tirto.id - Partai Komunis Federasi Rusia (PKFR, Communist Party of the Russian Federation) menghabiskan nyaris seluruh usianya sebagai oposisi. Setiap pemilu, partai yang didirikan pada Hari Valentine 1993 ini rata-rata hanya mendapatkan belasan persen suara atau paling banyak sekitar seperlima total suara. Kekuatan mereka kontras dengan partai penyokong Presiden Vladimir Putin, United Russia, yang selalu jadi mayoritas di parlemen sejak 2003.
Politikus komunis bersama sejawat mereka dari partai sosial demokrat Rusia Adil (A Just Russia) dan Partai Demokrat Liberal Rusia (Liberal Democratic Party of Russia) diperlakukan layaknya penghias ruangan. Keberadaan mereka sekadar menciptakan kesan bahwa Rusia pasca-Uni Soviet kaya akan keberagaman aliran politik, tapi pada akhirnya tetap mengekor United Russia untuk mendukung kebijakan penting Kremlin—otomatis ikut menyangga kemapanan Putin.
Tidak mengherankan apabila pemilu di negara tersebut tampak seperti “ritual kosong”, meminjam istilah dari editor Financial Times Tony Barber. Perhelatan tersebut tak lebih dari penegasan legitimasi kekuasaan Putin yang mampu mempertahankan jabatan presiden sejak terpilih pada 2000.
Namun, dalam satu dekade terakhir, PKFR semakin dipertimbangkan sebagai oposisi yang bisa diandalkan untuk benar-benar menentang rezim autokrasi Putin. Bagaimana ceritanya mereka bisa muncul di Rusia setelah Uni Soviet bubar dan mampu bertahan bahkan semakin diperhitungkan sampai hari ini?
Penerus Partai Era Soviet?
PKFR lahir dari gerakan politik terbesar dalam sejarah Rusia modern. Mereka kerap disebut sebagai penerus Partai Komunis Uni Soviet (PKUS)—partai penguasa lebih dari tujuh dekade.
PKUS awalnya merupakan faksi terbesar dari Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia yang berdiri pada 1898. Faksi mayoritas ini, Bolshevik, dipimpin oleh Vladimir Lenin yang sukses melengserkan monarki Rusia terakhir, Nicholas II, dari singgasananya pada 1917. Uni Soviet resmi berdiri sebagai negara proletar pertama di dunia.
Setelah kematian Lenin, kepemimpinan PKUS dan Uni Soviet berpindah, dari mulai diktator Joseph Stalin (1924-1953) sampai yang terakhir, figur prodemokrasi dan propasar Mikhail Gorbachev (1985-1991).
Di bawah era Gorbachev inilah PKUS belajar menerima “pluralisme politik”. Katlijn Malfliet dalam artikel berjudul “The Communist Party of the Russian Federation: not Communist per se” (2011) mengatakan di era ini mulai lahir faksi-faksi baru di Soviet—yang hukumnya haram sejak dekade 1920-an. Langkah ini dilakukan PKUS untuk membuktikan bahwa mereka tidak takut bersaing dengan partai lain sekaligus bisa sukses di lingkungan politik yang kompetitif seperti di dunia barat.
Namun, di balik itu, Malfliet menegaskan PKUS sebenarnya ingin “mengeksploitasi pluralisme untuk menumbangkannya.”
Dari sana muncullah dua aliran besar yang saling berlawanan: grup yang mau mengikuti arah reformis Gorbachev dan kalangan fundamentalis atau konservatif. Beragam pemikiran pun berkembang di dalam tubuh PKUS. Sampai akhir 1989, sedikitnya terdapat delapan pandangan berbeda. Bahkan, ada pula yang mendirikan cabang di tingkat republik.
Tepatnya pada pertengahan 1990, partai cabang PKUS di Rusia, Partai Komunis RSFSR (Republik Sosialis Federatif Soviet Rusia), didirikan. Masih melansir dari studi Malfliet, pendirian partai cabang ini merupakan reaksi dari kalangan komunis konservatif PKUS terhadap munculnya gelombang nasionalisme di negara-negara Soviet, terutama di kawasan Baltik, sekaligus untuk melawan reformasi politik dan ekonomi Gorbachev.
Perlawanan terhadap Gorbachev cukup kuat sampai-sampai segelintir komunis garis keras berusaha mengambil alih kekuasaan darinya. Akan tetapi, percobaan kudeta yang berlangsung selama 3 hari pada Agustus 1991 itu gagal.
Aksi tersebut justru mempercepat pembubaran Partai Komunis itu sendiri. Gorbachev lantas melarang PKUS mengerahkan organisasi-organisasi sel di dalam badan intelijen (KGB) dan militer, sementara surat kabar terbitan PKUS yang sarat propaganda seperti Pravda diberedel oleh Boris Yeltsin, Presiden ke-1 Federasi Rusia. Yeltsin akhirnya mengeluarkan dekrit melarang PKUS pada November, satu bulan sebelum Soviet resmi bubar, seiring pemerintah mengutuk segala aktivitas mereka dan berencana menasionalisasi seluruh properti partai.
“Terbukti sudah, sepanjang struktur-struktur Partai Komunis Uni Soviet masih hidup, tidak ada jaminan tidak akan terjadi pemberontakan atau kudeta lagi,” kata Yeltsin. Seruan Yeltsin berlaku juga untuk partai atau organisasi komunis lain yang aktif di Rusia, tak terkecuali Partai Komunis RSFSR.
Namun demikian, Pengadilan Konstitusional Rusia pada November 1992 menyatakan bahwa langkah Yeltsin untuk melarang aktivitas partai cabang lokal atau organisasi-organisasi partai inkonstitusional. Artinya, mereka tetap diakui oleh pengadilan dan diizinkan untuk terus beraktivitas. Namun pembubaran PKUS tetap dianggap sah.
Putusan pengadilan ini memuluskan proses kelahiran Partai Komunis Federasi Rusia (PKFR) pada 14 Februari 1993. PKFR sendiri mengklaim sebagai penerus partai cabang Federasi Rusia atau Partai Komunis RSFSR.
Sejumlah besar anggota PKFR juga berasal faksi-faksi yang muncul setelah percobaan kudeta 1991. Mereka kebanyakan berasal dari Partai Pekerja Komunis Rusia yang dibentuk oleh faksi konservatif United Front of Labour (UFL) dan Communist Initiative Movement (CIM).
Singkatnya, Pengadilan Konstitusional Rusia ikut berperan melanggengkan keberlanjutan rezim politik di Rusia. “Mereka memang tidak menyingkirkan Partai Komunis,” tulis Malfliet, “akan tetapi, dalam kompromi yang sulit, mereka menciptakan kondisi bagi PKFR sebagai partai penerus untuk menyesuaikan diri dengan peranan barunya di konteks rezim politik yang berbeda.”
PKFR kelak dipuji sebagai partai politik yang sudah mewarisi struktur organisasi kuat dari Partai Komunis era Soviet dan menarik minat keanggotaan cukup besar—sampai setengah juta orang pada tahun pertama didirikan.
Dilansir dari artikel Antony Kalashnikov yang terbit di jurnal Nationalities Papers (2016), di dalam PKFR terdapat berbagai faksi, dari mulai yang ingin kembali membangkitkan Marxisme-Leninisme, kaum sosial demokrat, sampai para penyokong nasionalisme statis. Beragam narasi yang diusung faksi-faksi tersebut, menurut Kalashnikov, penting untuk membuat PKFR tetap menarik bagi banyak pemilih. Di samping itu, keberagaman tersebut juga dianggap sudah meminimalisasi bentrokan di dalam partai sehingga keutuhannya tetap terjaga.
Terlepas dari kehadiran PKFR sebagai oposisi yang mapan, iklim pada dekade 1990-an tidak memberikan ruang untuk perkembangan politik yang dinamis. Era tersebut malah dipandang sudah meletakkan fondasi untuk memuluskan jalan menuju rezim autokrasi Vladimir Putin.
Dekade 1990-an
Persis tiga dekade silam, Adrian Campbell, dosen ilmu pembangunan dari University of Birmingham, terbang ke St. Petersburg, Rusia untuk meneliti konflik antara para komunis dan kubu prodemokrasi. Setibanya di sana, ia justru mendapati pergumulan antara dua kelompok pengusung reformasi: satu pihak pendukung kekuasaan eksekutif yang terkonsentrasi di pusat, sementara lainnya ingin pemerintahan parlementer atau representatif.
Seperti Campbell sampaikan dalam artikel di The Conversation, kedua kubu reformis tersebut awalnya bersatu untuk menghancurkan usaha kudeta oleh Partai Komunis pada 1991. Tak berapa lama setelah gerakan komunis diredam, mereka malah berseteru karena beda prinsip. Kubu propemerintahan terpusat didukung oleh Wali Kota St. Petersburg Anatoly Sobchak—mentor Putin yang kala itu menjabat sebagai wakilnya. Penentangnya adalah kalangan nasionalis antiliberal sokongan para anggota parlemen, terutama dewan kota praja St. Petersburg.
Pada Oktober 1993, Presiden Yeltsin mengerahkan militer dengan tank untuk menembaki gedung parlemen sampai kubu proparlemen dikalahkan. Akibatnya, banyak badan perwakilan tingkat regional dan kota dibubarkan, digantikan dengan majelis yang kekuasaannya dikurangi.
Semenjak itu, segala cara dilakukan untuk menyokong kekuasaan eksekutif di level nasional, terutama mempertahankan Yeltsin agar terus berkuasa. Pada waktu yang sama, korupsi—yang terjadi seiring dengan maraknya privatisasi BUMN—mulai banyak ditemukan pada kalangan reformis di sekitar sang presiden.
Elite pemerintahan, yang tak ingin komunis kembali berkuasa, sampai nekat menjalin kesepakatan dengan taipan-taipan penguasa media agar ikut menyokong popularitas Yeltsin. “Kaum komunis memang dikalahkan, tapi hal itu harus dibayar dengan sinisme endemik tentang proses demokratis,” tulis Campbell.
Pada 1993 juga, konstitusi era Soviet diganti untuk meregulasi parlemen nasional tingkat rendah atau Duma. Duma, terdiri dari 450 anggota, bertugas meloloskan legislasi dengan dua per tiga suara. Arena ini menjadi tempat partai politik berlaga. Namun, pada waktu sama, mereka tidak punya daya tawar untuk ikut membentuk dan mengkritisi jalannya pemerintahan.
Melansir artikel Anatoly Kulik yang terbit di jurnal Revue d’études comparatives Est-Ouest (2011), para menteri ditunjuk dan bisa dipecat oleh presiden. Perdana menteri yang disetujui oleh parlemen pun tetap terancam disingkirkan oleh presiden. Partai-partai bahkan tak dapat menyuarakan mosi tidak percaya terhadap kabinet yang ditunjuk presiden, semata karena takut parlemen dibubarkan.
Masih menurut Kulik, meskipun Partai Komunis (PKFR) dan sekutunya (Partai Agraria dan Partai Perempuan Rusia) sempat disokong cukup banyak suara pada 1996-1999, mereka tetap tidak berani mengeluarkan mosi tidak percaya. Tampaknya tak satu pun partai politik mau berhadapan dengan “risiko kehilangan kenyamanan politik dan hak-hak istimewa status parlemen.” Singkatnya, partai-partai politik di Duma tak berbeda dari “perusahaan yang mengejar tujuan-tujuan mereka sendiri sesuai ketentuan permainan yang berlaku,” tulis Kulik.
Terlepas dari itu semua, posisi PKFR di parlemen relatif aman. Pada pemilu legislatif 1993, mereka disokong oleh 11 persen suara—kelak meningkat jadi 22 persen (1995) dan 24 persen (1999). PKFR tetap diakui dan dihormati sebagai oposisi resmi sekaligus kekuatan politik pasca-Soviet yang mapan, sementara grup atau faksi komunis lainnya tersingkir.
Vladimir Putin akhirnya datang untuk menggantikan Yeltsin yang tiba-tiba mengundurkan diri pada malam tahun baru 1999. Beberapa bulan kemudian, ia resmi terpilih sebagai presiden dengan dukungan suara 53 persen. Lawannya adalah kandidat dari Partai Komunis, Gennady Zyuganov, yang tak sampai dapat 30 persen suara. Kala itu, di Duma, Putin disokong oleh partai baru, Unity—kelak melebur jadi United Party.
Seiring Putin naik ke tampuk kekuasaan, popularitas PKFR semakin merosot. Menurut Katlijn Malfliet dalam “The Communist Party of the Russian Federation: not Communist per se” (2011), dukungan untuk PKFR mulai berkurang karena narasi tentang patriotisme yang mereka usung berhasil diadopsi oleh partai-partai pro-Kremlin penyokong Putin: Unity dan kemudian United Russia. Di samping itu, partai-partai yang berhaluan sosialis diduga sudah diatur oleh Kremlin untuk memecah suara kalangan komunis.
Walaupun demikian, PKFR tetaplah partai oposisi yang kuat. Kehadirannya pun masih terasa di level nasional dan daerah.
Komunis Bangkit Lagi
PKFR mulai dinilai sebagai oposisi paling kredibel terutama di mata kaum intelektual satu dekade terakhir. Mulai nampak pula ketidakpuasan sejumlah warga terhadap pemerintah, termasuk terhadap partai berkuasa, United Russia, sejak 2003. Ekonomi mengalami stagnasi, ketimpangan meningkat, korupsi marak di lingkup elite pemerintah, sampai berbagai tindakan represif oleh Kremlin terhadap pengkritiknya.
Geliat ini terlihat pada pemilu legislatif 2011. PKFR mendulang suara sampai nyaris 20 persen. Kala itu, Alexander Kurov (19), mahasiswa jurusan fisika, berkata pada Reuters bahwa partai penyokong Putin sudah bikin banyak orang marah. Maka dari itulah ia mencari alternatif. “Saya tidak terlalu suka kalangan komunis tapi tidak ada pilihan lainnya, dan saya tidak mau suara saya dicuri,” katanya. Senada, profesor matematika Sergei Yemilianov juga mengaku sudah memberikan suara kepada Partai Komunis untuk “melawan Putin” dan “melemahkan partainya.”
Pemilu tahun itu disusul dengan demonstrasi terbesar sejak keruntuhan Uni Soviet. Diperkirakan sampai 50 ribu orang, dari kalangan komunis, nasionalis, dan kaum liberal pro-barat, turun ke jalan untuk memprotes dugaan kecurangan pemilu yang kembali dimenangkan oleh United Russia.
Akan tetapi, pada pemilu 2016, suara untuk PKFR turun lagi sedangkan sokongan untuk United Russia kembali meroket. Gelombang patriotisme di kalangan pemilih ikut membantu mengatrol suara United Russia. Ketika itu parlemen yang mereka kuasai mendukung langkah pemerintah mencaplok Krimea pada 2014.
Bagaimana dengan hasil pemilu terbaru pada 17-19 September kemarin? Seperti bisa diprediksi, United Russia kembali mendominasi. Namun hasil pemilu juga dirayakan oleh kaum komunis. Di balik segala kecurangan yang ada, PKFR sukses mendulang suara sampai hampir 19 persen (naik 6 poin dari pemilu 2016), sedangkan suara United Russia tergerus dari 54 persen jadi di bawah 50 persen.
Golongan aktivis baru di dalam tubuh partai dipandang sudah berkontribusi terhadap kebangkitan PKFR beberapa tahun belakangan. Mereka terdiri dari kaum muda progresif, terutama dari daerah-daerah, yang meyakini Partai Komunis sebagai satu-satunya organisasi terstruktur yang mampu menawarkan politik oposisi.
Menurut pakar ilmu politik Mark Galeotti, anak-anak muda ini umumnya bukan aktivis yang terinspirasi dari para komunis era Soviet, namun lebih mirip gerakan sosial demokrat dari Eropa. “Alih-alih mau merebut kekuasaan dengan kekerasan dan memberantas kaum tuan tanah desa, mereka ingin perpajakan progresif dan kesenjangan yang lebih kecil antara si kaya dan si miskin,” tulis Galeotti di Vox.
Memang, PKFR masih belum bisa dipisahkan dari para pimpinan yang cenderung lunak terhadap tekanan Kremlin meskipun suka berlagak kritis. Mereka adalah komunis-komunis veteran era Soviet yang pemikirannya cenderung regresif bahkan masih berorientasi Stalinisme. Namun, para komunis senior tetap dianggap sudah berperan penting menjaga PKFR tetap solid sampai hari ini.
Editor: Rio Apinino