Menuju konten utama

Saat Korupsi Makin Ganas, Penegak Hukum Malah Melemah

Tahun 2024 terjadi penurunan penindakan kasus korupsi, terkecil 5 tahun terakhir. Di saat bersamaan, potensi kerugian negara naik hampir 9 kali lipat.

Saat Korupsi Makin Ganas, Penegak Hukum Malah Melemah
Ilustrasi penyuapan. tirto.id/Gery

tirto.id - Budaya korupsi tak bakalan tercerabut tuntas apabila kinerja jajaran aparat penegak hukum membasmi koruptor justru mengendur.

Jebloknya upaya pemberantasan korupsi tergambar jelas dari turunnya jumlah penanganan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Polisi. Berdasar laporan terbaru Indonesia Corruption Watch (ICW), lembaga swadaya pemantau korupsi, sepanjang 2024 terdapat 364 kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang disidik aparat penegak hukum.

Jumlah tersebut lebih rendah sekitar 54 persen dari total 791 kasus yang disidik pada 2023. Angka tersebut juga menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir, berdasar rangkuman ICW.

Meskipun jumlah kasus yang disidik berkurang, perilaku korup tetap mengganas. Hal ini bisa dilihat dari naiknya estimasi kerugian negara yang berhasil diungkap tahun 2024, mencapai Rp279,9 triliun. Sementara pada 2023, total kerugian negara diestimasikan Rp28,4 triliun.

Meski ICW sendiri memberi catatan, pada 2024, angka bengkak itu secara signifikan dipengaruhi oleh perkara korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di lingkungan PT Timah Tbk dengan kontribusi sekitar Rp271 triliun atau 96,8 persen dari total kerugian korupsi tahun lalu. Artinya, di luar kasus PT Timah aparat penegak hukum hanya mampu mengungkap kerugian negara sebesar Rp8,9 triliun pada 2024.

Selain total kasus yang disidik menurun drastis, jumlah tersangka pada 2024 juga menukik tajam. Tahun 2024 total tersangka ada 888 orang, turun jauh dari 2023 yang menjerat 1.695 orang.

"Penurunan jumlah kasus dan tersangka yang ditangani oleh aparat penegak hukum tidak serta merta menunjukkan bahwa kasus korupsi di Indonesia menurun. Penurunan jumlah kasus dan tersangka ini, menurut analisis ICW, mencerminkan merosotnya kinerja aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana korupsi," bunyi poin simpulan dalam laporan ICW.

Terdapat tiga faktor yang mereka soroti terkait penurunan penanganan tindak pidana korupsi. Pertama, aparat penegak hukum (APH) tidak transparan dalam mempublikasikan data kinerja penindakan. Kedua, fungsi koordinasi dan supervisi antara KPK dengan APH lainnya tidak berjalan optimal. Ketiga, aduan masyarakat kerap tidak ditindaklanjuti secara serius oleh APH.

KPK Mulai Stagnan?

Mantan penyidik senior KPK sekaligus pegiat antikorupsi, Praswad Nugraha spaham. Menurut dia, laporan ICW terkait tren penurunan jumlah kasus korupsi yang ditangani KPK, Polri, dan Kejaksaan memang tidak serta-merta dapat dimaknai menurunnya praktik korupsi di Indonesia. Justru, berdasar pengalaman empiris Praswad, tren penurunan adalah pertanda praktik korupsi di lapangan cenderung kian beradaptasi dan kompleks.

Penurunan kasus tipikor yang masuk tahap penyidikan mencerminkan lemahnya political will, keterbatasan kapasitas, atau bahkan meningkatnya intervensi penegak hukum.

“Dengan kata lain, angka yang menurun belum tentu realitas korupsi menurun, tetapi bisa juga mencerminkan makin rapuhnya deteksi dan penindakan,” kata Praswad kepada wartawan Tirto, Rabu (1/10/2025).

Secara rinci jika mengacu laporan ICW, pada 2024 Kejaksaan menyidik 236 kasus dengan total 648 tersangka; polisi 83 kasus dengan 191 tersangka; serta KPK 18 kasus dengan 49 tersangka. Dari total 18 kasus yang ditangani KPK, hanya lima kasus yang diungkap dengan OTT alias Operasi Tangkap Tangan.

Menurut Praswad, kinerja KPK bisa disebut masih jauh dari standar harapan publik. Jumlah tersangka KPK mengalami penurunan sampai 67 persen dari 2023, yang mencapai hingga 147 tersangka dari 48 kasus.

MALAM RENUNGAN

Anggota Wadah Pegawai KPK membawa nisan bertuliskan RIP KPK saat melakukan aksi di gedung KPK Jakarta, Selasa (17/9/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama.

Sejak revisi Undang-Undang KPK, kasus dan tersangka yang ditangani komisi antirasuah di tahun-tahun berikutnya tidak pernah melebihi kasus yang ditangani pada tahun 2019 atau sebelum UU KPK direvisi. Praswad memandang, minimnya jumlah perkara yang ditangani KPK, di tengah menjamurnya korupsi pada sektor sumber daya alam (SDA), pendidikan, dan infrastruktur, menandakan lembaga itu cenderung mengalami stagnasi kelembagaan.

Penurunan tren penindakan korupsi KPK, Kejaksaan, dan Polisi menimbulkan paradoks. Ini menunjukkan saat kebutuhan publik terhadap integritas dan transparansi meningkat, aparat malah menunjukkan penurunan kinerja.

“Hal ini harus menjadi evaluasi keras bagi pemerintah untuk memperkuat independensi penegak hukum, memperbaiki koordinasi antarlembaga, serta mengembalikan semangat equality before the law,” terang Praswad.

Sejumlah satuan kerja absen melakukan penindakan kasus korupsi

Staf Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Zararah Azhim Syah, lewat paparannya yang tayang di kanal YouTube Sahabat ICW, Selasa (30/9/2025), menilai salah satu faktor penyebab turunnya angka penindakan tipikor pada 2024 adalah minimnya informasi yang disampaikan aparat penegak hukum, terutama polisi dan kejaksaan. Sehingga, membuat satuan kerja di dua instansi tersebut ada yang sama sekali tak melakukan penindakan penanganan korupsi.

"Kami menemukan banyak satuan kerja di kejaksaan maupun di kepolisian yang sama sekali tak melakukan penindakan kasus korupsi di tahun 2024," jelasnya

ICW mencatat, terdapat enam Kejaksaan Tinggi, 292 Kejaksaan Negeri, 63 Cabang Kejaksaan Negeri, 14 Kepolisian Daerah, dan 445 Kepolisian Resor yang informasinya minim sehingga diduga tidak menangani kasus korupsi di tahun 2024 sama sekali. Selain itu, dari total 200 penindakan perkara yang ditargetkan KPK pada tahun 2024, KPK hanya mampu menangani sebanyak 48 perkara, dan terdapat 158 perkara yang belum ditangani oleh KPK.

Menurut Azhim, faktor lain penyebab turunnya kinerja aparat penegak hukum karena terjadi kebijakan kontraproduktif yang dikeluarkan oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Yakni saat Jaksa Agung dan Kapolri mengeluarkan kebijakan menunda penindakan korupsi yang melibatkan peserta pemilihan umum (Pemilu) 2024 lalu.

Padahal, sirkulasi elite adalah arena potensi kasus korupsi yang sangat besar. Penindakan terhadap peserta pemilu seharusnya bisa menjadi filter, agar masyarakat tidak disuguhkan calon-calon pemimpin yang kotor dan diduga terlibat korupsi.

Sementara itu, di tengah eskalasi kerugian negara yang begitu fantastis pada 2024, pasal pemulihan aset hasil Tipikor baik melalui pasal pencucian uang maupun Pasal 18 UU Tipikor malah tidak dijadikan instrumen utama dalam memulihkan aset hasil tindak pidana korupsi.

“Dari 364 kasus yang ditangani hanya terdapat 48 kasus yang ditangani dengan Pasal 18 UU Tipikor dan lima kasus yang ditangani dengan Pasal pencucian uang,” ujar Azhim.

ICW mendesak pemerintah dan DPR segera membentuk produk legislasi yang mendukung upaya pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum. Di antaranya melalui revisi UU Tipikor yang secara substansi harus menganut sejumlah ketentuan dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

“DPR dan Pemerintah juga harus segera membahas, mengesahkan, dan mengundangkan RUU Perampasan Aset terkait Tindak Pidana sebagai upaya untuk memulihkan aset hasil kejahatan korupsi,” sambung Azhim.

Gerakan Antikorupsi Mulai Jengah

Menurut peneliti Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, praktik korupsi memang tidak surut meski kasus yang disidik jumlahnya terjun bebas. Asumsi ini, kata dia, terbukti dari meningkatnya estimasi kerugian negara yang membengkak. Paradoks itu memperlihatkan pemberantasan korupsi tengah kehilangan fungsi sebagai instrumen kontrol kekuasaan, dan bergeser menjadi sekadar ritual formal.

Selama dua dekade terakhir, Bagus menilai penindakan tersangka korupsi menjadi wajah paling menonjol dalam pemberantasan korupsi, terutama lewat OTT KPK yang ditakutkan para koruptor.

Namun, pendekatan berbasis penangkapan ini terbukti tidak cukup mempan menurunkan tingkat korupsi secara sistemik. Korupsi tetap tumbuh karena akar masalahnya adalah patronase dan konflik kepentingan di ranah politik yang tidak tersentuh dalam penegakan hukum di Indonesia.

OTT BUPATI KEPULAUAN MERANTI

Suasana ruang kerja humas Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti yang disegel Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kepulauan Meranti, Riau, Jumat (7/4/2023). ANTARA FOTO/Rahmat Santoso/Lmo/foc.

Dalam konteks itu, kata Bagus, penurunan angka perkara korupsi bisa dibaca sebagai indikasi bahwa gerakan antikorupsi di Indonesia sudah mengalami masa maturity (kematangan). Hal ini identik dengan kejengahan dalam strategi pemberantasan korupsi konvensional seperti OTT atau ceramah pembekalan antikorupsi.

Sering kali kejengahan dalam gerakan antikorupsi ini dibungkus dengan narasi pembenaran semisal ‘pergeseran genre’ dari penindakan ke pencegahan. Alih-alih memperkuat strategi pencegahan dengan serius, pergeseran tren ini justru mencerminkan penurunan komitmen politik dan kemandirian institusi penegak hukum.

“Penindakan yang menurun drastis terutama di Polri dan KPK, lebih banyak memperlihatkan keterbatasan dua institusi ini dalam menangani kasus-kasus korupsi besar,” ucap Bagus kepada wartawan Tirto, Rabu (1/10/2025).

Anomali tahun politik

Sementara Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menilai jumlah penanganan korupsi 2024 yang turun memang menjadi anomali. Pasalnya, tahun 2024 adalah tahun politik yang diwarnai Pemilu dan Pilkada. Seharusnya, kata Lakso, proses penanganan kasus korupsi bisa tinggi karena potensi kebutuhan pembiayaan politik juga naik.

Menurutnya, independensi pimpinan penegak hukum punya perananan penting. Pada 2024 terjadi transisi penting dari KPK, sehingga melemahnya posisi KPK saat akan bergesernya kursi kepemimpinan berpengaruh pada kinerja penegakan hukumnya. Pada sisi lain, ungkap Lakso, fokus Kepolisian dan Kejaksaan Agung dalam Pemilu 2024 yang mengendur dalam kasus tipikor, mengindikasikan ada fokus berbeda dalam penegakkan hukum di periode itu.

“Padahal seharusnya fungsi penegakan hukum korupsi menjadi salah satu fokus strategis dalam menghindari korupsi. Independensi penegakan hukum adalah kunci menghindari berbagai intervensi politik,” tutur Lakso kepada wartawan Tirto, Rabu (1/10/2025).

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto