tirto.id - Satpol PP Kabupaten Sintang mengepung Masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak pada Sabtu 29 Januari 2022. Kedatangan aparat diduga untuk membongkar rumah ibadah milik komunitas muslim Ahmadiyah tersebut.
Pembongkaran masjid ini merupakan tindak lanjut kebijakan Gubernur Kalimantan Barat dan Bupati Sintang yang telah menerbitkan Surat Peringatan (SP3) dan surat tugas pembongkaran masjid yang menunjuk Kasatpol PP sebagai pelaksana.
Pemerintah setempat menganggap masjid tersebut sebagai bangunan tanpa izin yang difungsikan sebagai tempat ibadah dan mengabaikan fakta bahwa telah ada tanda tangan persetujuan warga yang membuktikan anggota komunitas Muslim Ahmadiyah diterima baik oleh warga sekitar. Pemerintah setempat juga mengabaikan fakta bahwa masjid Miftahul Huda telah ada sejak 2007.
"Berbagai kebijakan dan upaya pembongkaran masjid komunitas muslim Ahmadiyah oleh Gubernur Kalimantan Barat dan Bupati Sintang telah bertentangan dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945," kata Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/1/2022).
YLBHI menuntut Bupati Sintang untuk menghentikan pembongkaran paksa Masjid Miftahul Huda. Mereka juga menuntut kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri untuk menegur keras dan memberikan sanksi kepada dua pejabat daerah itu, dan memerintahkan Bupati Sintang dan Gubernur Kalimantan Barat untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran konstitusi.
Masjid Miftahul Huda nyaris ambruk lantaran perusakan yang dilakukan Aliansi Umat Islam Sintang pada 3 September 2021.
Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan berjumlah 78 orang. Mayoritas mereka menggantungkan hidup dengan berdagang dan menjadi petani karet. Sejak kejadian perusakan itu, perekonomian mereka terganggu.
Mereka hidup dengan mengandalkan bantuan dari sesama jemaah dan pihak lain, semisal kepolisian yang memberikan kebutuhan bahan pokok.
Sebenarnya kehidupan Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan berjalan tenteram. Di luar peribadahan, mereka membaur dengan masyarakat non-Ahmadiyah. Bahkan saat perusakan itu terjadi, beberapa jemaah termasuk istri dan empat anak Nasir mengungsi ke rumah warga non-Ahmadiyah.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto