tirto.id - Polemik perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi salah satu isu yang hangat di bulan pembuka tahun 2023. Bagaimana tidak, pada 17 Januari 2023 lalu sejumlah kepala desa melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR RI.
Tuntutan mereka adalah penambahan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Undang-undang No. 6/2014 tentang Desa memang mengatur masa jabatan kepala desa sepanjang 6 tahun. Dengan tiga kali periode maksimal dipilih kembali, maka masa jabatan kepala desa bisa mencapai 18 tahun.
Alasan dari tuntutan ini adalah waktu menjabat yang terlalu singkat. Dalihnya masa bakti 6 tahun disebut tidak cukup untuk membangun desa. Kondisi politik di desa yang rawan konflik pascapilkades diklaim membuat para kepala desa butuh waktu lebih untuk bisa mengkonsolidasikan semua perangkat desa. Perpanjangan masa jabatan ini disebut menjadi salah satu solusinya.
Tentu hal ini menuai pro dan kontra, apalagi selain masa jabatan, tuntutan para kepala desa juga menyoal ke alokasi pemanfaatan dan besaran Dana Desa.
Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa setidaknya ada tiga masalah yang mungkin ditimbulkan jika perpanjangan masa jabatan ini terealisasi. Mulai dari oligarki di tingkat desa yang makin subur, pertentangan dengan UUD 1945 dan semangat reformasi 1998 yang menekankan pada limitasi kekuasaan di cabang eksekutif, sampai dengan indikasi dilakukannya upaya perpanjangan masa jabatan bagi lembaga eksekutif dan legislatif lainnya kemudian.
Muncul pula kekhawatiran masa jabatan yang semakin panjang akan memperkuat posisi kepala desa dan melemahkan fungsi kontrol yang memperkuat potensi korupsi.
"Karena jika seseorang menjabat, kekuasaannya lama, maka dalam kekuasaan itu akan begitu terkonsolidasi sehingga mematikan fungsi-fungsi pengawasan, kontrol, saling mengimbangi," ujar Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman, dikutip dari BBC.
Kondisi ini diperkuat dengan fakta kalau perangkat desa adalah sektor yang paling banyak terkait dengan kasus korupsi. Paling tidak, hal ini tergambar dari temuan ICW yang dituangkan pada Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Korupsi Semester I Tahun 2022.
Laporan tersebut juga mencatat pada tahun 2021 ada 154 kasus korupsi di wilayah desa. Dari total kasus tersebut 245 orang tersangka setidaknya terlibat dan total kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp233 miliar.Jumlah ini naik tajam dari tahun 2015, ketika program Dana Desa pertama kali diimplementasikan, dengan 17 kasus korupsi di wilayah desa dengan total kerugian "hanya" Rp10,1 miliar.
"Sejak diterbitkan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, ICW mencatat kenaikan yang cukup konsisten terhadap kasus korupsi yang ada di desa," begitu salah satu simpulan laporan menyoroti kasus korupsi di desa. Beleid yang dimaksud sendiri menjadi dasar penyelenggaraan Dana Desa.Laporan juga menyebut kalau 85 persen kasus korupsi yang terjadi di wilayah desa berkaitan dengan Dana Desa, sementara 15 persen sisanya terkait dengan penerimaan desa. Melihat tren yang ada, ICW juga mengatakan kalau peran Satgas Dana Desa, yang dibentuk pada tahun 2018 tidak menunjukkan kontribusi yang signifikan untuk mitigasi tindakan pidana korupsi.
Senada, kepala desa menjadi salah satu aktor pelaku korupsi terbanyak pada semester I tahun 2022 menurut laporan tersebut, hanya di bawah pegawai pemerintah daerah dan swasta.
ICW juga mencatat korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum antara 2015-2021. Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.Sejalan dengan temuan ICW, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menyebut ada 601 kasus korupsi terkait Dana Desa yang melibatkan 686 kepala desa atau perangkat desa antara tahun 2012-2021. Kondisi ini membuat korupsi Dana Desa masuk dalam tiga besar kasus korupsi terkait pengelolaan keuangan.
ICW juga sempat memaparkan beberapa sebab maraknya kasus korupsi di lingkup desa. Faktor pertama adalah minimnya pelibatan dan pemahaman warga akan proses pembangunan desa. kedua, minimnya fungsi pengawasan di desa. Ketiga, soal keterbatasan akses informasi keuangan desa yang terkait juga dengan transparansi. Terakhir, keterbatasan kemampuan dan ketidaksiapan kepala perangkat desa dalam mengelola uang dalam jumlah besar.
Alokasi Dana Desa dan Efektivitasnya
Terlepas dari persoalan korupsi yang membayangi sejak pertama kali diadakan, Dana Desa dimaksudkan sebagai sumber dana untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara mandiri. Alokasi Dana Desa selama ini diambil dari APBN yang disalurkan lewat APBD Kabupaten/Kota.
Kementerian Keuangan menjabarkan penggunaan Dana Desa diproritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ditunjukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia, serta penanggulangan kemiskinan.
Pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari Dana Desa diutamakan dilakukan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya/bahan baku lokal dan diupayakan banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat desa setempat.
Perlu diketahui bahwa sejak disalurkan tahun 2015, nilai alokasi Dana Desa cenderung naik, dari Rp 20 triliun pada 2015, hingga naik 3,4 kali lipat, mencapai Rp 70 triliun di tahun 2023. Jika ditotal, alokasi Dana Desa dari tahun 2015 sampai 2023 mencapai Rp 538,9 triliun.
Menukil catatan Kemenkeu, terdapat lebih dari 74.900 desa yang menerima Dana Desa pada 2023, meningkat dibanding sekitar 74.000 desa tahun 2015. Jika melihat rata-rata jumlah yang didapat per desa, pada tahun 2023 nilainya mencapai Rp933,9 juta. Peningkatan signifikan dibanding tahun 2015, ketika rata-rata alokasi Dana Desa yang diterima per desa adalah sebesar Rp280,77 juta.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mencatat ada sejumlah hasil dari Dana Desa yang dikucurkan dalam 8 tahun belakangan.Pertama kontribusi dalam pembangunan infrastruktur desa. Kemendes PDTT mencatat adanya Dana Desa membuat pembangunan sejumlah sarana dan prasarana penunjang aktivitas ekonomi masyarakat dan terkait dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat desa.
Terkait pembangunan sarana penunjang aktivitas ekonomi, menurut data Kemendes PDTT, Dana Desa sejak tahun telah berkontribusi terhadap terbangunnya 311.656 km jalan desa, 1,6 juta meter jembatan, 12.297 unit pasar desa, 42.370 kegiatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), 7.420 unit tambatan perahu, 5.413 unit embung, 572.812 unit sarana irigasi, dan 249.415 unti penahan tanah.
Dalam Buku Pintar Dana Desa, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kalau lewat sarana dan prasarana tersebut, desa punya kesempatan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat, lewat pelatihan dan pemasaran kerajinan masyarakat, pengembangan usaha peternakan dan perikanan dan pengembangan kawasan wisata lewat BUMDes.
Selain, kembali ke data Kemendes PDTT, adanya Dana Desa juga disebut memungkinkan pembangunan sarana penunjang kualitas hidup masyarakat. Sebanyak 29.430 unit sarana olahraga, 1,5 juta unit sarana air bersih, 444.465 unit MCK, 14.462 unit pondok bersalin desa, 45,8 juta meter drainase, 66.727 PAUD, 42.388 unit Posyandu, hingga 76.669 unit sumur dapat terealisasi berkat adanya Dana Desa.
Selanjutnya, Dana Desa juga disebut berkontribusi terhadap penurunan tingkat kemiskinan di desa. Menurut data BPS, sejak penyaluran Dana Desa pada tahun 2015, tingkat kemiskinan di desa menunjukkan tren menurun hingga 12,36 persen pada tahun 2022 (semester II) dari 14,09 persen pada periode yang sama di 2015.
Berdasar rangkuman data dari BPS pula, penduduk miskin perdesaan pada September tahun 2015 mencapai 17,89 juta jiwa dan pada September tahun 2022 jumlahnya berkurang menjadi 14,38 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin sempat naik pada tahun 2020, ditengarai akibat pandemi COVID-19.Terakhir, Dana Desa juga disebut turut mendorong peningkatan status desa menjadi desa mandiri. Status desa ini diukur berdasar Indeks Desa Membangun (IDM). Indeks ini disusun dari sejumlah indikator seperti ketahanan sosial (pendidikan, kesehatan, modal sosial, dan permukiman), ketahanan ekonomi (produksi masyarakat, akses ke pasar, akses logistik, akses perbankan, keterbukaan wilayah), dan ketahanan lingkungan/ekologi (kualitas lingkungan, bencana alam, tanggap bencana).
Berdasar indeks tersebut kemudian desa diklasifikasi menjadi lima; desa sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju, dan desa mandiri. Melihat perkembangannya semenjak ada Dana Desa, jumlah desa mandiri memang meningkat drastis jumlahnya.
"Dana Desa yang disalurkan dari APBN menjadi wujud nyata rekognisi desa. Hasilnya dapat kita lihat pada peningkatan status desa," ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar dalam unggahan resmi Kemendes PDTT, 17 Januari 2023.
Dia menjabarkan dari total 74.941 desa di seluruh Indonesia, ada 6.238 desa mandiri pada tahun 2023. Jumlah ini meningkat drastis dari hanya 174 desa mandiri pada 2015. Jumlah ini juga telah melewati target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024, yang mencanangkan 5 ribu desa mandiri.
Di spektrum yang berlawanan, jumlah desa tertinggal dan sangat tertinggal mengalami penurunan jumlah yang cukup signifikan. Desa dengan status tertinggal tahun 2015 menjadi yang paling domininan dengan jumlah 33.592 desa. Tahun 2022 jumlahnya terpotong lebih jadi 9.584 desa tertinggal. Desa sangat tertinggal juga mengalami penurunan jumlah dari 13.453 pada tahun 2015, jadi tinggal 4.982 desa pada 2022.
Selain dari klaim pemerintah, sudah ada sangat banyak dan beragam jurnal ilmiah yang menjadikan efektivitas pemanfaatan Dana Desa di sejumlah daerah sebagai objek penelitiannya. Terdapat sejumlah penelitian yang mendapatkan alokasi Dana Desa di daerahnya terhitung efektif, misal di Desa Dedekadu, Kabupaten Sumba Barat dan Desa Silondou, Kabupaten Tolitoli.Namun, terdapat pula studi yang menyebut pemanfaatan Dana Desa yang dinilai belum secara substantif menyentuh makna pemberdayaan ataupun studi yang menyebut masih kurangnya transparansi dan pelibatan masyarakat dalam penggunaan Dana Desa.
Upaya Pencegahan Korupsi Dana Desa
Dengan dampak yang diklaim positif terhadap kesejahteraan masyarakat desa dengan Dana Desa, untuk mencegah penyalahgunaan Dana Desa, sejumlah badan dan lembaga negara telah mengambil beberapa langkah. Sejumlah inisiatif lewat kolaborasi antarinstansi negara coba dilakukan.
Misalnya, pada tahun 2022 KPK bersama dengan Kemendes PDTT membentuk percontohan 10 desa AntiKorupsi untuk mengampanyekan gerakan tersebut ke seluruh Indonesia.
"Kita sangat paham bahwa begitu penting peran desa. Kalau 74 ribu lebih desa bebas korupsi tentu gambaran kabupaten kita bebas korupsi. Harapannya, budaya antikorupsi lahir dari level masyarakat desa dan terus menyebar hingga ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi," ujar Ketua KPK Firli Bahuri saat peluncuran program, Juni 2022 lalu, dalam keterangan resmi.
Selain itu Kemendes PDTT, bekerjasama dengan Kejaksaan Agung juga mengonsolidasikan Pos Jaga Desa, perangkat untuk memberi bimbingan, asistensi, serta penyuluhan hukum bagi aparatur desa dan masyarakat. Sarana ini diharapkan dapat menjadi solusi preventif dalam meminimalisir penyimpangan pengelolaan Dana Desa.
"Jaga Desa ini nantinya bisa memaksimalkan penggunaan Dana Desa dengan pendampingan dari Kejaksaan Agung. Dengan pendampingan ini, nantikan diharapkan bisa menekan permasalahan yang dihadapi oleh Kepala Desa dan perangkatnya, termasuk dalam pemanfaatan Dana Desa," terang Mendes PDTT Abdul Halim terkait inisiatif ini, dalam keterangan pers Kemendes PDTT.
Sementara pada tahun 2017, ICW sempat memberi sejumlah usulan dalam upaya mencegah perluasan korupsi Dana Desa. Pertama lewat penguatan fungsi pengawasan, tidak hanya formal tapi juga nonformal.
Terkait hal ini peran serta masyarakat dinilai menjadi pengawasan yang diyakini paling efektif sehingga penting dijamin implementasinya.
Di saat bersamaan perlu adanya keterbukaan informasi dan ruang untuk pelibatan masyarakat yang dilakukan pemerintah desa. Inisiatif bersama antara pemerintah dan masyarakat seperti Open Data Keuangan Desa dinilai menjadi upaya positif dalam upaya perbaikan tata kelola desa sekaligus mencegah korupsi.
Kedua, lewat upaya penindakan dan pemberian efek jera oleh penegak hukum secara menyeluruh. Selain pemidanaan, pemecatan terhadap aparat desa yang melakukan praktik korupsi juga dirasa perlu dilakukan.
Ketiga, perbaikan penyaluran dan pengelolaan Dana Desa. Dalam hal ini rekomendasi KPK untuk perubahan sistem proses pengelolaan Dana Desa menjadi lebih sederhana dan tidak tumpang tindih bisa dilakukan.
Editor: Farida Susanty