tirto.id - Ketegasan Ali Sadikin saat menjadi Gubernur Jakarta barangkali telah menjadi legenda. Suatu hari saat hendak menuju Menteng Wadas, Jakarta Selatan, sebuah truk bermuatan 8 ton pasir berjalan lamban di sebelah kanan ruas jalan. Akibatnya truk itu menghalangi mobil lain di belakangnya yang hendak mendahului.
Mobil yang ditumpangi Ali Sadikin tepat di belakang truk tersebut. Ia menyuruh sopirnya untuk membunyikan klakson agar truk bergeser ke sebelah kiri, masuk ke jalur lambat. Namun tak dihiraukan pengendara truk.
Ali Sadikin kemudian menyuruh sopirnya mengejar truk itu dan ia akan menghentikannya, tapi tetap saja tak dihiraukan sang sopir truk yang bahkan mencoba melarikan diri. Setelah terus dikejar, akhirnya truk berhenti.
“Truk siapa ini?” tanyanya.
“Truk ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) Pak,” jawab sopir truk.
Setelah memeriksa surat tugas dan SIM sopir truk, Ali Sadikin bertanya lagi.
“Apa Saudara tidak merasa bersalah?”
“Tidak Pak. Kan boleh saja jalan di sebelah kanan,” jawab sopir truk.
Purnawirawan KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut) itu naik pitam. Tangannya dua kali melayang menampar sopir truk.
“Apa Saudara tidak tahu, ini jalan jalur jalan cepat. Mau seenaknya saja memakai jalan ini seperti jalanmu sendiri. Saudara tidak menghiraukan orang lain. Saudara memalukan ALRI. Saya juga dari ALRI,” bentaknya.
Ali Sadikin mengisahkan kejadian itu dalam memoarnya yang ditulis Ramadhan K.H. bertajuk Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Perihal ikhtiar membenahi lalu lintas dan transportasi yang ruwet di Jakarta, dalam memoarnya Ali Sadikin mula-mula membeberkan perilaku para pengendara yang menurutnya “tidak lagi mengenal sopan santun lalu lintas, peri kemanusiaan, serta rasa kasihan”. Pendeknya, berengsek.
Dalam tahun terakhir jabatannya sebagai Gubernur Jakarta, ranking pertama pengendara berengsek itu diduduki sopir bus kota. Lalu sopir-sopir sipil yang mengendarai mobil tentara, kemudian pengendara sepeda motor dan para sopir helicak, minicar, dan sebagainya.
“Mengatur orang-orang bandel saya sampai harus bertindak keras,” ungkapnya.
Perhatian Ali Sadikin terhadap permasalahan transportasi di Jakarta dituturkan pula oleh Wardiman Djojonegoro, mantan stafnya yang juga pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam biografinya yang bertajuk Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa (2016).
Menurutnya, beberapa minggu setelah dilantik menjadi Gubernur Jakarta, Ali Sadikin langsung berkeliling Jakarta memakai bus. Ia mendapati sistem lalu lintas yang kacau, jumlah angkutan yang minim, dan para pengendara yang berperilaku seenaknya.
“Melihat kesemrawutan lalu lintas, Ali Sadikin pun turun ke jalan untuk menanggulanginya,” tulis Wardiman.
Kebijakan terhadap
Becak dan Bemo
Jakarta waktu itu masih dipenuhi becak yang lalu lalang di jalan-jalan utama. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor membuat becak, yang berjalan dengan tenaga manusia, semakin meruwetkan jalan raya.
Di pengujung 1970, Ali Sadikin membuat kebijakan untuk becak yang kala itu ramai diberitakan pelbagai media massa. Ia menertibkan becak di beberapa wilayah termasuk penentuan pangkalan becak.
Ia sadar, keputusannya itu memberatkan tukang becak karena wilayah operasi mereka menjadi terbatas. Namun ia yakin keputusannya adalah yang terbaik bagi pembenahan lalu lintas Jakarta yang acak-acakan.
“Percayalah, bahwa tujuan tindakan kami adalah baik, yakni untuk memperlancar lalu lintas dan untuk mengamankan jiwa pemakai jalan pada umumnya, termasuk jiwa para pengemudi becak sendiri,” ungkapnya saat memberikan keterangan kepada pers dan masyarakat.
Bersamaan dengan penertiban becak, kepolisian di wilayah hukum DKI Jakarta pun memberikan penerangan terhadap pengemudi becak, pejalan kaki, dan pengendara kendaraan bermotor tentang ketertiban berlalu lintas.
Setelah becak ditempatkan pada tiga zona operasi, angkutan umum di ruas-ruas jalan yang tak lagi dilalui becak digantikan bemo yang saat itu berjumlah 1.200 unit. Menurut Ali Sadikin, sebelum bemo dioperasikan, ia telah berpikir bahwa kendaraan itu suatu saat akan tersisih juga, sehingga ia membatasi bemo maksimal hanya 2.000 unit.
“Dan nanti, kalau bemo sudah banyak—pikir saya waktu itu—akan muncul masalah baru. Dan bemo akan harus diganti oleh kendaraan yang lebih menyenangkan lagi. Semua menghendaki perbaikan,” tambahnya.
Opelet ke Luar, Bus ke Dalam
Selain becak, pada 1972 Ali Sadikin juga menertibkan opelet. Angkutan umum yang sempat ngetop lewat sinetron Si Doel Anak Sekolahan itu dijadikan moda transportasi yang hanya melayani penumpang yang hendak ke arah luar kota, yakni ke daerah-daerah yang masih berada di sekitar Jakarta.
Kebijakan ini diambil karena opelet-opelet yang masih beroperasi di dalam kota sudah tua, bekas transportasi zaman Asian Games 1962. Sebagai penggantinya adalah bus yang didatangkan dari luar negeri sebanyak 500 unit. Proses pengadaan bus ini diceritakan Wardiman Djojonegoro dalam biografinya.
Menurutnya, sebelum bus-bus itu didatangkan, Pemda Jakarta terlebih dahulu membangun sejumlah prasarana lalu lintas dan angkutan seperti pembangunan terminal dalam kota di Lapangan Banteng, Blok M, Cililitan, Pulogadung, dan Grogol. Jembatan penyeberangan dibangun dan lampu lalu lintas diperbanyak.
Setelah prasarana transportasi dirasa mencukupi, Ali Sadikin baru menghitung kebutuhan armada angkutan bus berdasarkan jumlah penumpang pada pagi dan sore harinya. Ketika angka kebutuhan armada sudah didapat, Ali Sadikin meminta izin kepada pemerintah pusat untuk mendatangkan bus dari Amerika. Bus-bus baru tersebut lalu dioperasikan beberapa perusahaan swasta di antaranya Merantama, Arion, Pelita Jaya, Medal Sekarwangi, dan Ajiwirya.
“Alasan Ali Sadikin mendahulukan angkutan umum karena orang Jakarta harus bergerak supaya mudah bepergian dan bekerja. Penduduk Jakarta, terutama kalangan tidak mampu, tua muda, memerlukan angkutan sehari-hari,” tulis Wardiman.
Kekurangan Dana dan Membabat Aparat Nakal
Pembenahan transportasi publik di Jakarta tak pernah mudah, juga dana yang dihabiskan tak mungkin sedikit. Kondisi seperti ini pernah dirasakan juga oleh Ali Sadikin. Untuk menambah pemasukan, ia mengizinkan pemasangan iklan pada bus angkutan umum di Jakarta.
Kekurangan dana yang dialami Pemda DKI Jakarta saat dipimpin Ali Sadikin juga sempat memicu ketegangan. Sekali waktu, pemerintah pusat hendak menyerahkan pengelolaan Perusahaan Umum (Perum) DAMRI kepada Pemda DKI Jakarta. Hal ini tentu saja ditolak Ali Sadikin karena akan membebani APBD Jakarta.
Menurut Wardiman Djojonegoro, dalam sebuah rapat dengan pemerintah pusat, Ali Sadikin menolak dengan keras usulan tersebut. Di hadapan Emil Salim yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan, Ali Sadikin sangat emosi dan hampir menggebrak meja. Watak kerasnya sebagai mantan tentara kembali muncul. Akhirnya, Perum DAMRI tetap dikelola pemerintah pusat.
Dalam mengelola transportasi massal di Jakarta, Ali Sadikin juga mencoba mengatasi beberapa akar permasalahannya, yakni membabat aparat dinas perhubungan dan polisi nakal dalam jaringan calo angkutan, serta pembiaran terhadap sejumlah tindakan kriminal di dalam angkutan.
Rudy Hutapea (mantan pegawai DLLAJR), yang menjadi mahasiswa angkatan pertengahan 1960-an, dalam Soe Hok Gie Sekali Lagi (2009) menceritakan pengalamannya di Jalan Bungur, Jakarta Pusat, yang berfungsi sebagai terminal liar.
Menurut Rudy, sebelum Ali Sadikin membenahinya, daerah tersebut merupakan sarang tindak kriminal karena aparat birokrasi, kepolisian, calo, copet, dan jambret leluasa memeras rakyat. Tiket menjadi lebih mahal, sementara pelayanan buruk dan keamanan tak terjamin.
Ali Sadikin memimpin Jakarta selama sebelas tahun, dari 1966 sampai 1977. Saat ini pengelolaan transportasi publik di Jakarta menghadapi tantangan zaman yang berbeda.
Kehadiran MRT (Moda Raya Terpadu) yang belum lama ini diresmikan Jokowi kian menambah pilihan transportasi publik bagi warga Jakarta, terutama kalangan pekerja.
Ke depan—seperti juga yang pernah dialami Ali Sadikin—kebutuhan transportasi massal di Jakarta selalu berubah seiring kemajuan teknologi. Namun, ada yang tak boleh luput dari persoalan ini, yakni manusia.
Sebagaimana Ali Sadikin tak bosan-bosannya “menghajar” para pengendara yang merugikan orang lain di jalanan, juga aparatnya yang bandel, sekarang hal ini pun masih relevan. Dan satu lagi, para penumpang pun mesti bersikap saling menghormati dalam menggunakan transportasi publik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan