Menuju konten utama

Saat Prabowo Bertaruh Lewat Badan Penerimaan Negara

Apakah pembentukan Badan Penerimaan Negara yang kini masuk dalam RKP 2025 benar-benar bisa menjadi jawab cepat atas ancaman shortfall pajak tahun berjalan?

Saat Prabowo Bertaruh Lewat Badan Penerimaan Negara
Presiden Prabowo Subianto saat akan melantik menteri dan wakil menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/9/2025). (Foto: Cahyo - Biro Pers Sekretariat Presiden)

tirto.id - Ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) kembali ditunjukkan. Ini setelah Kepala Negara mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025. Perpres ini, menjadikan pembentukan BPN sebagai bagian dari salah satu Program Hasil Terbaik Cepat.

“Mendirikan Badan Penerimaan Negara dan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto ke 23 persen," tulis poin kedelapan dalam bagian Program Hasil Terbaik Cepat dalam RKP 2025 pada lampiran Perpres 79/2025, dikutip Rabu (17/9/2025).

Rencana pembentukan BPN disajikan dalam sebuah tabel bersama tujuh Program Hasil Terbaik Cepat lainnya yakni, Makan Bergizi Gratis (MBG); cetak sawah; Cek Kesehatan Gratis (CKG); membangun sekolah-sekolah unggulan di tiap kabupaten; hingga menaikkan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama yang berprofesi sebagai guru, dosen, tenaga kesehatan, dan penyuluh, TNI/Polri, serta pejabat negara. Program ini dijadikan instrumen oleh pemerintah untuk mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia.

BPN yang akan dibangun oleh Prabowo ini bertujuan mengoptimalkan dan menyatukan pengelolaan pendapatan negara, termasuk dari penerimaan perpajakan, pajak dan bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak. Dengan menjadikan dalam satu badan, harapannya pengelolaan pendapatan negara bisa lebih efisien dan efektif, serta mampu mengurangi potensi kebocoran penerimaan negara yang masih kerap terjadi sampai kini.

Dalam kaitannya dengan RKP 2025, Prabowo berharap BPN dapat menjadi alat untuk mencapai target penerimaan negara yang dipatok mencapai 12,36 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan target penerimaan perpajakan dipatok sebesar 10,24 persen terhadap PDB. Ini lebih tinggi dari batas bawah target dalam RKP 2025 dalam Perpres 104/2024 yang sebesar 10,1 persen terhadap PDB, namun lebih rendah dari batas atas taget penerimaan perpajakan dalam beleid itu yang sebesar 10,3 persen dari PDB.

“Optimalisasi pendapatan negara diarahkan pada upaya perbaikan administrasi dan pemungutan perpajakan yang lebih efektif sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2O2l tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha, serta optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan tetap menjaga kualitas layanan publik dan kelestarian lingkungan," bunyi lampiran Perpres 79/2025.

Wajar sekiranya bagi Prabowo untuk mendorong pendirian BPN kali ini. Sebab ini menjadi pertaruhan Kepala Negara untuk mendongkrak penerimaan yang sampai hari ini masih cukup seret. Shortfall atau realisasi penerimaan pajak yang lebih rendah dari target diperkirakan melebar tahun ini. Penerimaan pajak tahun fiskal 2025 hanya akan terkumpul sebesar Rp2.076,9 triliun atau 94,9 persen dari target sebesar Rp2.189,3 triliun.

Pun hingga pertengahan tahun ini, realisasi penerimaan pajak belum mencapai 50 persen. Sampai akhir Juli 2025 penerimaan pajak tercatat baru terkumpul sebesar Rp990,01 triliun atau mencapai 45,2 persen dari yang ditargetkan.

Jika dirinci, realisasi penerimaan pajak netto pada posisi akhir Juli kemarin terdiri dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan senilai Rp174,47 triliun atau 47,2 persen dari target APBN 2025. Kemudian, ada PPh Orang Pribadi sebesar Rp14,98 triliun atau 98,9 persen dari target APBN 2025.

Sedangkan, untuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan PPN atas Barang Mewah (PPnBM) tercatat sebesar Rp350,62 triliun atau setara 37,1 persen dari target APBN 2025. Selanjutnya, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dilaporkan sebesar Rp12,53 triliun atau sekitar 12,53 persen dari target.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengakui bahwa realisasi penerimaan pajak netto pada posisi Juli 2025 itu tercatat turun 5,29 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya terjadi karena tingginya restitusi atau pengembalian pajak.

Meski begitu, ia tak merinci besaran restitusi pajak yang dibayarkan pemerintah. Namun demikian, secara bruto setoran pajak ke negara sudah mencapai Rp1.269,44 triliun, tumbuh dibandingkan posisi akhir semester I 2025 yang baru mencapai Rp1.087,8 triliun.

"Realisasi Bruto kami itu konsisten, mulai tumbuh positif sejak bulan Maret, in total Rp1.269, triliun, sementara karena restitusi cukup tinggi, itu Rp990,01 triliun," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).

Penerimaan Tertahan, Struktur Terfragmentasi

Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, melihat bahwa akar masalahnya saat ini adalah penerimaan pajak melambat. Sampai pertengahan tahun, capaian penerimaan terhadap target cenderung menumpuk di kisaran 40–50 persen, dengan beban akselerasi yang berat di semester kedua.

Pada saat yang sama, kata dia, pos-pos konsumsi yang menjadi tulang punggung basis pajak—seperti PPN—sering kali menunjukkan pelunakan sejalan moderasi permintaan domestik dan harga komoditas yang tidak setinggi periode puncak.

"Jika tidak ada push administrasi yang berarti, kita berhadapan dengan risiko shortfall yang nyata," ucap dia dalam pernyataanya, Kamis (18/9/2025).

Masalah lebih dalam adalah arsitektur administrasi penerimaan yang masih terfragmentasi. Pajak, bea-cukai, dan PNBP berjalan dalam silo fungsi, data, dan proses yang berbeda. Akibatnya, kata dia, negara kerap kehilangan 'pemandangan utuh' atas wajib bayar, Ini membuat perusahaan dengan margin tinggi tetapi setoran rendah, pola restitusi yang tidak selaras dengan profil risiko, atau praktik under/over invoicing lintas dagang yang menipiskan basis.

"Ketika data tidak menyatu, penegakan berbasis risiko pun kehilangan ketajaman. Di sinilah BPN ditawarkan sebagai instrumen integrasi yang diharap memulihkan single taxpayer & trader view dan menyatukan alur pendaftaran, pelaporan, pembayaran, restitusi, penagihan, sampai penindakan dalam satu orkestrasi," jelas dia.

Achmad menilai, gagasan BPN bukan sekadar menukar papan nama, melainkan membangun 'otak tengah' penerimaan negara. Dengan BPN, kebijakan tetap di Kementerian Keuangan agar keselarasan makro fiskal terjaga, sedangkan fungsi pemungutan dan penegakan ditaruh pada satu entitas operasional yang lincah, akuntabel, dan diikat kontrak kinerja yang terukur.

"Karena itu, berharap BPN menutup celah penerimaan tahun ini juga adalah ekspektasi yang tidak selaras dengan watak kerja reformasi kelembagaan yang bertahap," sebutnya.

Mampukah BPN Jadi Jawaban Atas Potensi Shortfall?

Alih-alih dapat menutup celah penerimaan, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, justru menilai BPN tidak akan serta-merta menjadi jawaban atas potensi shortfall yang menghantui Indonesia di akhir tahun ini.

Berdasarkan penelitian di banyak negara, BPN identik dengan implementasi Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA), model kelembagaan ini digadang-gadang terpisah dari Kemenkeu. Karena bentuknya adalah semi otonom, perlu dilihat lagi seberapa jauh lembaga baru tersebut memiliki otonomi.

“Namun demikian, pendirian BPN bisa menjadi pilihan paling rasional pada saat ini ketika berbagai upaya konkret sejak 2008, ternyata rasio pajak tak kunjung terkerek naik secara signifikan. Karena lembaga BPN itu belum ada, siapapun dapat memprediksi bagaimana BPN tersebut di masa mendatangnya,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (17/9/2025).

Menyitir penelitian dari Matilde Jeppesen (2021) yang berjudul ‘What we hoped for and what we achieved: Tax performance of Semi‐Autonomous Revenue Authorities in sub‐Saharan Africa’, di Afrika Sub-Sahara, implementasi awal SARA merupakan bagian dari dorongan yang lebih besar untuk reformasi kelembagaan: lembaga-lembaga yang lebih otonom dibentuk untuk memisahkan administrasi dari kepentingan politik. Dus, SARA diharapkan dapat melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan seefektif mungkin dan jauh lebih berorientasi pada layanan.

Namun, di banyak negara juga pimpinan SARA yang diangkat dan diberhentikan langsung oleh presiden dan pendanaan yang seringkali tidak didasarkan pada kinerja SARA, melainkan pada alokasi anggaran tahunan membuat SARA rentan terhadap tekanan politik. Pada kondisi ini, kendali atas SARA tidak bisa sepenuhnya dijauhkan daric awe-cawe presiden, Kementerian Keuangan, dan parlemen, yang pada akhirnya akan melemahkan kemampuan lembaga yang seharusnya memiliki otonominya sendiri itu.

Jika demikian, dampak yang diharapkan dari penerapan SARA terhadap kinerja perpajakan akan jauh lebih terbatas. “Prediksi apapun akan didasarkan pada asumsi yang melatarbelakanginya. Jika perspektifnya optimis, sisi-sisi keunggulan dari BPN sebagai SARA tersebut akan mengemuka. Akan tetapi, bila perspektifnya negati atau peyoratif, sisi-sisi kelemahan dari BPN tersebut akan lebih mengemuka,” tambah Prianto.

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menambahkan pembentukan lembaga semi otonom penerimaan negara seperti BPN tidak boleh diartikan sebagai cara singkat untuk meningkatkan penerimaan negara atau rasio pajak (tax ratio). Sebaliknya, pembentukan SARA harus didasarkan pada aspek reformasi birokrasi atau kelembagaan.

Sejarah mencatat, tidak sedikit SARA di berbagai negara gagal karena ditekan target penerimaan yang terlalu tinggi. Selain itu, merujuk pada praktik di negara lain serta studi ilmiah yang pernah dilakukan, pembentukan SARA seperti BPN malah diragukan akan menjadi ‘game changer’ untuk meningkatkan tax ratio secara signifikan.

“Pada kenyataanya, pembentukan BPN bukanlah sebagai silver-bullet untuk meningkatkan penerimaan perpajakan,” kata Fajry kepada Tirto.

Ada banyak hal yang perlu dilakukan secara paralel agar pembentukan BPN bisa berhasil, yakni memastikan lembaga semi otonom itu bebas dari pengaruh politik, tetap menjaga disiplin fiskal dengan target penerimaan pajak tetap rasional, serta ada kepercayaan yang kuat terhadap pemerintah.

Kemudian, perlu pula ada investasi pada infrastruktur dan teknologi informasi dalam rangka memodernisasi administrasi, melembagakan sebuah organisasi berdasarkan standar etika dan profesional yang tinggi, perubahan proses bisnis, dan menghapus praktik clientelism dalam birokrasi.

“Untuk itu, saya melihat jika pembentukan BPN tidak akan menyelesaikan masalah shortfall penerimaan pada APBN 2025. Justru, saya melihat perlunya koordinasi dan sinergi yang erat antara lembaga yang menghasilkan penerimaan (DJP dan DJBC) dengan lembaga yang merancang kebijakan (DJSEF) ketika ketidakpastian ekonomi masih tinggi seperti sekarang,” jelas Fajry.

Alih-alih membentuk lembaga baru, akan lebih efektif bagi pemerintah untuk melakukan intensifikasi, salah satunya dengan menyisir kembali wajib pajak-wajib pajak besar untuk meningkatkan penerimaan negara.

“Menurut saya, hal tersebut lebih efektif meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek dibanding membentuk BPN. Meski demikian, belum lama, Wakil Ketua DEN (Dewan Ekonomi Nasional), Bu Mari Elka mengkritik hal tersebut, seharusnya fokus pada kepatuhan bukan pendapatan,” tukas Fajry.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Dwi Aditya Putra