tirto.id - Salah satu materi IPS kelas 8 SMP membahas tentang sejarah ekonomi Indonesia pada masa reformasi. Lantas, bagaimana situasi ekonomi Indonesia pasca-reformasi?
Kehidupan ekonomi Indonesia pada awal masa reformasi tergolong cukup sulit. Sebab, reformasi merupakan fase baru tatanan pemerintahan setelah kekuasaan Orde Baru, yang kental dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), merajalela selama 32 tahun.
Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Lahirnya Orde baru pada 1966 bertekad menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Itu terjadi setelah Orde Lama pimpinan Soekarno dinilai mengidap banyak masalah, termasuk isu PKI yang gencar tersiar.
Namun, pada kenyataannya, Orde Baru sendiri banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945. Justru, regulasi tersebut hanya dijadikan sebagai legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan.
Penyimpangan yang terjadi pada orde baru antara lain praktik KKN yang tidak diusut tuntas dan ketimpangan sosial-ekonomi dalam masyarakat. Berbagai penyimpangan tersebut kemudian melahirkan krisis multidimensi.
Permasalahan tersebut kemudian menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi yang disuarakan dari kalangan mahasiswa, rakyat kecil, dan berbagai elemen masyarakat lainnya.
Protes rakyat terhadap Orde Baru telah berlangsung sejak awal 1998. Demonstrasi mulai memuncak pada periode Februari hingga Mei. Meskipun sempat bersikukuh mempertahankan kursi kekuasaannya, Soeharto akhirnya lengser pada 21 Mei tahun itu.
Gerakan reformasi pada dasarnya menghendaki perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik berdasarkan konstitusi.
Kehidupan Ekonomi Indonesia pada Masa Reformasi
Era B.J. Habibie
Setelah lengser, kursi kepresidenan diberikan kepada Bacharuddin Jusuf Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Kebijakan dalam bidang ekonomi pun juga mengalami perubahan.
Dalam hal tersebut, B.J. Habibie menghadapi pekerjaan rumah yang besar. Keadaan ekonomi porak poranda yang berdampak pada hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Dalam bidang ekonomi Presiden Habibie mempunyai tiga program yaitu program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Tujuan program jangka pendek adalah mengurangi beban masyarakat, terutama masyarakat miskin. Beberapa program yang diagendakan seperti jaringan pengaman sosial (JPS), penyediaan kebutuhan pokok rakyat, serta pengendalian harga.
Dalam program jangka menengah, upaya yang dilakukan adalah penyehatan sistem perbankan untuk membangkitkan kembali kepercayaan dan kegiatan dunia usaha, khususnya investor luar negeri. B.J. Habibie juga melakukan pengendalian laju inflasi dan berbagai upaya reformasi struktural untuk memperkuat landasan perekonomian nasional dengan meningkatkan efisiensi dan daya saing.
Sementara itu, program jangka panjang berforkus pada landasan bagi perekonomian yang maju, modern, mandiri dan berkualitas serta terbuka bagi seluruh kalangan. Di antaranya seperti membangun institusi ekonomi yang berorientasi ke pasar dalam negeri maupun global.
Dalam masa kepemimpinan Presiden Habibie, terdapat salah satu upaya kebijakan yang sangat menguntungkan Indonesia di masa awal reformasi. Upaya pengendalian ekonomi tersebut meliputi kebijakan moneter, fiskal, korporasi dan perbankan. Di bidang moneter, dia mengendalikan jumlah uang yang beredar dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia menjadi 70 persen, serta menerapkan bank sentral independen.
Di bidang fiskal, beberapa proyek infrastruktur dibatalkan, perlakuan khusus bagi mobil nasional, dan membiayai program JPS. Bidang korporasi dirombak; utang swasta direstrukturisasi melalui skema Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta; serta menghentikan praktek monopoli, yang sebelumnya dilakukan Bulog dan Pertamina.
Di samping itu, bidang perbankan juga tidak lepas dari perubahan. Obligasi sejumlah Rp650 triliun digunakan untuk menalangi perbankan, menutup 38 bank, dan mengambil alih 7 bank.
Setahun kemudian, upaya kebijakan ekonomi tersebut berdampak pada pertumbuhan ekonomi: yang sebelumnya -13 persen menjadi 2 persen. Angka inflasi juga sukses diturunkan dari 77,6 persen menjadi 2 persen.
Era Gus Dur
Setelah era B.J. Habibie, tampuk kepresidenan berada di tangan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sebelumnya, kondisi perekonomian negara Indonesia dinilai telah stabil, tetapi Gus Dur bersama kabinetnya menolak melanjutkan pemerintahan Habibie.
Pemerintahan Habibie, yang menjadi lokomotif ekonomi kerakyatan, oleh Gus Dur dijadikan kementerian nonportfolio atau menteri negara non-departemen.
Hal ini merupakan pembuktian Gus Dur pada dunia bahwa bahwa Indonesia bisa diurus tanpa bantuan dana IMF (International Monetary Fund). Sebab, selama masa pemerintahan Gus Dur, IMF tidak pernah mencairkan dana untuk Indonesia.
Pemerintahan Gus Dur juga memiliki gagasan sekuritisasi aset negara, terutama barang tambang. Kemudian, pemerintah bisa mengeluarkan saham atas aset-aset negara tersebut yang kemudian diperjual-belikan di pasar modal untuk membiayai pembangunan nasional.
Era Megawati
Gus Dur yang dilengserkan pada 2001, kemudian digantikan oleh wakilnya, Megawati Soekarno Putri. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, kondisi ekonomi Indonesia masih dalam keadaan krisis. Hal ini disebabkan situasi politik dan ekonomi yang belum stabil.
Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh Presiden Megawati dalam bidang ekonomi di antaranya seperti memutuskan hubungan dengan IMF; melakukan restrukturisasi dan reformasi keuangan dengan melakukan pembaruan ketentuan perundang-undangan; meningkatkan pendapatan melalui pajak, cukai, mendorong kemajuan usaha kecil dan menengah, serta kerjasama ekonomi dan politik di luar Amerika.
Selama masa pemerintahan Megawati, sejumlah indikator ekonomi makro tampak menunjukkan tanda-tanda membaik. Mengingat pertumbuhan ekonomi nasional yang terpuruk lima tahun sebelumnya.
Era SBY
Setelah Presiden Megawati, pada 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi dilantik menjadi presiden melalui Pemilu. Pada masa pemerintahannya, kehidupan perekonomian Indonesia bertumbuh secara positif.
Pada 2004 pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen, yang kemudian pada 2007 mencapai 6,3 persen. Namun, akibat adanya krisis keuangan global pada 2007, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup lambat, hanya tumbuh 4,6 persen pada tahun 2009.
Pendapatan Domestik Bruto (PDP) Indonesia juga terus mengalami peningkatan pada era SBY, yaitu naik lebih dari tiga kali lipat, dari Rp10,5 juta pada tahun 2005 hingga mencapai Rp33,7 Juta pada tahun 2012.
Penulis: Risa Fajar Kusuma
Editor: Fadli Nasrudin