Menuju konten utama

Lupa Lirik Rossa, Mengapa Gugup Bikin Lupa?

Kadang otak bingung merespons ancaman sehingga membuat tubuh berada dalam kondisi "fight or flight".

Lupa Lirik Rossa, Mengapa Gugup Bikin Lupa?
Ilustrasi pria gugup. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Debat calon presiden ke-4 telah usai, akan tetapi sisa-sisa ketegangan belum juga reda. Komentar warganet tak hanya menyasar kedua pasangan calon, tapi juga pada Rossa, solois perempuan yang didapuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan “Bagimu Negeri” sebagai pembuka debat. Rossa melakukan kesalahan kecil karena terlalu gugup saat melantunkan lagu kebangsaan Indonesia.

Di awal penampilan, Rossa tampil lantang dan percaya diri dengan suara merdunya. Tapi begitu memasuki lirik ketiga, volume suaranya mendadak turun. Gerak bibir Rossa terlihat beda ketika mengucap lirik “Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku”. Ia tak sadar tengah mengganti kata “jadi” menjadi “bagi”. Meski tersamarkan, kesalahan itu tertangkap kamera yang tengah menyorot penuh dirinya.

Warganet langsung beramai-ramai mengomentari penampilan Rossa. Tak mau masalah itu terus berlarut, penyanyi asli Jawa Barat itu mengunggah klarifikasi di akun Instagramnya. Bagi Rossa, membawakan lagu kebangsaan di rangkaian perhelatan demokrasi merupakan tugas besar dan sebuah kehormatan. Oleh sebab itu, meski mengaku hafal lirik lagu “Indonesia Raya”, rasa gugup membuatnya lupa akan lirik.

“Dengan segala kerendahan hati, saya memohon maaf sebesar-besarnya atas kekhilafan ini,” tulis Rossa dalam keterangan gambar yang ia unggah.

Hilangnya ingatan jangka pendek seperti yang dialami Rossa adalah reaksi yang lazim muncul ketika orang mengalami cemas atau gugup. Laman American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa reaksi ini timbul akibat produksi sekumpulan hormon saat tubuh merespons rasa cemas. Sistem saraf manusia pada dasarnya terbagi menjadi beberapa divisi, yakni divisi pusat yang melibatkan otak dan sumsum tulang belakang serta divisi perifer yang terdiri dari sistem saraf otonom dan somatik.

Pada divisi perifer, sistem saraf otonom (ANS) berperan dalam merespons stres. Ia terbagi lagi menjadi sistem saraf simpatis (SNS) dan sistem saraf parasimpatis (PNS). Ketika mengalami situasi tertekan, SNS membuat respons yang disebut "fight or flight". Dalam kondisi ini tubuh bereaksi seolah sedang mendapat ancaman sehingga berada dalam posisi memerangi sumber ancaman atau melarikan diri.

"Respons SNS cukup mendadak untuk mempersiapkan tubuh merespons situasi darurat atau stres akut, stres jangka pendek," tulis laman tersebut.

SNS kemudian bereaksi dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenalin untuk melepaskan hormon adrenalin (epinefrin) dan kortisol. APA menjelaskan, hormon-hormon ini menyebabkan jantung berdetak lebih cepat, laju respirasi meningkat, pembuluh darah di lengan dan tungkai melebar, proses pencernaan berubah, dan kadar glukosa dalam darah meningkat.

Reaksi tersebut adalah alasan di balik efek suara bergetar/tercekat, telapak tangan berkeringat, sesak napas, detak jantung bertambah cepat, sakit perut, takut, dan hilangnya ingatan jangka pendek saat orang mengalami rasa cemas.

Setelah krisis berakhir, biasanya tubuh akan kembali normal ke keadaan pra-darurat. Pemulihan ini difasilitasi oleh PNS, yang umumnya memiliki efek berlawanan dengan SNS, seperti melebarkan saluran pernapasan, atau melebarkan diameter pembuluh darah sebagai respons rileks.

Kenapa Bisa Lupa?

Peningkatan kewaspadaan bisa menyelamatkan manusia ketika berada dalam ancaman nyata. Namun, ia juga bisa menciptakan masalah ketika memicu orang berbuat kesalahan dan mengganggu aktivitas. Pertanyaannya, bagaimana tubuh memilah ancaman dan respons yang tepat ketika menerima ancaman atau hanya sekadar rasa gugup sesaat?

Dilansir dariGuardian, dalam keadaan normal, amigdala (bagian otak yang berperan dalam pengaturan ingatan dan emosi) berada di bawah kendali korteks prefrontal (bagian otak yang mengevaluasi ancaman terkait stimulus). Jika stimulus tidak mengancam, aktivitas di dalam amigdala ditekan. Jika kondisinya mengancam, respons rasa takut di amigdala tetap dipertahankan. Pada seseorang yang memiliki masalah kecemasan, otak membuat keputusan salah tentang ancaman, sementara korteks prefrontal gagal menekan amigdala dan membuat tubuh masuk ke moda “fight or flight”.

Infografik GUGUP

undefined

Memori yang kita miliki sejatinya sangat rapuh. Ada beragam faktor yang memengaruhi kemampuan mengingat, nutrisi, dan kualitas tidur. Ketika tidur, otak akan menyortir dan menyimpan kenangan dari aktivitas sepanjang hari. Tidur dalam kondisi cemas bisa mengganggu kinerja otak dalam memproses memori.

Daniel Sher, psikolog klinis yang mengabdikan diri untuk berpraktik di kawasan Afrika Selatan mengatakan dalam laman Calm Clinic bahwa hormon kortisol bertanggung jawab atas kondisi ini. Produksi hormon tersebut akan meningkat ketika seseorang mengalami stres dan mengganggu proses perekaman ingatan serta memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Itulah alasan mengapa kita sering lupa dan sakit-sakitan ketika mengalami stres, gugup, atau tertekan.

Riset yang dilakukan para peneliti Universitas Iowa pada 2014 terhadap sejumlah tikus juga menyimpulkan bahwa hormon kortisol berpengaruh pada pelapukan otak, masalah pencernaan, kecemasan, penambahan berat badan, dan tekanan darah tinggi. Mereka membandingkan daya ingat antara tikus tua dan tikus muda yang ditempatkan di labirin.

Hasilnya, hanya 58 persen dari kelompok tikus tua dengan kadar kortisol tinggi yang bisa memilih jalan pulang yang benar. Saat dibedah, tikus-tikus itu memiliki sinapsis 20 persen lebih sedikit dibanding kelompok lain. Sinapsis adalah konektor untuk memproses, menyimpan, dan mengingat informasi yang terletak di korteks prefrontal, daerah otak yang menyimpan ingatan jangka pendek.

“Dalam jangka pendek, ia meningkatkan kewaspadaan kita, tapi jangka panjangnya, ia membuat kita pikun,” tulis penelitian tersebut.

Baca juga artikel terkait STRES atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf