Menuju konten utama
Edusains

Skinhead, Wujud Subkultur Kelas Buruh Fasis Sekaligus Antifasis

Skinhead lahir sebagai jelmaan perlawanan. Namun seiring waktu, mereka tak lagi didominasi satu poros. Ada yang antifasis, dan tak sedikit pula yang fasis.

Skinhead, Wujud Subkultur Kelas Buruh Fasis Sekaligus Antifasis
HEADER MOZAIK Skinhead, Pencarian Akar identitas Subkultur Kelas Pekerja. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Cukur gundul, sepatu bot, celana jin, baju hem kotak-kotak lengan pendek, dan jaket pilot. Secara berkelompok mereka biasanya muncul di gig-gig atau acara musik "bawah tanah", bar, dan tempat nongkrong lainnya. Begitulah kiranya gambaran sekilas skinhead, subkultur anak-anak muda yang lahir dari kelas pekerja.

Sebagai bagian dari subkultur urban, skinhead mempunyai karakter kuat, maskulin, keras, dan solidaritas kelompok yang tinggi. Hal itu dibentuk dari lingkungan dan keseharian mereka sebagai pekerja kasar, mulai dari montir di bengkel, pelabuhan, buruh pabrik, hingga kuli bangunan. Menjadi skinhead adalah bagian dari ungkapan rasa bangga mereka terhadap status dan identitas sosialnya, yaitu kelas pekerja.

Selain kebanggaan status sosial, para skinhead juga bangga dengan ras, bangsa, dan warna kulitnya. Karena lahir di Inggris, komunitas tersebut bangga dengan segala sesuatu tentang ciri khas Inggris. Hal itulah yang membuatnya mudah diidentikkan dengan kelompok rasis, fasis, dan sayap kanan. Suatu anggapan yang tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah.

Kondisi itu juga membuat mereka terpecah-pecah, saling curiga, dan bermusuhan antara satu dan lainnya. Ada yang teguh dengan perasaan chauvinistik-nya; ada yang hanya mengambilnya sebagai subkultur anak muda untuk bersenang-senang dan mengekspresikan diri, tanpa peduli akar ideologinya; ada juga yang berkomitmen membersihkan skinhead dari unsur rasisme, baik secara simbolik ataupun dengan kekerasan.

Masing-masing kelompok skinhead memunculkan pernyataan sikap dalam simbol-simbol, emblem, poster, lirik musik, dan gerakan kolektif. Tak jarang terjadi gesekan konfrontatif di jalanan, bar, atau panggung-panggung musik. Masing-masing saling mengklaimnya sebagai versi skinhead yang terbaik. Kekerasan sudah terlanjur menjadi salah satu ciri khas mereka yang dikenal secara umum.

Terlepas dari segala kontroversinya, seperti subkultur "bawah tanah" lainnya, skinhead terus berkembang dan menyebar ke berbagai negara. Mereka berkembang menjadi varian-varian skinhead yang tidak melulu sama dengan pendahulunya di Inggris.

Akar Kultus Skinhead

Walaupun identik dengan supremasi kulit putih, kemunculan skinhead sebenarnya dipengaruhi oleh kultur imigran kulit hitam.

Setelah Perang Dunia II, Inggris menjadi tujuan para imigran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di sana. Mereka datang dalam beberapa gelombang hingga akhir '60-an.

Dalam jurnalnya berjudul ‘You can’t be two place at once’: Rethinking transnationalism through Jamaican returning migration" (2007), Heather A. Horse menjelaskan bahwa pada periode 1955-1968, setidaknya tercatat 191.300 imigran dari Jamaika dan Karibia berdatangan ke tanah Inggris Raya. Gelombang besar itu dinamakan “The Windrush Generation”.

Ratusan ribu pekerja kulit hitam—sebagian besar anak-anak muda—membawa serta kultur yang sudah berkembang dari negara asalnya, seperti ska, rocksteady, dan rege. Mereka membawa semangat rastafari, kebanggaan sebagai keturunan ras kulit hitam yang diwariskan nenek moyang mereka dari Afrika. Subkultur itu kemudian menjadi warna baru skena anak muda di Inggris.

Para pekerja kulit hitam sering membuat gig musik dan menjadikannya tempat berkumpul, bernyanyi, dan menikmati waktu luang bersama. Mereka menggunakan acara musik itu sebagai perayaan identitas sebagai kelas pekerja kulit hitam.

Skena musik itu tak hanya menarik perhatian pemuda kulit hitam, melainkan juga kelas pekerja kulit putih. Mereka turut membaur dan menikmati musiknya. Melalui itulah akhirnya nilai-nilai Afrikanisme perlahan memengaruhi mereka. Terjadilah pembauran nilai dan memunculkan subkultur yang sama sekali baru. Dua di antaranya adalah punk dan skinhead.

Dick Hebdige, dalam bukunya berjudul Subculture: The meaning of style (1979), menerangkan bahwa punk mengambil inspirasi dari rege, terutama tentang kesan sangar dari rambut gimbal dan pakaian proletar yang ditampilkan dengan penuh gaya dan kebanggaan. Skinhead juga mengambil kebanggaan rasialnya dari rege, tetapi membaliknya. Jika rastafari bangga dengan kulit hitam Afrikanya, skinhead bangga dengan kulit putih British-nya.

Ilustrasi Skinhead

Ilustrasi Skinhead. foto/istockphoto

Selain Jamaika dan Karibia, Inggris juga dibanjiri imigran dari Pakistan. Menurut Laraib Niaz & Sidla Nasir dalam artikel "The Pakistani diaspora in UK: Evolution, integration and challenges" (2018), jumlah imigran dari negara Asia Selatan itu melonjak drastis dalam kurun 10 tahun, dari awalnya hanya 5.000 pada 1951 menjadi 24.900 pada 1961.

Gelombang masuknya imigran kali ini melahirkan gerakan baru sebab warga lokal mulai khawatir mengenai risiko menyempitnya lapangan pekerjaan. Hal itulah yang memantik kemunculan kekerasan rasial yang ditujukan pada imigran Pakistan. Aksi penganiayaan yang terjadi di jalanan itu biasa dikenal dengan sebutan "Paki-Bashing". Beberapa kelompok skinhead menjadi salah satu yang terlibat dalam peristiwa kekerasan itu.

Rasisme para skinhead diamini oleh beberapa anggota kelompok itu sendiri. Dalam buku Skinhead Nation (1996), George Marshall menuliskan pernyataan dari salah satu anggota Skinhead Tilbury Trojan Skins, kelompok skinhead terkeras di Inggris yang identik dengan tampilan rambut dicukur tipis, baju Ben Sherman rapi, celana white sta press, dan sepatu bot mengilap.

Salah seorang mantan anggotanya mengungkapkan bahwa kelompok Tilbury Trojan Skins akan menghajar siapa pun yang menghalangi jalannya, termasuk orang-orang Pakistan dan kulit hitam. Mereka juga sering berkontak fisik dengan suporter sepak bola, pelaut asing, Teddy Boys, punk, penghirup lem, kelompok mahasiswa, mods, komunitas queer, dan kelompok-kelompok dari kota lain. Karena reputasinya, Tilbury seperti menjadi episentrum skinhead dari seluruh Inggris.

Tipikal skinhead yang keras dan bangga dengan negara asalnya membuat beberapa dari mereka mudah ditarik oleh gerakan politik sayap kanan, seperti National Front (NF) & British Movement (BM).

NF menarik minat dan simpatisan anak-anak muda dengan membuat konser-konser musik. Salah satu yang terkenal dan besar adalah konser Rock Against Communism (RAC) yang digelar pada 1978, 1979 dan 1983. Beberapa band yang pernah mengisi di sana yakni The Dentists, The Ventz, No Remorse, Skullhead, dan Landse, White Boss, dan yang paling terkenal, Skrewdriver. Konser itu sekaligus menjadi jejaring "bawah tanah" kelompok muda fasis serta tempat menjual rekaman musik dan pernak-pernik subkultur lainnya.

Persebaran Skinhead di dunia

Dekade '80-an dikenal sebagai era kebangkitan kedua skinhead. Pada era ini skinhead sudah menyebar ke berbagai belahan dunia, terutama yang terbesar ke Amerika Serikat.

Skinhead muncul pertama kali di New York pada sekitar awal '80-an, ketika musik punk di sana perlahan berubah menjadi hardcore. New York, yang sudah mempunyai tradisi gangster sejak lama, menjadi tanah subur bagi benih-benih skinhead yang dekat dengan kultur kekerasan jalanan.

Para skinhead di New York awalnya mendengarkan musik-musik dari The Cro-Mags, Murphy’s Law, dan Agnostic Front, yang turut menyebarkan pengaruh subkultur tersebut. Namun seiring waktu mereka pada akhirnya mengadaptasi musik punk menjadi Oi! dan melahirkan band-band baru, seperti The Templars, Oxblood, dan Battle Cry. Para skinhead di salah satu negara bagian AS yang paling ramai itu menyebut dirinya sebagai The Lower East Side Skins atau Lower East Side Crew.

Satu lagi kelompok skinhead yang terkenal adalah White Aryan Resistance (WAR) yang berpusat di Kota Arkansas. Tokoh penggeraknya yang paling berpengaruh adalah seorang neo-Nazi, Tom Metzger. Pada era '80-an ia menjadi figur panutan skinhead fasis, berperan menyebarkan pesan-pesan rasisnya melalui televisi kabel dan konser musik, serta merekrut para pemuda ke dalam white-power movement.

Ilustrasi Skinhead

Ilustrasi Skin Head. wikimedia/Gillfoto

Skinhead juga berkembang cukup pesat di Jerman. Tipikal kelompok skinhead yang muncul biasanya kental dengan chauvinisme. Hal itu sangat beririsan dengan masa lalu Jerman sebagai penganut fasisme.

Kemunculan skinhead di Jerman juga dikait-kaitkan dengan kebangkitan fasisme yang diusung oleh neo-Nazi. Menurut Jeff Hayton dalam artikelnya yang terbit di jurnal European History Quarterly (2015), kelompok skinhead sering muncul di acara konser "bawah tanah" band-band punk di Jerman Timur. Mereka biasanya datang berkelompok dan meneriakkan slogan-slogan fasis dan rasis seperti “Sieg Heil!”, “Heil Hitler!”, dan “Babi komunis, babi Yahudi!” di tengah konser.

Munculnya Gerakan Skinhead Antirasis

Makin lekatnya skinhead dengan sayap kanan, fasisme, dan rasisme, membuat beberapa kelompok lain dalam "wadah" yang sama menjadi gerah. Mereka menganggap skinhead sejati tidaklah rasis, terutama setelah mengingat kembali awal kemunculannya dari skena musik ska, rocksteady dan rege, yang notabene lahir dari komunitas kulit hitam.

Generasi awal skinhead adalah mereka yang bisa membaur dengan semua ras dan tidak mempunyai prasangka terhadap kelompok lainnya. Mereka ingin mengembalikan skinhead ke kultur tradisionalnya yang lahir di akhir '60-an.

Atas dasar itulah beberapa kelompok-kelompok skinhead dari berbagai belahan dunia, yang punya pandangan sama yaitu antifasis dan antirasis, menghimpun kekuatan poros baru. Tujuannya adalah "membersihkan" skinhead dari unsur fasisme, rasisme, dan prasangka terhadap kelompok lain. Pada 1986 di Kota New York, SHARP (Skinhead Anti Racist and Prejudice) lahir.

Ciri khas SHARP tidak jauh berbeda dari skinhead pada umumnya, yaitu mencukur habis rambutnya, sepatu bot Doc Martens, celana jin, dan jaket penerbang. Bedanya, mereka menambahkan logo SHARP pada pakaiannya, bahkan ada yang ditato di kulit. Logo itu merupakan simbol spirit antirasis yang dijunjung tinggi oleh semua anggota.

Robert T. Wood, dalam artikelnya berjudul "The indigenous, nonracist origins of the American skinhead subculture" (1999), menerangkan bahwa SHARP muncul untuk menghancurkan mitos bahwa skinhead adalah rasis. Di sebuah selebaran yang dicetak SHARP tercantum beberapa slogan. Salah satunya berbunyi: “Skinhead sejati tidak berafiliasi dengan fasisme atau organisasi fasis. Jangan percaya gembar-gembor media!!!”.

SHARP dikenal cukup militan memerangi skinhead rasis. Mereka sering berkeliling kota, menghapus lambang-lambang swastika yang digambar oleh simpatisan fasis, mengedukasi masyarakat tentang skinhead antirasis, bahkan tak segan menghajar skinhead rasis yang ditemui di jalanan. Tak hanya sampai di situ, bersama kelompok anti rasis lainnya, mereka juga sering berkonfrontasi menghalau pawai-pawai simpatisan politik sayap kanan.

Skinheads Against Racial Prejudice

Skinheads Against Racial Prejudice. FOTO/wikipedia

Gerakan SHARP yang sangat solid dan militan membuatnya disegani oleh komunitas subkultur lainnya. Musik juga menjadi alat menyebarkan nilai-nilai keyakinan mereka. Beberapa band yang menyuarakan pesan-pesan SHARP antara lain The Oppressed, The Press, dan The Bois. Kini, SHARP menyebar ke berbagai belahan dunia, mulai dari Inggris, Jerman, Brasil, Argentina, Ceko, hingga beberapa negara di Amerika Latin.

Pada 1 Januari 1993, gerakan lain lahir. Mereka menyebut diri RASH (Red and Anarchist Skinhead). Kelompok ini muncul sebagai respons atas banyaknya skinhead yang mengaku antifasis dan antirasis, tetapi masih homofobia, seksis, dan pro-imperialis. Mereka ingin merombak skena skinhead menjadi lebih inklusif dan berkomitmen pada perjuangan masyarakat tertindas melawan kapitalisme dan neokolonialisme. Mereka dengan tegas menyatakan sikap konfrontatifnya dengan skinhead sayap kanan yang rasis, fasis, dan chauvinistik.

Kemunculan RASH, SHARP, dan beberapa kelompok inklusif lainnya, bukan berarti perjuangan membersihkan skinhead dari kotoran rasisme sudah usai. Bangkitnya ultra-nasionalisme di era digital memberi angin segar bagi skinhead berhaluan kanan untuk kembali melebarkan sayapnya setelah beberapa tahun sebelumnya terdesak. Maka itu, perjuangan skinhead antifasis akan makin berat dan terjal.

Baca juga artikel terkait SUBKULTUR atau tulisan lainnya dari Kukuh Basuki Rahmat

tirto.id - Edusains
Kontributor: Kukuh Basuki Rahmat
Penulis: Kukuh Basuki Rahmat
Editor: Fadli Nasrudin