tirto.id - Bayangkan situasi ini. Suatu hari Anda merasa otak hampir meledak. Anda memutuskan untuk berekreasi sejenak dengan menyantap makanan enak di restoran terkenal di sebuah pusat perbelanjaan.
Namun, saat lidah Anda sedang asyik bergoyang, saus yang menemani hidangan tiba-tiba tumpah ke pakaian Anda. Nodanya tak banyak, tapi berhasil merusak mood.
Anda pun sibuk membersihkan noda sebesar ujung spidol yang ada di kerah baju, tapi gagal. Lalu Anda berpikir bahwa ribuan mata yang Anda temui di pusat perbelanjaan tertuju pada titik kuning di pakaian Anda.
Pernah mengalami kejadian seperti itu? Itulah yang disebut spotlight effect atau efek sorotan.
Rodolfo Mendoza-Denton, seorang dosen psikologi di University of California, Berkeley, Amerika Serikat menjelaskan ihwal fenomena ini kepada Psychology Today. Spotlight effect adalah sebuah fenomena ketika Anda berpikir bahwa semua orang memperhatikan Anda. Orang biasanya akan melebih-lebihkan kadar perhatian orang lain terhadap diri mereka sendiri.
Hal ini wajar belaka buat Mendoza-Denton. Sebab, kita adalah pusat dari semesta masing-masing. Kita memiliki persepsi yang besar terhadap segala tingkah-polah dan tutur kata yang diekspresikan diri kita sendiri. Namun kenyataannya, diri kita tidak cukup besar di mata orang lain karena, toh, mereka juga punya dunia sendiri.
Orang Memang Suka Melebih-lebihkan Sesuatu
Spotlight effect telah dikenal dalam ilmu psikologi sosial sejak tahun 2000, persisnya ketika Thomas Gilovich, Victoria Husted Medvec, dan Kenneth Savitsky menerbitkan studi berjudul “The spotlight effect in social judgment: An egocentric bias in estimates of the salience of one’s own actions and appearance” (PDF).
Melalui penelitian yang dimuat dalam Journal of Personality and Social Psychology ini, para periset dari American Psychological Association (APA) berhasil membuktikan bahwa orang cenderung melebih-lebihkan sejauh mana tindakan dan penampilan mereka diperhatikan oleh orang lain.
Studi ini menggunakan lima tahapan percobaan. Pada riset pertama dan kedua, peserta diminta untuk mengenakan kaus dengan gambar yang berpotensi memalukan atau menyanjung para partisipan.
Pada penelitian pertama, para peserta diminta untuk mengenakan kaus dengan foto penyanyi Barry Manilow dari kepala sampai leher berukuran 21 cm x 24 cm. Setelah itu, mereka diminta memperkirakan jumlah orang yang memperhatikan baju mereka, sementara para ilmuwan membandingkan perkiraan itu dengan jumlah orang yang sungguh-sungguh memperhatikan.
Perkiraan dari para periset itu benar. Responden akan melebih-lebihkan jumlah orang yang memperhatikan baju mereka.
Tapi tak hanya itu kesimpulan yang diambil Gilovich, dkk. Perasaan “semua mata tertuju pada kita” rupanya tak hanya terjadi ketika orang merasa malu, tapi juga saat kita merasa diri kita menawan, misalnya saat baru membeli pakaian baru, baru potong rambut, atau mungkin saat melontarkan lelucon dalam sebuah percakapan.
Untuk itu para peneliti meminta responden mengenakan kaus dengan gambar tokoh terkenal pilihan mereka dan para peneliti menggunakan metode yang sama dengan penelitian pertama.
Hasilnya ternyata sama, peserta akan melebih-lebihkan jumlah orang yang memperhatikan baju yang dikenakan.
Jika percobaan pertama dan kedua menekankan pada penampilan, di percobaan ketiga, Gilovich, dkk menguji spotlight effect berdasarkan perilaku dan tindakan seseorang. Dalam eksperimen ini mereka menyelidiki kecenderungan orang untuk percaya bahwa tindakan positif dan negatif mereka lebih menonjol ketimbang tindakan orang lain.
Untuk mengetahui hal tersebut, mereka membentuk kelompok diskusi dan diminta memberikan peringkat positif dan negatif kepada anggota grup itu. Peringkat positif diberikan kepada anggota yang bisa menghangatkan diskusi, sementara peringkat negatif diberikan pada anggota yang memiliki kesalahan bicara terbesar.
Hasilnya sesuai dugaan para periset bahwa peserta akan melebih-lebihkan seberapa menonjol ucapan positif dan negatif yang mereka ungkapkan kepada rekan diskusi.
Dalam studi keempat dan kelima, para peneliti berfokus pada perwujudan dan implikasi spotlight effect terhadap beberapa fenomena sosial sehari-hari. Melalui studi akhir para peneliti bertanya kepada para partisipan tentang proses untuk sampai ke angka perkiraan tersebut.
Mengapa Ada Spotlight Effect?
Kenneth S. Bordens dan Irwin A. Horowitz melalui buku Social Psychology (2008, hlm. 56) berpendapat bahwa manusia suka berasumsi bahwa orang lain akan mengenali perasaannya. Asumsi inilah yang membuat kita berpikir bahwa orang lain selalu memperhatikan gerak-gerik kita.
John T. Cacioppo dan Laura A. Freberg dalam buku Discovering Psychology: The Science of Mind (2013, hlm. 598) menyatakan bahwa kesadaran dirilah yang memungkinkan kita menetapkan batasan antara diri dan orang lain. Selain itu, kesadaran diri juga merupakan suatu bentuk pengenalan kita terhadap diri sendiri, baik itu perasaan, peran, maupun ingatan.
Peningkatan kesadaran diri akan menjadi hal yang tak menyenangkan bagi kebanyakan orang dan menimbulkan rasa malu. Maka tak heran jika orang yang pemalu biasanya akan lebih sadar terhadap tindakan dan kelemahan diri sendiri. Mereka selalu yakin tingkah lakunya sungguh-sungguh diperhatikan oleh orang lain.
Kesadaran diri memang bisa membuat kita bertindak lebih etis. Namun, di sisi lain, ada kemungkinan seseorang akan mengalami fobia sosial, yakni ketakutan untuk dikritik dan diperhatikan secara berlebihan.
Situasi ini bisa menghadirkan ketakutan dan kecemasan. Jika tak segera diatasi, rasa cemas ini bisa membuat mereka 'demam panggung' ketika berada di antara banyak orang. Kasarnya, untuk memperkenalkan diri saja mereka tak mampu.
Pelajarannya, jangan gede rasa (GR). Dunia tak selalu peduli dengan apa yang kau lakukan.
Editor: Windu Jusuf