tirto.id - Presiden Joko Widodo berkemeja putih dibalut dengan jas hitam saat berpidato di hadapan Relawan Pengusaha Muda Nasional (Rapenas), Sabtu (3/11/2018) kemarin. Dalam pidatonya, laki-laki yang akrab disebut Jokowi itu menyampaikan sejumlah hal, mulai dari kenangannya menjadi pengusaha di umur 30-an tahun hingga unicorn—perusahaan rintisan bervaluasi lebih dari 1 miliar dolar—yang ada di Indonesia.
Namun, itu bukan hal yang membuat pidatonya menarik. Di acara yang dilaksanakan di Hotel Fairmount, Jakarta dalam rangka deklarasi dukungan Repnas kepada Jokowi tersebut, calon presiden nomor urut 01 itu juga mengajak "kita semua" untuk hijrah.
"Saya mengajak kepada kita semuanya. Marilah sekarang ini, utamanya anak muda, utamanya pengusaha-pengusaha muda, marilah kita sendiri hijrah," sebut Jokowi.
Sembari menggerakkan kedua tangannya ke kiri, lalu ke kanan; Jokowi mengatakan "kita" harus hijrah dari pesimisme ke optimisme, dari yang konsumtif ke yang produktif, dari yang marah-marah ke yang sabar.
"Sabar tapi kerja keras. Ciri-ciri HIPMI di situ. Ciri-ciri pengusaha muda di situ."
Tidak berhenti di sana, Jokowi kemudian menyampaikan tiga hal lagi yang perlu ditinggalkan dengan hijrah, yaitu, "Hijrah dari yang seneng perpecahan kepada yang seneng persatuan. Hijrah dari yang senengnya monopoli, ke yang senengnya kompetisi."
"Yang terakhir, hijrah dari yang individualistik ke yang kolaborasi," tambah Jokowi.
Ini juga bukan pertama kali kata hijrah muncul dari kubu Jokowi-Ma'ruf setelah calon presiden dan wakil presiden ditetapkan sekitar dua bulan lalu. Pada pertengahan September kemarin, Ma'ruf Amin, cawapres Jokowi, turut menyebut kata serupa saat berkunjung ke Banda Aceh.
Kala itu, Ma'ruf meminta restu tokoh masyarakat Aceh untuk mendukungnya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Bagi Ma'ruf, sekarang dia tengah hijrah, dalam kata-katanya, "dari jalur kultural ke jalur struktural."
Kemudian, Ma'ruf menyebut kata hijrah dengan konteks serupa usai bertemu dengan para habib, 24 September 2018, di kediamannya, Jalan Situbondo 12, Menteng, Jakarta Pusat.
"Karena saya harus pamit dan memberitahu mereka bahwa saya akan berhijrah dari jalur kultural menuju jalur struktural menjadi wakil presiden, karena itu mereka semuanya mendukung dan mengikhlaskan hijrah saya," ujar Ma'ruf, seperti dikutip Republika.
Dilihat secara kronologis, Ma'ruf mengucapkan kata "hijrah" lebih dahulu daripada Jokowi. Namun, peristiwa Jokowi berkata hijrah lebih terkenal daripada Ma'ruf. Pidato Jokowi itu viral di media sosial dan menjadi topik pembicaraan di televisi.
Mencairnya Makna "Hijrah"
Kata hijrah berasal dari dunia Islam. Ia merujuk pada peristiwa pindahnya Nabi Muhammad, keluarganya, dan pengikutnya dari Makkah ke Madinah.
Karen Amstrong menuliskan dalam Islam: A Short History (2000) bahwa hijrah menandai dimulainya era Islam karena pada titik itu Nabi Muhammad bisa menerapkan cita-cita Alquran.
"Itu adalah langkah revolusioner. Hijrah bukan sekadar perubahan tempat tinggal. Dalam masyarakat Arab pra-Islam, suku adalah sesuatu yang sakral. Meninggalkan kelompokmu dan ikut dengan yang lain belum pernah terjadi sebelumnya; itu pada dasarnya sebuah penistaan dan orang Quraisy tidak bisa memaafkan pembelotan tersebut," sebut Amstrong.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah, orang-orang Quraisy, menurut Amstrong, bersumpah menghabisi umat Islam. Di Madinah, Nabi Muhammad menjadi kepala sehimpunan suku yang bersatu bukan karena ikatan darah, melainkan sebab tujuan bersama. Tidak ada yang dipaksa masuk Islam. Muslim, Pagan, Yahudi tidak dibolehkan menyerang satu sama lain dan berjanji saling melindungi.
Namun, baik Jokowi maupun Ma'ruf menggunakan kata hijrah untuk persoalan yang sekuler. Kata "hijrah" oleh Jokowi dan Ma'ruf sama-sama merujuk pada perpindahan atau perubahan. Ma'ruf mengucapkan kata hijrah guna merujuk perpindahan tempat, dari posisi kultural ke struktural (dari pimpinan organisasi masyarakat ke calon wakil presiden). Sedangkan Jokowi menyampaikan kata hijrah untuk merujuk perubahan sifat, dari yang menurutnya buruk ke yang lebih baik. Mereka juga mengucapkannya tidak dalam rangka memperingati peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad yang pada 2018 jatuh pada 10-11 September.
Penggunaan kata hijrah dengan cara yang sekuler itu sudah ada sejak lama. Kompas edisi 17 Januari 1966, misalnya, memuat artikel berjudul "'Hidjrah' ke Bogor". Lewat artikel itu, Kompas melaporkan demonstrasi mahasiswa saat pelaksanaan Sidang Kabinet Paripurna, Sabtu (15/1/1966), di Istana Bogor. Kompas menyebut perjalanan mahasiswa dari Salemba, Jakarta ke Bogor dengan kata hijrah.
"Ketika sampai di Salemba makin terasa suasana luarbiasa tadi. Puluhan truk dan bis sudah disiapkan. Rupanja para mahasiswa akan 'hidjrah' mengantarkan delegasi wakil2nja sampai diluar pagar Istana Bogor," sebut Kompas.
Kompas, dan boleh jadi banyak media lainnya, juga sudah lazim menggunakan kata hijrah untuk merujuk berpindahnya seorang atlit dari suatu klub ke klub lain atau ketika seorang tokoh pindah tempat tinggal.
Maka demikianlah, saat Cristiano Ronaldo pindah dari Real Madrid ke Juventus, Bola.com menyebut Ronaldo hijrah. Kompas edisi 1 November 2000 menyebut petinju Audley Harrison "hijrah", dalam arti pindah tempat tinggal, dari kampung halamannya di Inggris ke Amerika Serikat.
Kembali ke "Makna Islami"
Paling tidak dalam delapan tahun terakhir, kata "hijrah" menemukan kembali makna islaminya kala digunakan untuk menyebut pengalaman seorang Muslim yang bertambah saleh. Tuturan pasangan suami-istri Arie Untung dan Fenita serta Teuku Wisnu dan Shireen Sungkar kepada Tirto bisa dijadikan contoh. Sedangkan di Bandung, ada kelompok pengajian anak-anak muda yang bernama Gerakan Pemuda Hijrah.
"Berawal dari kajian di Masjid Al Lathiif, Bandung, Jawa Barat, sejumlah pemuda yang dulunya pernah bermasalah dengan kenakalan akhirnya memutuskan hijrah. Setelah mantap dengan jalan yang ditempuhnya, mereka berusaha mengajak pemuda-pemuda lain agar berubah," kata Detik menggambarkan Pemuda Hijrah.
Tendensi untuk mengaitkan kata hijrah yang diucapkan Jokowi pada Sabtu kemarin dengan dunia Islam justru dilakukan para pendukungnya. Pada Minggu (4/11/2018), Ketua Umum PPP Rommahurmuziy menyampaikan penggunaan kata "hijrah" oleh Jokowi sudah sesuai ajaran Islam.
Menurut laki-laki yang akrab disapa Rommy itu, kata hijrah tidak hanya merujuk pada hijrah fisiknya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, namun juga hijrah secara maknawi.
"Namun ketika sudah fathu Makkah (pembukaan Kota Makkah), Nabi menyebut sudah tidak ada lagi hijrah fisik, namun hijrah secara maknawi yaitu dari hal buruk ke kebaikan," ujar Rommy.
Sepanjang tahun ini, dalam pidato-pidato Jokowi juga banyak ditemukan kata yang berkaitan dengan dunia Islam dibanding tahun sebelumnya.
Pada pidato kenegaraan 17 Agustus 2018, Jokowi menyebutkan kata "Muslim", "Alquran", "ulama", "umat", dan "pesantren". Kata-kata itu lebih banyak ditemukan pada pidato tahun ini ketimbang dua pidato sebelumnya. Pada pidato kenegaraan 2018, ada dua kata "Muslim, satu kata "Alquran", tiga kata "ulama", dua kata "umat", dan dua kata "pesantren".
Apa yang dilakukan Jokowi itu menunjukkan ia memang serius memainkan simbol-simbol Islam. Tuduhan bahwa Jokowi anti-Islam seakan-akan berusaha ia tepis untuk menggaet suara pemilih Muslim.
Editor: Ivan Aulia Ahsan