tirto.id - Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menggugat Pasal 21 Undang-Undang Tipikor tentang Perintangan Penyidikan ke Mahkamah Konsitusi (MK). Gugatan tersebut diajukan Hasto, Kamis (24/7/2025) atau sehari sebelum sidang putusan terkait kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) DPR RI 2019 dan perintangan penyidikan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Betul, betul, kita sudah daftarkan. Kami daftarkan itu hari Kamis malam, jadi sebelum putusan," kata Kuasa Hukum Hasto, Maqdir Ismail, dalam keterangannya, Senin (28/7/2025).
Maqdir mengatakan gugatan yang teregistrasi dengan nomor 130/PUU/PAN.MK/AP3/07/2025 tersebut, dilakukan karena pihaknya menilai Pasal 21 ini bisa dengan mudah ditafsirkan aparat penegak hukum (APH) seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga, memudahkan seseorang untuk disebut melakukan perintangan.
"Kami melihat bahwa Pasal 21 ini, kan, gampang sekali ditafsirkan. Salah satu diantaranya adalah tafsir seperti yang dibuat oleh KPK, yaitu bahwa dalam proses penyelidikan, orang bisa kena pasal ini," ujarnya.
"Kemudian yang kedua, kami melihat bahwa sebenarnya kalau melihat Pasal 21 itu, kalau kita baca secara baik, maka itu adalah perbuatannya itu kumulatif yang dilarang itu. Bukan hanya menghalangi penyidikan, tetapi harus sampai pada tidak terselenggaranya peradilan," tambahnya.
Maqdir menyebut, pasal ini menjadi sebuah ancaman kepada pihak ketiga yang melakukan perbuatan menghalangi. Bahkan, ancaman hukuman pada pasal ini, melebihi ancaman terhadap orang yang melakukan suap atau melanggar Pasal 5 dan Pasal 13 UU Tipikor.
"Kalau orang kena Pasal 13 atau kena Pasal 11, itu kan ancaman hukumannya kalau Pasal 13 itu 1-3 tahun. Itu kan pemberi. Kemudian kalau Pasal 11, itu kan ancaman hukumannya 1 sampai 5 tahun. Sama dengan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau huruf b. Nah, ini ancaman hukumannya juga 1-5 tahun. Tapi tiba-tiba kok Pasal tambahan untuk mengancam orang kalau melakukan obstruction of justice kok lebih tinggi ancaman hukumannya daripada orang yang melakukan perbuatan pokok terkait denga korupsi itu," tuturnya.
Maqdir menjelaskan dalam petitumnya, Hasto sebagai pemohon meminta agar Pasal 21 ini dimaknai bersifat kumulatif. Katanya, pasal ini harus mengatur bukan hanya soal peringanan penyidikan tetapi juha mengatur soal perintangan pelaksanaan persidangan.
"Nah, kemudian yang kedua kami meminta juga supaya ancaman hukumannya itu di, di apa ya, paling kurang disamakan dengan pasal-pasal pokok mengenai undang-undang korupsi, yang paling rendah," ucapnya.
Dia menyebut meskipun Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Hasto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan, gugatan ini akan tetap dilanjutkan. Maqdir menilai pasal ini bisa saja digunakan oleh APH untuk menjerat orang lain. Kubu Hasto meminta MK untuk melakukan pertimbangan.
Diketahui, Pasal 21 UU Tipikor berbunyi: setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung ataupun tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Sebelumnya, Hasto didakwa telah melakukan perintangan penyidikan terhadap kasus Harun Masiku yang masih menjadi buron hingga saat ini. Hasto disebut telah memerintahkan Harun untuk kabur saat akan ditangkap oleh KPK pada 2020 lalu. Dia juga disebut menyuruh Stafnya, Kusnadi untuk menghilangkan barang bukti.
Namun, pada sidang putusan, Majelis Hakim menyatakan Hasto tidak terbukti melakukan penyidikan. Hasto dinyatakan bersalah melakukan suap dengan memberikan uang senilai Rp400 juta untuk menyuap eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, demi meloloskan Harun Masiku menjadi Anggota DPR RI 2019 silam.
Hasto pun divonis dengan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan penjara.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama
Masuk tirto.id


































