Menuju konten utama

Sejarah Punk Klinik dan Kontroversi Yang Menyertainya

Walk Together Rock Together, Ngeblender Jadi Satu, Bandung’s Burning!, Brain BeveragesInjak Balik! adalah beberapa kompilasi punk Indonesia 1990-an.

Sejarah Punk Klinik dan Kontroversi Yang Menyertainya
Punk Klinik. foto/Rotor Corp.

tirto.id - Ada semacam progress dari komunitas punk di Tanah Air pada pertengahan dekade 1990, dari yang sekadar band cover, jadi mulai membawakan lagu sendiri. Namun tingginya biaya recording, membuat tak banyak band punk rock lokal yang sempat merekam karyanya dalam wujud album. Untuk mengakalinya, dibuatlah format album kompilasi.

Walk Together Rock Together, Ngeblender Jadi Satu, Bandung’s Burning!, Brain Beverages, Still One Still Proud, Injak Balik!, adalah sederet kompilasi yang mewarnai skena punk di Tanah Air pada paruh kedua dekade 1990.

Kompilasi-kompilasi tadi digarap dengan semangat Do It Yourself (DIY) yang menyala. Namun sayang kuantitas produksinya terbatas, dan lebih banyak dijual dari tangan ke tangan, atau saat gig berlangsung. Maklum keberadaan merchandise shop ─sebutan distro belum populer─ waktu itu masih bisa dihitung dengan jari.

Lalu pada tahun 2000, hadirlah kompilasi Punk Klinik (Rotor Corp). Kompilasi ini memuat 13 lagu dari band punk rock Ibu Kota, dan sekitarnya. Tidak seperti kompilasi-kompilasi yang disebut di atas, kaset Punk Klinik terdistribusi secara nasional.

Secara konten sebetulnya tidak ada yang salah dari kompilasi ini, semua band memainkan punk rock dan genre turunannya. Hanya saja kompilasi ini dirilis saat prinsip DIY tengah bergaung kencang di komunitas. Alhasil band-band yang terlibat di dalamnya mendapat respons negatif. Cap sebagai “band komersil” ─istilah sell out belum jamak dipakai─ pun tak terelakkan. Meski tidak secara ekplisit, namun penolakan itu cukup dirasakan oleh Carol (Klinik Jiwa), Onye (Hellcops), dan Ichank (Random).

“Klinik Jiwa sendiri pernah mendapat respons miring. Bagi Klinik Jiwa itu suatu masukan yang positif tapi kami tetap jalan dengan cara kami sendiri," ujar Carol.

“Sebetulnya gue udah tau resikonya (terlibat di Punk Klinik) dan gue bisa merasakan betapa besar gap (kubu-kubuan) saat itu. Tapi cukup gue maklumi namanya juga kita masih pada muda," timpal Onye.

Situasi ini membuat komunitas punk Ibu Kota seolah terbagi. Untuk meredam gejolak, pihak label akhirnya meniadakan mediaexposure terkait Punk Klinik. Hal itu diungkapkan Anasthasia, istri mendiang Khrisna J Sandrach, yang banyak terlibat dalam proyek Rotor Corp.

Tapi apa benar Punk Klinik sell out?

Menurut Henry Rollin (Black Flag) definisi sell out adalah "... when you make the record you're told to make, instead of the one you want to make."

Senada dengan itu, Fat Mike (NOFX) mengungkapkan “I would say that selling out is when you think you know what's popular and you change your band's sound to fit that.

Bila merujuk dua pernyataan ikon punk dunia tersebut, maka Punk Klinik jelas tidak sell out. Karena dari aspek sound, lagu-lagu yang mereka bawakan punk rock totok.

Adapun yang melatarbelakangi band-band itu, terlibat dalam penggarapan Punk Klinik, bisa kita telaah dalam empat faktor berikut: Pertamadari aspek finansial. Tidak semua band saat itu mampu untuk rekaman. Kedua minimnya pengalaman recording atau pengetahuan terkait pra dan paska produksi album. Ketigakeinginan untuk berprogres, dalam bermusik. Keempatindie label pada saat itu, belum terkelola secara profesional. Jangkauan distribusinya amat terbatas, pemasarannya tidak maksimal, aspek permodalannya kurang kokoh, dan belum berbadan hukum. Keempat faktor ini pula yang menjadi alasan mengapa pada 1999, sebagian band ska lokal terjun ke industri musik arus utama.

Lantas mengapa ada persepsi, kalau Punk Klinik sell out?

Itu dikarenakan lemahnya pemahaman komunitas terhadap konteks sell out itu sendiri. Sehingga mereka-mereka yang berlabuh atau sekadar “bersinggungan” dengan label besar, secara gamblang dicap komersil atau sell out. Kekhawatiran komunitas sebetulnya cukup beralasan, mereka tidak ingin punk dieksploitasi. Di mata mereka korporasi besar hanya akan mendikte dan mengambil keuntungan belaka.

Padahal jelas, Rotor Corp adalah label indie, yang didirikan Irvan Sembiring (alm) dan dijalankan Khrisna J Sandrach (alm). Bedanya dengan indie label lainnya, mungkin Rotor Corp lebih unggul secara koneksi, finansial, maupun pengalaman.

Bicara mengenai indie label lokal saat itu, selain perkara profesionalisme, legalitas, dan permodalan. Ada dua elemen lain yang juga kurang terpikirkan oleh penggiatnya, yakni: music publishing dan music distributor. Sementara Rotor Corp sudah concern mengenai hal tersebut, terutama aspek distribusi.

Itulah mengapa Rotor Corp tak segan menggandeng Musica Studio’s, yang berperan sebagai distributor untuk rilisan-rilisan mereka.

Ini sama saja seperti dulu kita beli kompilasi Punk-O-Rama (Epitaph, 1994) di toko-toko kaset. Padahal Epitaph adalah label indie dari Los Angeles, Amerika Serikat, kok bisa kasetnya beredar di sini? Jawabnya ada pada peran music distributor tadi. Dan ini yang dulu kurang dipahami komunitas.

Jadi jelas yang dilakukan Epitaph sama dengan yang dilakukan Rotor Corp. Dasar pemikirannya bertolak pada bagaimana karya-karya tersebut bisa tersebar luaskan, atau menjangkau khalayak ramai. Bedanya Punk Klinik tidak terdistribusi ke mancanegara saja.

Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Rotor Corp menggarap Punk Klinik? Padahal musik yang lagi booming pada tahun 2000 adalah hip metal, “melodic” ala Blink-182, dan post-grunge macam: Creed, Vertical Horizon, atau Lifehouse.

Menurut Anasthasia, konsep general album produksi Rotor Corp adalah musik bawah tanah (underground). Jadi musik apa pun di bawah tanah pasti kita angkat tidak terpatok pada tren.

"Di sisi lain, almarhum Khrisna memang suka musik punk. Banyak lagu-lagu Sucker Head yang musik dasarnya adalah punk. Contohnya lagu ‘Perang’ dari album 10th Agresi," tutur Anasthasia.

Namun diakui Anasthasia: dari segi penjualan Punk Klinik tak begitu bagus, sehingga tidak dibuatkan sekuelnya seperti seri kompilasi Klinik lainnya.

Terlepas dari segala sangkaan sell out dan tetek bengeknya, kita patut mengapresiasi Rotor Corp yang berupaya mendongkrak segmen musik underground lokal ke permukaan.

Di samping itu Punk Klinik tak ubahnya bagai katalisator penyebaran punk ke berbagai penjuru Tanah Air. Hal itu diakui oleh Matay (Ejakula La Vampira, Jakarta), Buux (Turtles JR, Bandung), dan Jayak (Criminal Asshole, Bali).

Selain Punk Klinik, kompilasi dengan muatan band punk lokal lainnya yang juga masuk toko kaset adalah: New Generation Calling (Spill Records, 2003), Sepanjang Hari: Kompilasi Band Melodic Punk Indonesia (Krossover Records, 2004), dan Berpacu Dalam Melodic (Proton Records, 2005). Bedanya band-band dalam kompilasi ini, secara musikal condong ke punk Amerika.

Pada akhirnya kita harus memahami bahwa sell out atau tidak dulunya hanya soal treatment yang tidak bisa kita dapati lewat jalur DIY. Kalau pun ada motif ekonomi di balik itu, harusnya ini sah-sah saja. Sebab tujuan serta metode survive tiap orang berbeda.

Di era kiwari, makna sell out malah makin memudar, seiring perubahan lanskapmedia yang secara tak langsung mengikis batasan antara major label dan indie label. Di sisi lain pemahaman komunitas juga jauh lebih matang, daripada 22 tahun lalu saat Punk Klinik hadir.

Baca juga artikel terkait PUNK atau tulisan lainnya dari Nor Rahman Saputra

tirto.id - Musik
Penulis: Nor Rahman Saputra
Editor: Nuran Wibisono