat setelah ditetapkannya Bupati Kudus Muhammad Tamzil sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi terkait pengisian perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus tahun 2019.
Tamzil pernah ditahan karena dianggap bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan saran dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004.
Tamzil yang bebas pada 2015 kemudian mencalonkan diri sebagai Bupati Kudus lewat Pilkada 2018 dan kembali terpilih. Namun, kini Tamzil kembali tersandung kasus korupsi karena ia menjadi tersangka dalam kasus dugaan jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Kudus.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Alexander Haryanto