tirto.id - Barangsiapa pernah menikmati sayur lodeh di istana negara pasti akan mengacungkan jempol dibuatnya.
Kalimat itu ditulis Guntur Soekarno Putra ketika mengomentari hidangan yang tersaji di meja pertemuan Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarno Putri di Istana Merdeka, awal tahun 2023. Saat itu bangsa Indonesia sedang hangat-hangatnya membahas kandidat Presiden ke-8 RI.
Masih tutur Guntur, sayur lodeh yang di istana negara itu dibuat semirip mungkin dengan sayur lodeh yang digemari oleh sang proklamator cum Presiden ke-1 RI yang sekaligus ayahanda Guntur, yaitu Bung Karno. Apakah saya bisa mengomentari rasanya bahkan mengacungkan jempol dibuatnya? Tentu saja belum, karena siapalah saya bila dihadapkan pada para penikmat sayur lodeh khas istana negara itu.
Lain istana presiden, lain pula istana sultan. Sayur lodeh sempat pula viral di jagat medsos karena salah satu undangan pernikahan putra mahkota Kesultanan Brunei Darussalam membagikan foto menu makanan di acara royal wedding yang terjadi pada tanggal 15 Januari 2024 itu. Tersebutlah sayur lodeh pada daftar menu yang dirancang dengan font bergaya classic handwriting lengkap dengan penjelasan berbahasa inggris dan bersanding bersama hidangan sekelas wagyu, lobster, hingga kaviar. Mixed vegetables in coconut milk itu istilah bahasa Inggris dari sayur lodeh ala sultan, yang tentu saja membuat kening dan kantong ini seketika mengerut karena membayangkan penjelasan dengan gaya yang sama di resto-resto bintang lima.
Di balik 2 kisah yang bisa jadi membuat kita turut berbangga hati dan mengacungkan jempol seperti ajakan Bung Guntur tadi, sebenarnya sayur lodeh tetaplah hidangan sederhana meski akan tampak mewah bila dijelaskan sebagai mixed vegetables in coconut milk.
“Jelaslah sayur lodeh itu gampang dibikinnya, tinggal cemplung-cemplung sayuran trus aduk-aduk santan, jadi deh!”, begitu tukas Raihan Adam, kawan saya yang lulusan Seni Kuliner dari Poltekpar NHI Bandung.
Maka wajarlah kalau sayur lodeh bisa melanglang buana di meja makan berbagai kalangan, dari mulai kaum sarungan, abangan, negarawan, hingga para sultan.
Lantas apa saja sayur mayur yang biasanya dicampur dalam guyuran kuah santan itu?
Dalam buku Mustika Rasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno yang terbit pada tahun 1967, sayur lodeh yang disebut berasal dari Rembang itu memerlukan bahan-bahan seperti kacang panjang, terong, daun melinjo, kelapa dan kaldu.
Sementara, bumbu-bumbu yang diperlukan untuk membuatnya, antara lain bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit, tomat, laos, salam, gula merah dan garam. Dijelaskan pula berbagai ragam lodeh di buku itu, yang entah apakah Ir. Sukarno sendiri sudah pernah merasakan semuanya atau belum.
Ada lodeh bayam, lodeh daun singkong karet, lodeh jagung muda, lodeh jantung pisang, lodeh ikan cucut, lodeh kol, lodeh nangka muda, lodeh plonco, lodeh terong dan lodeh waluh jipang. Dari semua ragam dan bahan itu, kelapa yang menjadi bahan dasar santan bisa menjadi bukti kalau sayur lodeh terlahir di wilayah tropis, khususnya pesisir Samudera Hindia.
Dari masyarakat pesisir Samudra Hindia, bisa juga ditemukan catatan mengenai kaitan sayur lodeh dengan tradisi tolak bala. Konon katanya, bagi masyarakat Jawa, sayur lodeh sudah ada sejak abad ke-10 dan bertalian dengan letusan Gunung Merapi pada 1006, bahkan juga peristiwa bencana lainnya di tahun-tahun berikutnya.
Hubungan sayur lodeh pada masa bencana yang paling terkenal ialah saat Sultan Hamengkubuwono VIII memerintahkan warganya berdiam diri di rumah danmemasak sayur lodeh hingga wabah pes yang bermula di tahun 1931 itu berakhir. Lodeh pagebluk, begitu mereka menyebutnya, terdiri dari 7 bahan utama yang juga bisa bermakna pitulungan, karena angka 7 di masyarakat Jawa disebut dengan pitu.
Lalu, bagaimana nasib sajian tolak bala itu hari ini? Kalau dulu tolak bala, mungkin sekarang healing namanya. Di Lembang, Bandung Utara ada tempat bernama Kopi Piknik Lembang yang menjual all you can eat sayur lodeh. Harga yang tertera adalah Rp19 ribu, tentu saja sangat murah kalau dibandingkan dengan harga-harga all you can eat lainnya, semisal di restoran bergaya Jepang atau Korea.
Di situ kita bebas memilih berbagai topping untukpelengkap sayur lodeh mulai dari pepesan, tumisan hingga gorengan. Soal suasana bagaimana? Tentu saja tidak ada kebun bambu ala Warung Tuman BSD, Jakarta atau lanskap persawahan ala Kopi Klotok, Yogyakarta yang sepertinya menjadi sumber inspirasi dari menjamurnya berbagai resto lodeh prasmanan kekinian, tapi minimal di Kopi Piknik Lembang ada piring seng putih bermotif kembangan yang bisa mengobati kerinduan wisatawan atas nuansa pedesaan atau kampung halaman.
Dari yang all you can eat, mari bergeser ke sayur lodeh prasmanan ala Coffee Shop anak skena.
“Gow! Dreezel Coffee yang di Sersan Bajuri jualan sayur lodeh tuh!”, tukas Raihan saat kami sedang bingung memilih lokasi makan siang.
Begitu tiba di sana, saya terkagum-kagum dibuatnya, ada lorong masuk panjang bergaya industrial, berikut tangga-tangga yang terbuat dari batu alam, hingga ruang makan utama berupa pendopo besar yang ditopang oleh 4 tiang soko guru berbahan baja, serta tentu saja ada teras berkerikil abu-abu ciri khas dari tongkrongan coffee shop skena.
Belum selesai di situ, tempat memesan sayur lodehnya pun berada di sisi belakang kafe, seperti dapur rumahan. Berikutnya yang paling menarik, sebelum kita mengambil lodeh secara prasmanan, kita dituntut untuk mengambil piring sendiri di salah satu lemari, seperti kalau kita makan di rumah sendiri dan tentu saja piringnya pun pasti berbahan seng dan bermotif kembangan.
Lantas kemana lagi sayur lodeh akan melanglang buana? Sajian yang katanya sederhana itu ternyata malah bisa menyelinap kemana-mana dan di mana pun dia berada, ingatan kita akan tetap dibawanya pulang pada hangatnya meja makan rumahan. Meski mungkin ada mengingat nenek, ibu atau malah sang bibi alias asisten rumah tangganya. Namun apapun itu, hadirnya sayur lodeh yang sederhana dan katanya punya kekuatan tolak bala itu di meja jamuan istana, antrian makan tempat wisata, hingga coffee shop skena menunjukkan bahwa sepertinya semua orang ingin menjadi sederhana atau minimal ingin terlihat sederhana.
Editor: Nuran Wibisono