tirto.id - Dalam salah satu adegan di film komedi Maju Kena Mundur Kena (1983), trio Warkop DKI—Dono, Kasino, dan Indro—terlibat dalam pertandingan sepak bola melawan kesebelasan wanita.
Sebagian besar para pemain perempuan dalam adegan tersebut berasal dari klub Buana Putri, salah satu kekuatan utama dalam kompetisi Liga Sepak bola Wanita (Galanita). Keterlibatan mereka dalam film Warkop DKI menunjukkan bahwa pada awal 1980-an, sepak bola wanita sedang mengalami masa keemasan, atau setidaknya mendapat tempat di hati publik.
Adegan itu adalah arsip hidup dari sebuah era yang nyaris terlupakan. Ketika kompetisi sepak bola wanita masih berdiri tegak, saat stadion dipenuhi penonton untuk menyaksikan Piala Kartini, dan ketika mimpi perempuan Indonesia untuk bermain bola tidak hanya dianggap mungkin, tapi juga penting.
Bermula dari Tim Putri Priangan
Sepak bola wanita Indonesia dimulai sebelum struktur kepengurusan formal terbentuk. Putri Priangan merupakan kesebelasan sepak bola wanita pertama di Indonesia, didirikan pada 5 Februari 1969 di Bandung.
Pendiri Putri Priangan adalah Wiwi Hadhi Kusdarti, mantan pesepak bola wanita yang memiliki naluri sepak bola dari ayahnya, Kadarisman, pesepak bola era penjajahan Belanda.
Wiwi prihatin karena di Indonesia belum ada tim sepak bola wanita, berbeda dengan beberapa negara lain yang sudah mengembangkan sepak bola putri. Berkat inisiatifnya, Putri Priangan terbentuk dengan dukungan tokoh-tokoh lokal dan Persib Bandung.
Pada 1969, Putri Priangan mewakili Indonesia dalam turnamen internasional Pesta Sukan di Singapura, yang menjadi salah satu pengalaman internasional pertama bagi sepak bola wanita Indonesia.
Pada tahun yang sama, tim sepak bola wanita asal Penang, Malaysia, tiba di Bandara Kemayoran. Kedatangan mereka merupakan undangan dari kontingen PON Jawa Barat untuk menghadapi Putri Priangan di Bandung, Cirebon, dan Sukabumi.
Di Stadion Danalaga Sukabumi, pertandingan ini menarik banyak penonton, namun sayangnya menimbulkan tragedi robohnya tembok stadion yang menyebabkan satu orang meninggal dan puluhan luka-luka.

Memasuki awal 1970, giliran Putri Priangan melakukan lawatan ke Malaysia, Singapura, dan Hongkong. Seturut catatan harian Kompas pada 2 Februari 1970, Sri Tarso dkk mencatat dua kali kemenangan, tiga kali seri, dan dua kali kalah.
Putri Priangan menjadi pelopor yang memicu lahirnya klub-klub sepak bola wanita lain di Indonesia, seperti Buana Putri (Jakarta), Putri Pagilaran (Pekalongan), dan Sasana Bhakti (Surabaya).
Keberadaan mereka juga menjadi pemantik lahirnya kompetisi yang lebih terorganisasi, termasuk kelahiran Galanita pada 1978, liga sepak bola wanita pertama yang resmi di Indonesia.
Sepak Bola Wanita di Persimpangan
Sebelum kelahiran Galanita, sepak bola wanita Indonesia telah diakui secara internasional melalui Asian Ladies Football Confederation (ALFC). Pada tahun 1977, klub Buana Putri dari Jakarta bergabung dengan ALFC dan berhasil meraih peringkat ke-4 dalam Piala Asia III di Taipei.
Ketika struktur sepak bola nasional mulai dibenahi, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) mengadakan Sidang Paripurna Pengurus pada akhir Oktober 1978. Seperti dilaporkan majalah Tempo edisi 21 Oktober 1978, hubungan PSSI dengan klub-klub di luar perserikatan mendapat porsi istimewa dalam sidang tersebut.
Suparyo Poncowinoto, Ketua Bidang Organisasi, berhasil melobi para peserta sehingga melahirkan keputusan empat lembaga kompetisi: Liga Sepak bola Utama (Galatama) untuk pemain profesional, Liga Sepak bola Mahasiswa (Galasiswa) untuk pelajar, Liga Sepak bola Karyawan (Galakarya) untuk karyawan, dan Galanita untuk perempuan.
Ia juga membuka keran dalam melahirkan turnamen daerah, seperti Galanita Jakarta yang diselenggarakan di Stadion Menteng memperebutkan Piala Gubernur Tjokropranolo pada Mei 1980.
Turnamen yang diikuti tujuh klub lokal Jakarta tersebut ditandai dengan sepakan pertama oleh Dewi Wibowo, tokoh penting dalam sejarah sepak bola wanita Indonesia, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PS Putri Jakarta.
“Ali Sadikin duduk diapit di tribun kehormatan oleh Ny. Sundari Tjokropranolo dan Ketua Komisi Galanita SK.H. Wibowo,” tulis harian Merdeka edisi 2 Mei 1980.
Namun dalam perjalanannya, perhatian terhadap sepak bola wanita tidak sekuat dukungan terhadap liga pria. Fokus PSSI lebih banyak tertuju pada Galatama, membuat Galanita berjalan terseok-seok di awal pembentukannya.
Kompetisi Rutin dan Dominasi Buana Putri
Situasi mulai berubah ketika Dewi Wibowo diangkat sebagai Ketua Umum Galanita pada 27 Mei 1988. Ia membentuk Badan Koordinator Sepak Bola Wanita Indonesia (BKSWI) sebagai jembatan antara klub-klub daerah dan Galanita pusat.
Di bawah kepemimpinannya, Galanita berkembang pesat. Klub-klub wanita bermunculan di berbagai daerah, dan kompetisi nasional mulai digelar secara rutin. Turnamen seperti Piala Kartini dan Invitasi Galanita menjadi ajang bergengsi yang mempertemukan klub-klub terbaik dari seluruh Indonesia.
Piala Kartini pertama kali digelar pada 21 Oktober 1981 di Stadion Pluit, Jakarta Utara. Klub-klub seperti Putri Priangan (Bandung), Putri Pagilaran (Pekalongan), Sasana Bakti (Surabaya), dan Buana Putri (Jakarta) ikut serta.

Buana Putri yang pernah meraih peringkat keempat Kejuaraan Asia, menjadi kekuatan dominan dalam kompetisi Galanita. Dalam turnamen tersebut, Buana Putri berhasil menjadi juara setelah mengalahkan Putri Priangan dengan skor 1-0 di final.
Muthia Datau, kiper utama Buana Putri sekaligus andalan Timnas Indonesia, tampil memukau. Ia dikenal sebagai salah satu pemain terbaik sepanjang sejarah sepak bola wanita Indonesia. Ia mulai menekuni sepak bola sejak usia 14 tahun, berani menembus batasan sosial dan stereotipe gender pada zamannya.
Selain Piala Kartini, Galanita juga menyelenggarakan Invitasi Galanita atau Piala Bu Tien Soeharto I pada tahun 1982. Turnamen ini diikuti oleh sembilan tim yang terbagi menjadi 3 grup.
“Invitasi yang dimaksudkan untuk memilih pemain mewakili Indonesia di Kejuaraan Asia ke-5 di Bangkok ini akan diawali dengan pertandingan antara Buana Putri (Jakarta) vs Angin Mamiri (Ujungpandang) di Stadion Kuningan,” tulis harian Kompas (21/08/1982).
Harian Merdeka edisi 22 Oktober 1982 dalam tajuknya “Buana Putri Pukul Angin Mamiri 2-0” melaporkan upacara pembukaan kala itu dilakukan oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Soerono. Pada laga pembuka, Buana Putri sukses mengandaskan kesebelasan Angin Mamiri lewat gol Titik Sidik dan Katrina.
Buana Putri menjadi juara di turnamen ini usai mengalahkan Putri Pagilaran dengan skor telak 4-0 di final yang digelar di Stadion Kuningan, Jakarta Selatan.
Selain Buana Putri, klub-klub lain yang aktif dan berprestasi dalam Galanita antara lain Putri Jaya (Jakarta), Putri Mataram (Yogyakarta), Putri Mojolaban (Jawa Tengah), Putri Setia (Surabaya), Angin Mamiri (Makassar), dan Putri Dafonso (Papua).
Kompetisi Galanita tidak hanya menjadi ajang perebutan gelar, tetapi juga wadah pembinaan dan seleksi pemain untuk Timnas Putri. Galanita juga aktif memasyarakatkan sepak bola five-a-side indoor football, dengan menyelenggarakan turnamen pelajar dan mahasiswa se-DKI. Mereka memperbanyak bahan bacaan dan film edukatif tentang permainan ini, serta mengadakan seminar untuk menyamakan pandangan dengan regulasi FIFA.
Kapan Liga Putri Bergulir Kembali?
Namun memasuki akhir 1980-an, pamor Galanita mulai meredup. Perhatian PSSI kembali tersedot ke kompetisi pria seperti Perserikatan dan Galatama. BKSWI dilebur, dan Galanita dibiarkan berjuang sendiri.
Sepak bola wanita berjuang keras untuk mencari pemain muda dan membentuk klub-klub yang solid. Proses ini terhambat oleh kurangnya fasilitas, pelatih, dan kompetisi internal yang memadai, sehingga regenerasi pemain berjalan lambat.
Kendala lainnya ialah stigma negatif masyarakat yang sering menyematkan perempuan yang bermain sepak bola sering dianggap melawan kodrat atau “nyeleneh”. Sepak bola kerap dikonstruksi sebagai olahraga maskulin dalam budaya patriarkis.
Studi dari Universitas Airlangga (2016) menunjukkan bahwa perempuan penggemar sepak bola sering mengalami stereotipe dan perlakuan tidak menyenangkan di komunitas yang didominasi laki-laki. Namun, mereka tetap aktif dan menegosiasikan identitasnya melalui partisipasi, atribut, dan performa sosial.
Hambatan budaya menyebabkan sepak bola wanita kurang mendapat sorotan, dukungan sponsor, dan perhatian media. Akibatnya, ekosistem sepak bola putri sulit berkembang secara profesional dan berkelanjutan.
Lain itu, penyelenggaraan juga belum bisa dikatakan profesional. Surat kabar Berita Buana pada 4 November 1982 memberi contoh bagaimana amatirnya penyelenggaraan Invitasi Galanita di Stadion Kuningan. Meskipun jumlah penonton selalu membludak, jangan harap panitia penyelenggara akan memperoleh uang, karena umumnya mereka ingin nonton secara gratis dengan bermacam-macam cara.
“Ada yang memanjat pohon sekitar tembok stadion, membobol pagar seng dan lain-lain,” sambung laporan tersebut.
Meskipun Galanita memperoleh status otonom sebagai lembaga organik di bawah PSSI, hal ini tidak serta-merta membuatnya berkembang pesat seperti sepak bola pria. Perubahan kepengurusan PSSI yang sering terjadi membuat kebijakan terhadap sepak bola wanita tidak konsisten.
Pada 1993, pengurus Galanita resmi dibubarkan. Klub-klub wanita kehilangan orientasi, dan kompetisi berhenti total. Sepak bola wanita Indonesia pun memasuki masa stagnasi yang panjang.
Prestasi terbaik Timnas Putri Indonesia terjadi pada era Galanita dengan meraih peringkat ke-4 di Piala Asia 1977 dan 1986.
Setelah Galanita bubar pada 1993, prestasi Indonesia mengalami kemunduran drastis hingga mencapai peringkat terendah 109 dunia pada Maret 2024.
Galanita membuktikan bahwa tanpa kompetisi, talenta tak berkembang. Sebuah pelajaran yang sangat relevan saat ini. Liga 1 Putri sempat digelar pada 2019, dimenangkan oleh Persib Putri. Namun pandemi Covid-19 menghentikan kompetisi, dan hingga kini belum ada kepastian kapan liga akan kembali bergulir.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, sempat menjanjikan liga profesional pada 2026, namun target itu terus bergeser. Terbaru, ia menyebut 2027 sebagai proyeksi realistis, bahkan sempat menyebut 2029 sebagai horizon jangka panjang.
Ironisnya, Timnas Putri Indonesia justru mengalami perbaikan performa meski tanpa liga domestik, seperti hasil imbang 1-1 dengan Yordania pada 2025 yang lebih baik dari kekalahan 0-3 pada 2019. Bahkan baru-baru ini meraih trofi pertama di Piala AFF Wanita 2024.
Kini, ketika wacana kebangkitan Liga Putri kembali mengemuka, sejarah Galanita menjadi penting untuk diingat. Desakan publik pun menguat. Seusai Timnas Putri gagal lolos ke Piala Asia Wanita 2026, para pemain membentangkan spanduk bertuliskan “Pak Erick, kapan Liga 1 Putri digelar?”
Bahkan Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, turut bersuara meminta PSSI segera menggelar liga, meski dengan format sederhana.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































