Menuju konten utama

Setara: Jemaat Ahmadiyah Sintang Korban Pelanggaran Berkeyakinan

Dalam persoalan Ahmadiyah di Sintang, Setara Institute menilai pemerintah daerah lebih tunduk pada tuntutan kelompok intoleran ketimbang konstitusi.

Setara: Jemaat Ahmadiyah Sintang Korban Pelanggaran Berkeyakinan
Masjid Miftahul Huda sebelum perusakan terjadi. (FOTO/Dok. Nasir Ahmad)

tirto.id - Pemerintah Kabupaten Sintang membongkar kubah Masjid Miftahul Huda yang didirikan oleh Jemaat Ahmadiyah pada Sabtu 29 Januari 2022. Rumah ibadah itu pernah diserang, dirusak, dan sebagian bangunan di kompleks masjid dibakar oleh kelompok yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Bersatu, pada September 2021 lalu.

“Dengan fakta tersebut, jelas bahwa Jemaat Ahmadiyah Sintang adalah korban tindak pidana dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan,” kata Ketua BP Setara Institute Hendardi, dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/1/2022).

Menurut Hendardi, sejak awal, paling tidak sejak April 2021, diskriminasi terhadap jemaat Ahmadiyah Sintang terus terjadi. Ujaran kebencian dalam bentuk spanduk-spanduk dibiarkan, dan penghakiman keyakinan saksi dari Ahmadiyah dalam persidangan terjadi.

Bermacam kebijakan dari gubernur, bupati, Satpol PP, Polres, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, hingga Ombudsman RI Kalimantan Barat, dalam aneka bentuk, mulai dari Keputusan Bersama tentang Pelarangan, Instruksi Penyegelan, Instruksi Pemantauan, Surat Peringatan Pembongkaran, Perintah Alih Fungsi, hingga Surat Tugas Pembongkaran dan alih fungsi, pun diterbitkan.

Pun sebenarnya ada upaya pemerintah pusat untuk menunjukkan sikap merawat kebhinekaan di sana dan mencegah diskriminasi lanjutan terhadap komunitas muslim Ahmadiyah.

“Lima lembaga HAM negara (Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, KPAI, dan LPSK) sudah mengeluarkan sikap bersama merespons kejadian yang menimpa JAI Sintang. Menkopolhukam, Menag, dan Komisi III DPR RI mengutuk kekerasan atas Ahmadiyah,” jelas Hendardi.

Berdasar informasi yang diterima Setara Institute, Mabes Polri, Kantor Staf Presiden, Kemenag, Kemendagri, dan beberapa kementerian/lembaga pemerintah lainnya sudah menempuh aneka komunikasi dengan pemerintah setempat, bahkan terjun langsung ke Sintang.

Belum lagi cara yang ditempuh organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti NU dan Muhammadiyah, organ masyarakat sipil, dan tokoh masyarakat.

“Semua itu tidak dapat mencegah Pemerintah Kabupaten Sintang dan Kalimantan Barat untuk tidak melanggar kebebasan beragama sebagai hak konstitusional warga Ahmadiyah. Pemerintah daerah setempat memilih tunduk pada tuntutan kelompok intoleran. Pancasila kalah. Bhinneka Tunggal Ika tak dipedulikan. Konstitusi, terutama Pasal 28E dan Pasal 29 Ayat (2) diabaikan,” terang Hendardi.

Masjid Miftahul Huda nyaris ambruk lantaran perusakan yang dilakukan Aliansi Umat Islam Sintang pada 3 September 2021. Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan berjumlah 78 orang. Mayoritas mereka menggantungkan hidup dengan berdagang dan menjadi petani karet. Sejak kejadian perusakan itu, perekonomian mereka terganggu.

Mereka hidup dengan mengandalkan bantuan dari sesama jemaat dan pihak lain, semisal kepolisian yang memberikan kebutuhan bahan pokok. Sebenarnya kehidupan Jemaat Ahmadiyah di Desa balai Harapan berjalan tenteram. Di luar peribadatan, mereka membaur dengan masyarakat non-Ahmadiyah. Bahkan saat perusakan itu terjadi, beberapa jemaah termasuk istri dan empat anak Nasir mengungsi ke rumah warga non-Ahmadiyah.

Baca juga artikel terkait AHMADIYAH DI SINTANG atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto