tirto.id - "Kanker berasal dari sel tubuh normal yang terbentuk dalam dua fase," tulis Otto Warburg dalam "On the Origin of Cancer Cells" (Science vol. 123, 1956).
Pertama, sel tubuh mengalami kerusakan respirasi permanen yang disebabkan oleh banyak faktor, seperti tar, sinar x, hingga arsenik.
Kedua, dalam usaha bertahan hidup, sel tubuh yang telah rusak permanen itu berjuang untuk mempertahankan strukturnya, yang dilakukan melalui pencarian energi dalam tubuh. Terkadang sel tak bisa mencari energi dan akhirnya mati.
Namun, di sisi sebaliknya, sel sering kali berhasil memperoleh energi baru lewat fermentasi atau proses anaerobik saat energi dapat dilepaskan dari glukosa meskipun oksigen tidak tersedia.
Ketika sel yang telah rusak itu dapat mempertahankan hidupnya, sel pun berkembang/tumbuh secara liar untuk menjadi kanker.
Dalam "The War on Cancer" (The Lancet vol. 347, 1996), hampir 40 tahun setelah Warburg memublikasikan studinya, Michael B. Sporn berpendapat berbeda.
Karsinogenesis, asal-usul sel kanker, tak terjadi atas "pertarungan energi", melainkan muncul oleh banyak sebab, terutama proliferasi sel yang berlebihan dan perubahan lingkungan ekstraseluler.
Anggapan bahwa kanker muncul gara-gara berkembang biak lebih masif, menurut Sporn, terlalu terburu-buru. Ini terjadi karena "banyak sel normal dalam tubuh yang berkembang biak jauh lebih cepat, lebih menginvasi, dibandingkan jaringan sel kanker," tambahnya.
Karsinoma atau kanker yang terbentuk dalam jaringan epitel, misalnya, tak muncul karena masifnya perkembangbiakan berlebih yang dilakukan sel ini. Tetapi muncul karena ada penyimpangan dalam sel normal sendiri.
"Kanker muncul karena ada cacat komunikasi dalam diri sel sendiri," ujar Sporn.
Mirip seperti konsep "miskomunikasi" dalam bermasyarakat, yang dapat membuat pihak yang memperoleh kesalahan informasi berperilaku menyimpang dibandingkan pihak lainnya.
Tahun berlalu, kanker kemudian diduga lahir atau muncul dalam tubuh semata-mata karena faktor genetik. Bukan cuma diwariskan, juga dipengaruhi "agen" luar seperti asap tembakau atau radioaktivitas, dan kesalahan DNA memotong sel.
Berubahnya sebab muasal kanker merupakan bukti nyata bahwa ada usaha yang tak pernah berhenti yang dilakukan manusia untuk mengetahui kanker secara mendalam.
Kanker dari Masa Lampau
Menurut Steven I. Hajdu dalam "A Note From History" (Cancer, 2012) dan "A Brief History of Cancer" (International Journal of Cancer, 2014) yang ditulis Guy B. Faguet, kanker muncul pertama kali dalam tubuh hewan, dinosaurus, pada zaman pra sejarah.
Kanker kemudian menjadi bahasan yang tak pernah terlewatkan oleh manusia. Elbers Papayrus bertitimangsa 1500 SM jadi karya tulis pertama yang mengisahkan penyakit ini.
Penyakit mematikan tersebut kemudian ditafsirkan oleh para sejarawan sebagai kanker, yang menyerang kulit, rahim, perut, dan rektum, yang bukti-buktinya termumifikasi dalam individu-individu yang diawetkan jenazahnya oleh bangsa Mesir dan Peru. Juga ditemukan di stepa Siberi Selatan dalam jasad Raja Scythia.
Karena saat itu penyakit ini belum dipahami kanker secara saintifik--bertolak belakang dengan paparan Otto Warburg maupun Michael B. Sporn--kanker dipercaya disebabkan oleh faktor-faktor magis, di luar kuasa manusia.
Namun, usaha manusia untuk membasmi kanker telah dilakukan sejak zaman itu. Misalnya dilakukan oleh bangsa Sumeria, China, India, Persia, dan Yahudi. Mereka berupaya membasminya dengan teh, buah-buahan, ara, hingga kol rebus.
Jika kanker terlihat mata, seperti kanker (tumor) kulit, contohnya, pada masa itu proses penyembuhan dilakukan dengan cara disilet atau langsung diiris menggunakan pisau.
Baru sekitar 460-375 SM, digaungkan oleh Hippocrates dan murid-muridnya, kanker dipercaya muncul atas sebab alamiah, yakni kelebihan atau kekurangan darah, lendir, empedu, atau sekresi tubuh lainnya.
Maka, atas perubahan keyakinan tentang asal muasal penyakit ini, cara pembasmian kanker pun berubah. Hippocrates, lewat De Medicina, mengusulkan "terapi bedah" untuk menyambuhkan orang-orang yang terkena kanker.
Kala peradaban kuno digantikan yang lebih baru, kanker kian dipahami lebih baik, dengan munculnya deskripsi komprehensif pertama tentang gejala, tanda, dan pengobatannya.
Saat itu, diprakarsai cendekiawan Mesir bernama Aretaeus (81-138 M), kanker diyakini muncul dalam dua bentuk berbeda, yakni keras saat disentuh dan tidak ber-ulserasi (luka pada kulit atau membran mukosa yang ditandai dengan terbentuknya nanah). Kedua berbau busuk dan ber-ulserasi.
Dalam penjelasannya, kedua bentuk ini kronis dan mematikan, tetapi yang ber-ulserasi lebih buruk, tanpa ada peluang untuk disembuhkan.
Lalu, dikembangkan oleh seorang Romawi bernama Claudius Galen (130-200 M), sebab muasal dua bentuk kanker ini diyakini berasal dari empedu hitam kental (bagi yang ber-ulserasi) dan empedu kuning tipis (bagi yang tidak ber-ulserasi) yang terdapat dalam tubuh penderitanya.
Pada awal abad ke-5, ilmuwan Konstantinopel dan Baghdad melihat kanker dalam tataran saintifik untuk pertama, baik sebab terjadinya maupun cara mengobatinya.
Dengan deskripsi sederhana, keduanya hampir senada dengan pendapat Otto Warburg, yakni terjadi atas munculnya sekelompok sel jahat yang berkembang biak di luar kendali.
Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati
Meskipun pemahaman manusia tentang kanker berubah-ubah seiring perkembangan ilmu pengetahuan, keganasan kanker tak pernah berubah. Saban tahun lebih dari 8 juta jiwa meninggal dunia karena kanker.
Sekitar 40 persen total populasi masyarakat dewasa Amerika Serikat, misalnya, pernah diberitahu dokter bahwa mereka mengidap kanker. Dan meskipun malaria selalu menjadi musuh utama Afrika, kanker merupakan pembunuh nomor satu di sana.
Lalu, tiga dari empat warga Inggris yang didiagnosis kanker pada awal 1970-an, meninggal dalam rentang sepuluh tahun setelah menderita kanker.
Melalui pengobatan modern hari ini, peluang sembuh dari kanker memang cukup besar, khususnya di AS karena di negara tersebut pengobatan modern berhasil mencapai rasio kesembuhan hingga di atas 70 persen.
Namun AS merupakan negara super mahal. Mereka lebih banyak membelanjakan uangnya (pajak rakyat) untuk mengongkosi militer alih-alih kesehatan masyarakat. Apalagi bagi masyarakat non-AS yang hendak berobat di sana.
Ganasnya kanker--meskipun dunia (lebih tepat: Amerika Serikat) telah mendeklarasikan "Perang Melawan Kanker" sejak 1971 atas prakarsa Presiden Richard Nixon dan pengobatan telah kian maju--seakan tak pernah usai.
Menurut Michael B. Sporn dalam studinya, hal ini mungkin terjadi karena manusia keliru dalam melakukan pendekatan terhadap kanker. Mereka mengedepankan frasa atau istilah berlebihan, semisal "War on Cancer", "membasmi kanker", "mengobati kanker", hingga "problem kanker".
Di sisi lain, satu hal yang selalu berhasil menghindarkan manusia dari kanker, yakni kepercayaan ilmuwan bahwa "kanker merupakan penyakit yang dapat dihindari alih-alih diobati" tak pernah digaungkan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi