tirto.id - Waktu menunjukkan pukul 22.00. Ketika itu, sebuah kantor media masih dipadati karyawannya yang lembur untuk memantau acara debat Pilkada DKI Jakarta. Sembari mereka bekerja, kotak-kotak makanan didistribusikan. Tak ada keanehan yang tampak pada diri karyawan-karyawan di sana, kecuali satu orang yang dengan cemas memperhatikan rekan-rekannya yang mulai membuka kotak makanan tadi.
“Kenapa itu si Sofyan?” celetuk salah satu karyawan kepada teman sebelahnya yang lebih dulu bergabung di perusahaan itu. “Oh, dia fobia pisang.”
Si karyawan penanya masih terheran-heran dengan jawaban temannya saat atasan mereka berkata kepada Sofyan, tak jauh dari mereka berdua, “Udah, Sof. Udah dikumpulin, kok, pisangnya. Udah enggak ada lagi.”
Kali lain, karyawan lain sedang memasak di dapur kantor. Tak sampai sepuluh detik setelah Sofyan menanyainya sedang masak apa, ia kembali ke ruangan dan tak mau menjamah dapur sampai karyawan itu kelar memasak.
“Kenapa lu?” begitu Sofyan ditanyai karyawan yang seruangan dengannya. Ekspresi Sofyan memang mendadak kecut setelah datang dari dapur.
“Enggak apa-apa… Ada yang lagi goreng pisang aja di dapur.”
Fobia pisang Sofyan berawal sejak masa kanak-kanak. Dulu, ia sering diajak ikut kerja ayahnya yang seorang supplier buah. Pasar induk adalah lokasi yang sering mereka datangi. Suatu kali ketika berada di sana, Sofyan kecil berlari-lari hingga terjatuh tepat di atas tumpukan pisang busuk. Sejak saat itu, gambaran pisang di benaknya berubah menakutkan. Bisa-bisa, ia mendadak mual, muntah, atau menangis saat orang menyodorinya pisang.
Lain Sofyan, lain Aulia. Sejak kecil, laki-laki ini memang tidak suka pada hal-hal yang berhubungan dengan rambut semacam sisir, bando, ikat rambut, atau jepit rambut. Namun, dari semua itu, ia paling benci sisir. Untuk merapikan rambut saja, Aulia sering harus dipaksa keluarganya lebih dulu.
“Saya merasa sisir itu kotor, sih,” demikian alasan Aulia.
Jangan bayangkan rambut laki-laki ini tumbuh panjang dan berantakan. Rambutnya tak terlihat lebih panjang dari batas tengkuk, pertanda ia memangkasnya secara reguler. Lantas, bagaimana Aulia menghadapi situasi bercukur bila ia sebegitu bencinya pada sisir?
“Dulu, di dekat rumah saya di Medan, memang ada tukang cukur langganan. Sejak kecil sampai kuliah, saya tak bermasalah bercukur dengan tukang langganan saya ini karena dia tahu, saya nggak suka sisir. Jadi, dia pakai ketam setiap mencukur rambut saya. Nah, saat bekerja di Jakarta, saya memilih dicukur oleh teman saya yang memang mengerti saya punya problem dengan sisir.”
Kecemasan, Fobia, dan Ketakutan
Apa yang dialami Sofyan maupun Aulia memang tergolong ‘langka’. Ketakutan berlebihan terhadap suatu obyek yang bisa diterima oleh orang-orang kebanyakan. Dalam psikologi, hal ini dikenal dengan fobia.
Sering kali, ketakutan dan fobia dipadankan. Padahal, kedua hal ini memiliki pengertian berbeda. Ketakutan adalah reaksi alamiah yang muncul ketika seseorang menghadapi situasi bahaya. Umumnya, ketakutan menimbulkan opsi fight (menghadapi kondisi berbahaya) atau flight (kabur dari hal yang ditakuti) yang dapat dipilih seseorang.
Saat seseorang melihat anjing di tengah jalan misalnya, bisa saja dia memilih tetap melangkah dengan tenang meski dalam pikirannya terdapat bayangan akan diserang atau digonggongi si anjing, atau justru memilih lari tunggang langgang. Bisa jadi ketakutan ketika berhadapan dengan anjing dilandasi trauma pernah digigit atau mendengar mitos bahwa setiap anjing itu galak dan suka menyerang. Sebatas ini, ia dikatakan memiliki ketakutan, bukan fobia.
Lain kasusnya bila ketakutan itu berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama, terhadap hal yang irasional, dan kerap hadir tanpa alasan yang jelas. Fobia berpotensi mengganggu aktivitas seseorang dalam keseharian. Contohnya, seseorang mengalami fobia kegelapan lantaran membayangkan akan muncul monster atau sekelebatan bayangan.
Atau seseorang yang fobia darah, tetapi bekerja sebagai jurnalis dan ditugaskan meliput perang atau korban bencana alam. Jika tak bisa mengatasi permasalahan psikologisnya ini, akan banyak hambatan yang harus dihadapinya, terlebih ketika tidak ada siapa pun yang bisa menemani atau mengerti kondisinya.
Baca juga: Mereka yang Takut Menikah
Saat berbelanja di minimarket misalnya, Sofyan acap kali meminta kasir untuk memindahkan pisang yang diletakkan di dekat tempat membayar belanjaan. “Kalau enggak, gue tutup hidung atau alihkan pandangan ke arah lain,” ujarnya. Keengganan Sofyan untuk melihat pisang memang sebegitu besarnya, sampai-sampai ia merasa bisa mencium baunya sekalipun pisang di dekatnya dalam kondisi terbungkus.
Fobia merupakan salah satu bentuk gangguan kecemasan. Apakah kecemasan itu masih bisa ditoleransi atau dikatakan sebagai kelainan bergantung pada norma budaya yang berlaku. Ketakutan berlebihan terhadap ketinggian lebih mungkin ditoleransi dibanding ketakutan berlebihan terhadap pisang, sisir, atau gambar lubang pada tubuh (trypophobia).
Baca juga: Film It dan Kenapa Badut Bisa Jadi Amat Menyeramkan
Dalam DSM V—kitab pegangan pakar psikologi—, fobia disebut-sebut dalam tiga jenis gangguan kecemasan.
Pertama, fobia spesifik, yakni kecemasan berlebihan terhadap obyek atau situasi spesifik. Misalnya ruangan sempit, laba-laba, atau badut.
Berikutnya adalah fobia sosial atau gangguan kecemasan sosial. Hal ini merujuk kepada kecemasan berlebihan terhadap interaksi sosial atau situasi yang memungkinkan seseorang dihakimi orang lain.
Terakhir, agoraphobia, kecemasan berlebihan ketika berada di luar rumah atau di tempat-tempat publik semacam transportasi massa, tempat wisata, atau pusat perbelanjaan. Orang-orang dengan agoraphobia berpikir, saat berada di luar rumah, mereka akan terkena bahaya dan sulit sekali mencari pertolongan.
Lebih lanjut mengenai perbedaan fobia dan ketakutan biasa, fobia dapat menimbulkan gejala-gejala fisik yang terus berulang setiap kali pengidapnya berhadapan dengan hal yang ditakuti. Berkeringat, merinding, gemetar, sakit kepala, jantung berdegup kencang, mual, ingin pingsan, sulit bernapas, mendengar denging di telinga, serta sering ingin ke toilet adalah contoh gejala serangan panik yang dipicu oleh fobia.
“Saya bisa langsung merinding dan geli kalau melihat sisir. Di tengkuk rasanya kayak ditusuk-tusuk,” aku Aulia saat ditanya reaksi ketika fobianya muncul.
Perundungan dan Fobia
Semakin aneh fobia, semakin mungkin seseorang yang mengidapnya dianggap mengada-ada. Bahkan tidak jarang, orang sekitarnya malah menggoda dan menjejalinya dengan hal yang ia takuti. Pernah suatu kali, tangan Aulia dipegangi oleh temannya yang memang tahu ia fobia, lantas ia disisir paksa. Ia sampai merasa sakit kepala berat dan muntah-muntah setelahnya.
Keadaan serupa juga sempat dialami Sofyan. “Pas gue ulang tahun, salah satu teman bilang mau kasih kejutan. Gue disuruh buka bagasi mobilnya. Saat gue buka, isinya setandan pisang. Setelah itu, gue langsung nangis jerit-jerit,” kenangnya.
Bukan hanya itu. Masih ada teman kantor Sofyan yang suka menggodanya. “Kayak pas buka nasi kotak, dia bilang, ‘Awas, Sof, ada pisangnya lho, di dalem.’ Gue jadi takut duluan, kan. Padahal, enggak ada pisang di dalam kotak makanannya'.”
Meskipun fobia bisa memicu serangan panik, tidak banyak yang menyadari hal ini. Pengabaian terhadap fakta tersebut menyebabkan sebagian orang menormalisasi candaan terhadap pengidap fobia. Alih-alih membuat mereka tak fobia lagi, orang-orang ini justru memperparah gangguan kecemasan yang dialami para pengidap.
Perundungan tak mesti dilakukan langsung secara fisik atau lewat kata-kata kasar. Lewat kesengajaan menyerang kelemahan pengidap fobia pun, seseorang bisa dikatakan merundung. Terlebih jika tujuannya ialah menertawakan atau mempermalukan di depan umum.
Perundungan tak melulu mengekori fobia yang diidap seseorang. Ada kalanya ia malah menjadi sumber dari fobia.
Memang benar, menurut sejumlah psikolog, faktor genetis memberi sumbangsih terhadap fobia yang seseorang miliki. Begitu pula dengan reaksi kimia yang terjadi di otak sehingga seseorang tak merespons hal yang ditakutinya sebagaimana mayoritas orang.
Namun yang patut dicatat, fobia juga bisa terjadi karena adanya kombinasi faktor biologis dan lingkungan sekitar. Pengalaman negatif pada masa lampau bisa membuat orang benci setengah mati terhadap sesuatu, bahkan menunjukkan gejala perubahan fisik mendadak.
Pengalaman Sofyan yang tergolong trauma adalah salah satu contohnya. Atau, yang terkait dengan perundungan, perolokan di sekolah yang kerap dialami anak-anak bisa membuat mereka menolak ke sekolah, bahkan sampai ke titik school phobia.
Baca juga: Presiden Bicara Soal Perundungan di Hari Anak Nasional
Perundungan yang dialami pengidap fobia sekolah tidak hanya bisa datang dari sekolah seperti dari teman sepergaulan atau guru yang mengeluarkan kata-kata pedas. Di rumah, seseorang pun bisa mengalami perundungan yang membuatnya malas belajar, nilai akademis turun, dipandang rendah oleh guru dan kawan-kawan, sehingga keengganan datang ke sekolah pun merangkak naik.
Mereka yang mengalami fobia sekolah bukan sekadar malas. Gejala-gejala sangat mengganggu bisa muncul bila mereka tetap dipaksa ke sekolah: sakit perut, sakit kepala, mual, tantrum, berteriak-teriak tanpa alasan jelas, atau menendang-nendang. Untuk menghindari munculnya gejala seperti ini, mereka lebih memilih mengurung diri di kamar atau bepergian ke tempat lain asalkan bukan sekolah.
Sebagai salah satu bagian dari gangguan kecemasan, fobia sebenarnya bukanlah hal yang lucu untuk dijadikan candaan. Konsekuensi tak sepele mesti dihadapi si pengidap, tetapi sayangnya, tidak selalu orang sekitar memahami masalah psikologis yang dia alami.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani